Perbandingan PP Nomor 23 Tahun 208 VS PP Nomor 46 Tahun 2013

Perbandingan PP Nomor 23 Tahun 208 VS PP Nomor 46 Tahun 2013

Pasal Deskripsi PP 23 TAHUN 2018 PP NOMOR 23 TAHUN 2018 PP NOMOR 46 TAHUN 2013 Deskripsi PP 46 TAHUN 2013  
           
    (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun    
    1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir    
    dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas    
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.    
           
Pasal 1 Definisi (2) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib (2) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Definisi  
Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
       
           
    (3) Pemotong atau Pemungut Pajak adalah Wajib Pajak yang dikenai    
    kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai      
    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak      
    Penghasilan.      
           
    (1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam (1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang    
  Jangka Waktu Pengenaan negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final    
    bersifat final dalam jangka waktu tertentu      
           
    (2) Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud    
    sebesar 0,5% (nol koma lima persen) pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:    
        Subjek  
      a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha
         
  Tarif   tetap;dan    
           
      b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa    
      sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi    
      Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun    
      Pajak.    
    (3) Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang (3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)    
    bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan    
      dan/atau jasa yang dalam usahanya:    
           
    a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang    
    jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; menetap maupun tidak menetap; dan Dikecualikan Dari Subjek Pajak Orang  
    b. penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
    Pribadi  
    terutang atau telah dibayar di luar negeri; tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
       
           
Pasal 2   c. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final    
  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri;      
         
    dan      
    d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.    
           
    (4) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) (4) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah:    
    huruf a meliputi:      
  Dikecualikan Dari        
  a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau    
  Subjek Pajak    
  akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;      
         
           
    b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi    
    sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00    
    pemain drama, dan penari; (empat miliar delapan ratus juta rupiah).    
           
    c. olahragawan;   Dikecualikan Dari Subjek Pajak Badan  
    d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;  
         
    e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;      
    f. agen iklan;      
    g. pengawas atau pengelola proyek;      
    h. perantara;      
    i. petugas penjaja barang dagangan;      
    j. agen asuransi;      
    k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan      
    kegiatan sejenis lainnya      
           
    (1) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak (1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud    
    Penghasilan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan: dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen)    
    a. Wajib Pajak orang pribadi; dan      
  Subjek Pajak     Tarif  
  b. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau  
         
    perseroan terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan      
    peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus      
    juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.      
    (2) Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam (2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan    
    hal: pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir    
      sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.    
    a. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif    
         
    Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang      
    Pajak Penghasilan;      
    b. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang      
    dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian      
    khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan      
  Dikecualikan Dari bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);      
  Subjek Pajak        
    c. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:      
Pasal 3   1. Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau      
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan      
         
    Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun      
    Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; dan      
        Penentuan Saat Menggunakan PP 46  
        dalam menghitung PPh yang terutang  
           
    d. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.      
           
    (3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, wajib (3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah    
    menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak. melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)    
      dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang    
      telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)    
      sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.    
  Kewajiban Menyampaikan        
  (4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Tahun Pajak- (4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah    
  Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Yang    
  Memilih Menggunakan PP 23 atau Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun    
  Peraturan Pemerintah ini Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak    
  Tidak    
    berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang    
         
      Pajak Penghasilan.    
           
    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana    
    dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan      
           

 

Perbandingan PP Nomor 23 Tahun 208 VS PP Nomor 46 Tahun 2013

Pasal Deskripsi PP 23 TAHUN 2018 PP NOMOR 23 TAHUN 2018 PP NOMOR 46 TAHUN 2013 Deskripsi PP 46 TAHUN 2013  
           
    (1) Besarnya peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (1) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan    
    ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah    
    Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan peredaran bruto setiap bulan. DPP  
    berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran  
         
    bruto dari cabang.      
           
    (2) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami-isteri yang: (2) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud    
Pasal 4 DPP   dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana    
a. menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara dimaksud pada ayat (1).    
       
    tertulis; atau      
    b. isterinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban   Cara Menghitung PPh Terutang  
    perpajakannya sendiri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf  
         
    b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya peredaran bruto      
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penggabungan      
    peredaran bruto usaha dari suami dan isteri.      
           
    (1) Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas    
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu paling lama: penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final    
      berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan    
           
    a. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;      
    b. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi,      
    persekutuan komanditer, atau firma; dan      
           
  Batas Jangka c. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan      
Pasal 5 terbatas.   Dikecualikan Dari Subjek Pajak  
Waktu Pengenaan  
  (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak:    
       
           
    a. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak      
    berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau      
           
    b. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang      
    telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.      
           
    (1) Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)    
    dalam Pasal 2 ayat (1) setiap bulan merupakan dasar pengenaan pajak yang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan    
    digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final. ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.    
  DPP        
  (2) Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak sebagaimana    
Pasal 6   dimaksud pada ayat (1) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa   Cara Menghitung PPh Terutang  
  uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum  
         
    dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.      
           
  Cara Menghitung (3) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud    
  dalam Pasal 2 ayat (2) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana      
  PPh Terutang      
  dimaksud pada ayat (1).      
         
           
    (1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri    
    peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak    
    4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), atas penghasilan Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak    
    dari usaha tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.    
    dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan.      
Pasal 7 Saat Penentuan PP 23 Atau Tarif PPh     Ketentuan Penghasilan dari luar negeri  
Normal (2) Atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
     
    (1) yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya      
    oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak      
    Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a),      
    atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan.      
           
    (1) Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan    
    dilunasi dengan cara: Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi    
      kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat    
      final dengan ketentuan sebagai berikut:    
           
    a. disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; atau a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut    
      sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;    
           
    b. dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak dalam hal b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan    
    Wajib Pajak bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu    
    sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak. sebagaimana dimaksud pada huruf a;    
Pasal 8 Cara Pelunasan PPh     Ketentuan Mengenai Kompensasi Fiskal  
(2) Penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat
    pada ayat (1) huruf a wajib dilakukan setiap bulan. final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada    
      Tahun Pajak berikutnya.    
    (3) Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terutang sebagaimana    
    dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan oleh Pemotong atau      
    Pemungut Pajak untuk setiap transaksi dengan Wajib Pajak yang dikenai      
    Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.      
           
    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran sebagaimana      
    dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pemotongan atau pemungutan      
    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri      
    Keuangan.      
           
    (1) Dalam hal Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak    
    Peraturan Pemerintah ini bertransaksi dengan Pemotong atau Pemungut Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak    
    Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial    
    harus mengajukan permohonan surat keterangan kepada Direktur Jenderal diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.    
    Pajak.      
           
    (2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bahwa Wajib    
Pasal 9 Terkait pemotongan pajak oleh pihak Pajak bersangkutan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan   Cara Pelunasan PPh  
lain Pemerintah ini, berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana  
       
    dimaksud pada ayat (1).      
           
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan dan    
    penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat      
    (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.      
           

 

Perbandingan PP Nomor 23 Tahun 208 VS PP Nomor 46 Tahun 2013

Pasal Deskripsi PP 23 TAHUN 2018 PP NOMOR 23 TAHUN 2018 PP NOMOR 46 TAHUN 2013 Deskripsi PP 46 TAHUN 2013  
           
    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, bagi Wajib Pajak yang sejak awal Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak    
    Tahun Pajak 2018 sampai dengan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini,    
    memenuhi syarat untuk menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan Peraturan diatur sebagai berikut:    
    Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari      
    Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto      
    Tertentu, namun tidak memenuhi ketentuan Wajib Pajak yang dikenai Pajak      
    Penghasilan final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, berlaku ketentuan sebagai      
    berikut:      
           
    1. untuk penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) 1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun    
    yang diterima atau diperoleh sejak awal Tahun Pajak sampai dengan sebelum Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun    
  Saat Penentuan PP 23 Atau Tarif PPh Peraturan Pemerintah ini berlaku, dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi Saat Penentuan PP 23 Atau Tarif PPh  
Pasal 10 1% (satu persen) dari peredaran bruto setiap bulan; kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
Normal Normal  
     
           
    2. untuk penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) 2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar    
    yang diterima atau diperoleh sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku sampai sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang    
    dengan akhir Tahun Pajak 2018, dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif 0,5% disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan    
    (nol koma lima persen) dari peredaran bruto setiap bulan; dan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum Peraturan    
      Permerintah ini berlaku;    
           
    3. untuk penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) 3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya    
    yang diterima atau diperoleh mulai Tahun Pajak 2019, dikenai Pajak penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru    
    Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.    
    atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan.      
           
    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.    
    Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima      
Pasal 11 Ketentuan Peralihan atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran   Tanggal Berlaku  
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara  
         
    Republik Indonesia Nomor 5424), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.      
           
Pasal 12 Tanggal Berlaku Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018.  
           

Peraturan Dirjen Pajak – 30/PJ/2017

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 30 / PJ / 2017
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR
SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN
BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYADIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak:

  1. Nomor PER-26/PJ/2013;
  2. Nomor PER-19/PJ/2014; dan
  3. Nomor PER-36/PJ/2015,

diubah sebagai berikut:

Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A yang berbunyi:

Pasal 3A

 

(1) Dalam hal:

  1. suami dan isteri melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
  2. isteri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,

penghasilan dan kerugiannya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan masing-masing pihak.

(2) Suami dan isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat dan melampirkan penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami dan isteri.
(3) Suami dan isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menggunakan Formulir 1770 atau Formulir 1770 S beserta Lampiran-Lampirannya.

 

Pasal II

Sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang digunakan untuk pelaporan atau pembetulan adalah formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang berlaku pada saat Wajib Pajak menyampaikan pelaporan atau pembetulan.

Pasal III

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

Peraturan Dirjen Pajak – 31/PJ/2017

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 31 / PJ / 2017
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
PER-16/PJ/2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PELAPORAN
FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIKDIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik sebagaimana telah diubah dengan PER-26/PJ/2017;
  2. bahwa dalam rangka implementasi e-Faktur perlu mempertimbangkan kesiapan pengamanan dari sisi aplikasi e-Faktur dan kesiapan dari Pengusaha Kena Pajak;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 19 huruf f Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik;

Mengingat :

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2017.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-16/PJ/2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PELAPORAN FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2017, diubah sebagai berikut:

1. Mengubah ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 1A dan menambahkan ketentuan ayat (4) Pasal 1A sehingga Pasal 1A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1A
(1) Aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) berupa:

  1. Aplikasi e-Faktur Client Desktop;
  2. Aplikasi e-Faktur Web Based; atau
  3. Aplikasi e-Faktur Host-to-Host (H2H).
(2) Aplikasi e-Faktur Host-to-Host (H2H) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui 2 (dua) cara:

  1. dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur; atau
  2. dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur melalui Penyelenggara e-Faktur Host-to-Host (H2H).
(3) Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Aplikasi e-Faktur Host-to-Host (H2H) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau Penyelenggara e-Faktur Host-to-Host (H2H) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(4) Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan berdasarkan permohonan tertulis dan setelah dilakukan pengujian sistem (User Acceptance Test/UAT) oleh Direktorat Jenderal Pajak.
2. Ketentuan Pasal 2A dihapus.
3. Menghapus ketentuan ayat (1) Pasal 4A, mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 4A, dan menambahkan ketentuan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 4A sehingga Pasal 4A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A
(1) Dihapus.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, bagi pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, maka identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak Orang Pribadi wajib diisi dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. nama dan alamat pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak diisi dengan nama dan alamat sebagaimana tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk atau Paspor; dan
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak diisi dengan NPWP 00.000.000.0-000-000 dan wajib mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau nomor Paspor untuk Warga Negara Asing (WNA).
(3) Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan keterangan berupa nama, alamat dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau nomor Paspor untuk Warga Negara Asing (WNA) kepada Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur.
(4) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak penjual tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam aplikasi atau sistem elektronik yang telah di tentukan dan/atau disediakan Direktorat Jenderal Pajak, e-Faktur tidak dapat diterbitkan.
(5) Dalam hal e-Faktur diterbitkan dengan tidak mencantumkan keterangan yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan/atau sesungguhnya, e-Faktur tersebut termasuk e-Faktur yang diterbitkan tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.
4. Mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 4 B sehingga Pasal 4B berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4B
(1) Atas pemasukan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk dan/atau pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk wajib dibuatkan Faktur Pajak yang diisi lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Keterangan berupa jenis barang yang dicantumkan pada e-Faktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan nama Barang Kena Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya berikut kode Pos Tarif sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.03/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.
5. Ketentuan Pasal 11A dihapus.
Pasal II

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A berlaku sejak tanggal 1 April 2018,

Pasal III

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

ROBERT PAKPAHAN

Source : ortax.org

Peraturan Pemerintah – 53 TAHUN 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 53 TAHUN 2017
TENTANG
PERLAKUAN PERPAJAKAN PADA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK
DAN GAS BUMI DENGAN KONTRAK BAGI HASIL GROSS SPLIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31D Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN PADA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN KONTRAK BAGI HASIL GROSS SPLIT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
  2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak dan gas bumi.
  3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi.
  4. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi.
  5. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
  6. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
  7. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.
  8. Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  9. Kontrak Bagi Hasil adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.
  10. Kontrak Bagi Hasil Gross Split adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.
  11. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
  12. Operator adalah Kontraktor atau dalam hal Kontraktor terdiri atas beberapa pemegang partisipasi interes (participating interest), salah satu pemegang partisipasi interes (participating interest) yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang partisipasi interes (participating interest) lainnya sesuai dengan Kontrak Kerja Sama.
  13. Operasi Perminyakan adalah kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi, pengangkutan sampai dengan titik penyerahan, penutupan dan peninggalan sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site restoration) Minyak dan Gas Bumi, termasuk kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi.
  14. Lifting adalah sejumlah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point).
  15. Produksi Komersial adalah saat dimulainya penjualan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi sampai dengan berakhirnya Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
  16. Partisipasi Interes (Participating Interest) adalah hak dan kewajiban sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama, baik secara langsung maupun tidak langsung pada suatu Wilayah Kerja.
  17. Uplift adalah imbalan yang diterima oleh Kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi Kontrak Bagi Hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi Kontraktor lain berdasarkan perjanjian di antara para pemegang Partisipasi Interes (Participating Interest) dalam satu Kontrak Kerja Sama.
  18. Kewajiban Penjualan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation) yang selanjutnya disingkat DMO adalah kewajiban penyerahan bagian Kontraktor berupa Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
  19. Imbalan DMO adalah imbalan yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada Kontraktor atas penyerahan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan harga yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
  20. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut SKK Migas adalah satuan kerja yang melaksanakan penyelenggaraan pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dibawah pembinaaan, koordinasi, dan pengawasan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
  21. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
  22. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Pasal 2

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk Kontrak Kerja Sama dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil Gross Split pada Kegiatan Usaha Hulu.

Pasal 3
(1) Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko dalam rangka pelaksanaan Operasi Perminyakan berdasarkan Kontrak Bagi Hasil Gross Split pada suatu Wilayah Kerja.
(2) Pelaksanaan Operasi Perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan prinsip efektif dan efisien, prinsip kewajaran, serta kaidah praktik bisnis dan keteknikan yang baik.
BAB II
PENGHASILAN BRUTO
DAN PENGURANG PENGHASILAN KONTRAKTOR

Pasal 4

(1) Penghasilan bruto Kontraktor terdiri atas:

  1. penghasilan dalam rangka bagi hasil Minyak dan Gas Bumi; dan/atau
  2. penghasilan lainnya selain dalam rangka bagi hasil Minyak dan Gas Bumi.
(2) Penghasilan dalam rangka bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan nilai realisasi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Kontraktor dikurangi nilai realisasi penyerahan DMO Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi ditambah Imbalan DMO ditambah atau dikurangi varian harga atas Lifting.
(3) Penghasilan lainnya selain dalam rangka bagi hasil Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

  1. penghasilan yang berasal dari Uplift atau imbalan lain yang sejenis;
  2. penghasilan yang berasal dari pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest);
  3. hasil penjualan produk sampingan dari Kegiatan Usaha Hulu; dan/atau
  4. penghasilan lainnya yang memberikan tambahan kemampuan ekonomis.
Pasal 5
(1) Biaya operasi terdiri atas:

  1. biaya Eksplorasi;
  2. biaya Eksploitasi; dan
  3. biaya lainnya.
(2) Biaya Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

  1. biaya pengeboran Eksplorasi;
  2. biaya umum dan administrasi pada kegiatan Eksplorasi; dan
  3. biaya geologis dan geofisika terdiri atas:
    1. biaya penelitian geologis; dan
    2. biaya penelitian geofisika.
(3) Biaya Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

  1. biaya pengeboran pengembangan;
  2. biaya langsung produksi untuk:
    1. Minyak Bumi; dan/atau
    2. Gas Bumi.
  3. biaya pemrosesan Gas Bumi;
  4. biaya utility terdiri atas:
    1. biaya perangkat produksi dan pemeliharaan peralatan; dan
    2. biaya uap, air, dan listrik;
  5. biaya umum dan administrasi pada kegiatan Eksploitasi;
  6. biaya penyusutan; dan
  7. biaya amortisasi.
(4) Biaya umum dan administrasi pada kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf e meliputi:

  1. biaya administrasi dan keuangan;
  2. biaya pegawai;
  3. biaya jasa material;
  4. biaya transportasi;
  5. biaya umum kantor; dan
  6. pajak tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah.
(5) Biaya lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

  1. biaya untuk memindahkan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dari titik produksi ke titik penyerahan;
  2. biaya kegiatan pascaoperasi Kegiatan Usaha Hulu;
  3. biaya pemasaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi yang berasal dari kegiatan pemasaran yang merupakan bagian dari Kegiatan Usaha Hulu yang telah disetujui Kepala SKK Migas;
  4. biaya penggantian investasi kepada Kontraktor sebelumnya dalam hal terjadi terminasi Kontrak Kerja Sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  5. biaya lain yang terkait dengan kegiatan Operasi Perminyakan.
Pasal 6

Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang dikeluarkan oleh Kontraktor dapat diperhitungkan sebagai unsur pengurang penghasilan dalam rangka bagi hasil Minyak dan Gas Bumi dalam penghitungan penghasilan kena pajak.

Pasal 7
(1) Biaya operasi yang dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak harus memenuhi persyaratan:

  1. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan Operasi Perminyakan di Wilayah Kerja Kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
  2. menggunakan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan apabila tidak dipengaruhi hubungan istimewa, dalam hal terdapat hubungan istimewa menggunakan jumlah yang seharusnya dikeluarkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  3. Operasi Perminyakan yang dilaksanakan sesuai dengan kaidah praktik bisnis dan keteknikan yang baik; dan
  4. kegiatan Operasi Perminyakan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana kerja yang telah mendapatkan persetujuan Kepala SKK Migas.
(2) Biaya yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan Operasi Perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi syarat:

  1. untuk biaya penyusutan hanya atas barang dan peralatan yang digunakan untuk Operasi Perminyakan yang menjadi milik negara;
  2. untuk biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek di Indonesia yang berasal dari luar negeri hanya untuk kegiatan yang:
    1. tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri;
    2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan
    3. tidak rutin.
  3. untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada karyawan/pekerja dalam bentuk natura/kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  4. untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  5. untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan pada masa Eksplorasi dan Eksploitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan;
  6. untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan syarat:
    1. digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;
    2. Kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan
    3. besarannya tidak melampaui batasan pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat yang ditetapkan oleh Menteri.
  7. untuk pengeluaran remunerasi tenaga kerja asing pada Kontraktor Kontrak Bagi Hasil, besaran remunerasi tidak melampaui batasan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 8

Jenis biaya operasi dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan penghasilan kena pajak meliputi:

  1. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang Partisipasi Interes (Participating Interest), dan pemegang saham;
  2. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama SKK Migas dan Kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia;
  3. harta yang dihibahkan;
  4. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat kesalahan Kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;
  5. biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara;
  6. pajak penghasilan;
  7. insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham;
  8. biaya tenaga kerja asing yang tidak memiliki izin kerja tenaga asing;
  9. biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan Operasi Perminyakan dalam rangka kontrak;
  10. biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan Nomor Pokok Wajib Pajak penerima manfaat;
  11. biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing;
  12. biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest):
  13. biaya bunga atas pinjaman;
  14. royalti sehubungan dengan penggunaan hak paten atau hak hak lainnya yang dibayarkan secara langsung atau tidak langsung kepada kantor pusat dan/atau afiliasinya;
  15. pajak penghasilan pihak lain berupa:
    1. pajak penghasilan karyawan yang ditanggung Kontraktor, kecuali yang dibayarkan sebagai tunjangan pajak; dan/atau
    2. pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga di dalam negeri yang ditanggung Kontraktor atau di-gross up;
  16. nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi akibat kelalaian Kontraktor;
  17. transaksi yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  18. bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah; dan
  19. biaya yang terjadi sebelum penandatanganan Kontrak Bagi Hasil Gross Split kecuali biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf d.

Pasal 9

(1) Pengeluaran yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun yang dilakukan pada masa Produksi Komersial dibebankan sebagai biaya pada tahun pengeluaran.
(2) Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dilakukan pada masa Produksi Komersial dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan atau amortisasi.
Pasal 10
(1) Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan pada masa Produksi Komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus.
(2) Penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada bulan harta tersebut digunakan (placed into Service).
(3) Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai kelompok, tarif, dan masa manfaat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) Dalam hal harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi akibat kerusakan karena faktor alamiah atau keadaan kahar, jumlah nilai sisa buku harta berwujud langsung dapat dibebankan sebagai biaya operasi.
Pasal 11
(1) Amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) atas pengeluaran selain harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dilakukan pada masa produksi komersial, dihitung dengan metode satuan produksi.
(2) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada bulan dilakukan pengeluaran.
Pasal 12
(1) Pengeluaran yang dilakukan sebelum dimulainya Produksi Komersial baik berupa harta berwujud maupun tidak berwujud dikapitalisasi dan diamortisasi yang dipercepat dengan metode satuan produksi.
(2) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada bulan Produksi Komersial.
(3) Terhadap pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan untuk menetapkan besarnya biaya yang dikapitalisasi.
Pasal 13
(1) Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang yang dibebankan untuk 1 (satu) tahun pajak, dihitung berdasarkan estimasi biaya penutupan dan pemulihan tambang berdasarkan masa manfaat ekonomis.
(2) Cadangan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan dalam rekening bersama antara SKK Migas dan Kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia di Indonesia.
(3) Dalam hal total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar dari jumlah yang dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi dari masing-masing Wilayah Kerja atau lapangan yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Kepala SKK Migas.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
BAB III
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN PENGHASILAN

Pasal 14

Penghasilan Kontraktor untuk Kontrak Bagi Hasil Gross Split diakui pada titik penyerahan.

Pasal 15
(1) Penghasilan dari Kontrak Bagi Hasil Gross Split dalam bentuk Minyak Bumi dinilai dengan menggunakan harga minyak mentah Indonesia.
(2) Metodologi dan formula dari harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral setelah berkoordinasi dengan Menteri.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pasal 16

Penghasilan dari Kontrak Bagi Hasil Gross Split dalam bentuk kontrak penjualan Gas Bumi dihitung berdasarkan harga yang tercantum dalam kontrak penjualan Gas Bumi.

BAB IV
PENGHITUNGAN BAGI HASIL

Pasal 17

(1) Bagi hasil Minyak dan Gas Bumi dihitung berdasarkan jumlah gross produksi dengan mekanisme bagi hasil awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif.
(2) Kontraktor wajib memenuhi kewajiban DMO dengan menyerahkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(3) Kontraktor mendapat Imbalan DMO atas penyerahan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan harga yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran bagi hasil awal (base split), komponen variabel, dan komponen progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Pasal 18

(1) Penghasilan neto untuk 1 (satu) tahun pajak bagi Kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditambah penghasilan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c dan huruf d dikurangi biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8 huruf b, dan Pasal 8 huruf o angka 1.
(2) Dalam hal penghasilan setelah pengurangan biaya operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 10 (sepuluh) tahun.
(3) Penghasilan kena pajak bagi Kontraktor dihitung berdasarkan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi dengan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi Kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
(5) Penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
BAB VI
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN LAINNYA
SELAIN DALAM RANGKA BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI

Pasal 19

(1) Penghasilan lain Kontraktor berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
(2) Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan yang bersifat final yang berasal dari Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai pajak penghasilan.
(3) Penghasilan Kontraktor dari pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif:

  1. 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) selama masa eksplorasi; atau
  2. 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) selama masa Eksploitasi.
(4) Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenai pajak penghasilan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan dan pembayaran atas pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 20
(1) Dalam masa Eksplorasi, penghasilan dari pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) tidak termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) apabila memenuhi kriteria:

  1. tidak mengalihkan seluruh Partisipasi Interes (Participating Interest) yang dimilikinya;
  2. Partisipasi Interes (Participating Interest) telah dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
  3. di Wilayah Kerja telah dilakukan Eksplorasi (telah ada pengeluaran investasi); dan
  4. pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
(2) Dalam masa Eksploitasi, penghasilan dari pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(3) Pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai Kegiatan Usaha Hulu.
BAB VII
PEMBUKUAN KONTRAKTOR

Pasal 21

(1) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
(2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing setelah mendapat persetujuan dari Menteri.
(3) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas, sesuai dengan pernyataan standar akuntansi keuangan, dan sesuai prinsip Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
(4) Pembukuan paling sedikit terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
(5) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia.
BAB VIII
KEWAJIBAN KONTRAKTOR DAN/ATAU OPERATOR

Pasal 22

(1) Setiap Kontraktor pada suatu Wilayah Kerja wajib:

  1. mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak;
  2. melaksanakan pembukuan;
  3. menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh);
  4. melakukan pemenuhan kewajiban pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  5. membayar angsuran pajak dalam tahun berjalan untuk setiap bulan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya, dan dihitung atas penghasilan kena pajak dari Lifting yang sebenarnya dari bagian Kontraktor dalam suatu bulan takwim; dan
  6. memenuhi ketentuan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) atau pengalihan saham, Kontraktor wajib melaporkan nilainya kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest), hak dan kewajiban perpajakan beralih kepada Kontraktor yang baru.
Pasal 23
(1) Setiap Operator pada suatu Wilayah Kerja wajib:

  1. melakukan pemenuhan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan pajak; dan
  2. menyelenggarakan pembukuan untuk kegiatan Operasi Perminyakan untuk Wilayah Kerja yang bersangkutan.
(2) Dalam hal terjadi pergantian Operator, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada Operator yang baru.
Pasal 24
(1) Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Pemerintah dari Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dihitung berdasarkan volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.
(2) Dalam hal Pemerintah membutuhkan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pajak penghasilan Kontraktor dari Kontrak Bagi Hasil Gross Split, dapat berupa volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dari bagian Kontraktor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan tata cara pembayaran pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IX
INSENTIF

Pasal 25

(1) Pada tahap Eksplorasi dan Eksploitasi sampai dengan saat dimulainya produksi komersial, Kontraktor diberikan fasilitas meliputi:

a. pembebasan pungutan bea masuk atas impor barang yang digunakan dalam rangka Operasi Perminyakan;
b. pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang tidak dipungut atas:

  1. perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak;
  2. impor barang kena pajak;
  3. pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; dan/atau
  4. pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean,

yang digunakan dalam rangka Operasi Perminyakan;

c. tidak dilakukan pemungutan pajak penghasilan Pasal 22 atas impor barang yang telah memperoleh fasilitas pembebasan dari pungutan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
d. pengurangan pajak bumi dan bangunan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak bumi dan bangunan Minyak dan Gas Bumi terutang yang tercantum dalam surat pemberitahuan pajak terutang.
(2) Terhadap fasilitas perpajakan yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang peruntukannya tidak dalam rangka Operasi Perminyakan, wajib dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 26
(1) Dalam hal pada tahap Eksploitasi terdapat kapasitas berlebih pada fasilitas pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan, Kontraktor dapat memanfaatkan kelebihan kapasitas tersebut untuk digunakan Kontraktor lainnya berdasarkan prinsip pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) setelah mendapatkan persetujuan SKK Migas.
(2) Pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan secara proporsional kepada seluruh Kontraktor yang mendapat manfaat atas biaya operasi tersebut.
(3) Pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) oleh Kontraktor dalam rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu Minyak dan Gas Bumi dikecualikan dari pemotongan pajak penghasilan dan tidak dikenakan pajak pertambahan nilai.
(4) Pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. barang yang digunakan dan diperoleh atau dibeli Kontraktor sebagai pelaksanaan kontrak merupakan barang milik negara;
  2. pemanfaatan barang milik negara yang digunakan sebagai fasilitas bersama telah mendapat persetujuan SKK Migas; dan
  3. pemanfaatan fasilitas bersama tersebut tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan dan/atau laba.
Pasal 27

Pembebanan alokasi biaya tidak langsung kantor pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf f tidak dilakukan pemotongan pajak penghasilan dan tidak dikenai pajak pertambahan nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 28

Kontraktor melakukan transaksi dan penyelesaian pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29
(1) Menteri dalam keadaan tertentu dapat menunjuk pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(2) Penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa.
Pasal 30

Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh Kontraktor dalam rangka Operasi Perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh SKK Migas.

Pasal 31
(1) Berdasarkan pertimbangan keekonomian lapangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat melakukan penyesuaian terhadap besaran bagi hasil serta menetapkan bentuk dan besar insentif Kegiatan Usaha Hulu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam rangka membantu keekonomian Kegiatan Usaha Hulu, Menteri dapat memberikan insentif dalam rangka pemanfaatan barang milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

  1. Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang telah ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan wajib melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dengan melakukan penyesuaian Kontrak Bagi Hasil Gross Split,
  2. fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang telah diberikan terhadap Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap berlaku sampai dengan masa berlaku yang tercantum dalam keputusan pemberian fasilitas berakhir; dan
  3. Kontraktor yang mengusulkan perubahan bentuk Kontrak Bagi Hasil dengan mekanisme pengembalian biaya operasi menjadi Kontrak Bagi Hasil Gross Split, biaya operasi, pajak-pajak tidak langsung, dan pajak bumi dan bangunan yang telah dikeluarkan dan belum dikembalikan dapat diperhitungkan menjadi tambahan split bagian Kontraktor sampai dengan Kontrak Bagi Hasil berakhir.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 33

Ketentuan perpajakan lainnya yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 34

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 304
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 53 TAHUN 2017

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN PADA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK
DAN GAS BUMI DENGAN KONTRAK BAGI HASIL GROSS SPLIT

I. Umum

Dalam rangka pelaksanaan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama yang berorientasi pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pola bagi hasil produksi Minyak dan Gas Bumi, Pemerintah menerapkan Kontrak Bagi Hasil yang menggunakan mekanisme tanpa pengembalian biaya operasi (Kontrak Bagi Hasil Gross Split).

Bahwa industri usaha hulu Minyak dan Gas Bumi memiliki karakteristik yang berbeda dengan industri pada umumnya dengan tingkat risiko yang tinggi dan memerlukan waktu yang panjang serta investasi yang besar untuk menemukan cadangan Minyak dan Gas Bumi. Oleh karena itu, diperlukan ketentuan perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang dapat mendukung keekonomian sehingga meningkatkan investasi dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi dan meningkatkan penemuan cadangan Minyak dan Gas Bumi nasional.

Peraturan Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai jenis-jenis penghasilan Kontraktor, penghitungan penghasilan kena pajak, biaya-biaya operasi baik yang dapat maupun tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto, pengakuan dan pengukuran penghasilan, penghitungan bagi hasil, dan kewajiban Kontraktor atau Operator terkait perpajakan. Selain itu, diatur pula mengenai pemberian insentif dalam bentuk fasilitas perpajakan yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan serta mempertimbangkan karakteristik dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Fasilitas perpajakan diberikan sejak masa Eksplorasi sampai dengan Kontraktor mencapai Produksi Komersial untuk membantu keekonomian proyek sehingga Kontraktor tidak terbebani pembayaran pajak ketika belum memperoleh penghasilan. Untuk memberikan kepastian hukum, Peraturan Pemerintah ini juga akan diberlakukan terhadap Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang telah ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dengan beberapa ketentuan peralihan.

Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:

  1. penghasilan bruto dan pengurang penghasilan Kontraktor;
  2. pengakuan dan pengukuran penghasilan;
  3. penghitungan bagi hasil;
  4. penghitungan pajak penghasilan;
  5. pajak penghasilan atas penghasilan lainnya selain dalam rangka bagi hasil Minyak dan Gas Bumi;
  6. pembukuan Kontraktor;
  7. kewajban Kontraktor dan/atau Operator; dan
  8. insentif.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)
Dalam hal Kontrak Kerja Sama di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi, Pemerintah menyediakan sumber daya alamnya sedangkan Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi. Konsekuensinya bahwa Kontraktor tidak diperkenankan membebankan biaya bunga maupun biaya royalti dan sejenisnya ke dalam biaya operasi yang dapat dikurangkan dari penghasilan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kaidah praktik bisnis yang baik” meliputi kaidah praktik bisnis yang umum berlaku dan wajar sesuai dengan etika bisnis, sedangkan kaidah keteknikan yang baik meliputi:

  1. memenuhi ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  2. memproduksikan Minyak dan Gas Bumi sesuai dengan kaidah pengelolaan reservoar yang baik;
  3. memproduksikan sumur minyak dan Gas Bumi dengan cara yang tepat;
  4. menggunakan teknologi perolehan minyak tingkat lanjut yang tepat;
  5. meningkatkan usaha peningkatan kemampuan reservoar untuk mengalirkan fluida dengan teknik yang tepat; dan
  6. memenuhi ketentuan standar peralatan yang dipersyaratkan.

Pasal 4

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “varian harga atas Lifting” adalah selisih harga yang terjadi karena perbedaan harga minyak mentah Indonesia bulanan dengan harga minyak mentah Indonesia rata-rata tertimbang.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penghasilan lainnya” adalah penghasilan lain yang dapat dikategorikan sebagai penghasilan antara lain denda keterlambatan delivery vendor, penalti penerimaan Lifting, dan penghasilan lainnya.

Pasal 5

Ayat (1)
Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan biaya yang menjadi dasar dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “biaya pemrosesan Gas Bumi” adalah biaya yang terkait dengan aktifitas pemrosesan Gas Bumi sampai dengan titik penyerahan antara lain biaya pemrosesan Liquefied Natural Gas (LNG).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang termasuk biaya penyusutan antara lain berupa:

  1.  fasilitas produksi;
  2. gedung kantor, gudang, perumahan;
  3.  mesin dan peralatan.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Termasuk dalam biaya pemindahan gas dari titik produksi ke titik penyerahan adalah biaya untuk pemasaran.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c

Yang dimaksud dengan “biaya pemasaran” adalah biaya dalam rangka pemasaran yang dilakukan oleh Kontraktor pada Kegiatan Usaha Hulu sampai dengan titik penyerahan yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan.

Huruf d

Cukup jelas.
Huruf e

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Harta yang dihibahkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya karena harta tersebut merupakan milik negara.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.
Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.
Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Biaya yang terkait dengan merger dan akuisisi antara lain:

  1. biaya personal dan konsultan yang berkaitan dengan due diligence;
  2. biaya eksternal untuk press release, promosi, dan penggantian logo perusahaan; dan/atau
  3. biaya yang terkait dengan separation program dan retention program, biaya yang berkaitan dengan teknologi sistem informasi (sepanjang sistem yang lama belum sepenuhnya didepresiasikan), biaya yang terkait dengan perpindahan kantor, dan biaya yang timbul karena perubahan kebijakan tentang proyek yang sedang berjalan.

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n

Biaya royalti yang tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah biaya royalti yang terkait langsung dengan teknologi Operasi Perminyakan.
Huruf o

Cukup jelas.

Huruf p

Yang dimaksud dengan “kelalaian Kontraktor” adalah kelalaian berat (gross negligance) atau perbuatan salah yang disengaja (willful misconduct) yang telah melalui proses penyelesaian perselisihan berdasarkan Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Huruf q

Cukup jelas.

Huruf r

Cukup jelas.
Huruf s

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Pengeluaran yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun termasuk biaya survei dan intangible drilling cost yang dikeluarkan pada masa produksi komersial.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “placed into service” adalah saat dimulainya suatu harta berwujud digunakan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Penyelenggara Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan Minyak dan Gas Bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan Minyak dan Gas Bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Taksiran jumlah seluruh kandungan Minyak dan Gas Bumi berdasarkan persetujuan rencana pengembangan lapangan (Plan of Development) yang pertama dan dapat dilakukan penyesuaian berdasarkan hasil pemantauan rencana pengembangan lapangan (Plan of Development).
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “amortisasi dipercepat” adalah sebesar 2 (dua) kali dari tarif amortisasi pada tahun yang bersangkutan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Dalam hal terdapat biaya-biaya yang akan dikapitalisasi termasuk tahun pajak yang melebihi 5 (lima) tahun, Direktorat Jenderal Pajak tetap dapat melakukan pemeriksaan atas biaya-biaya tersebut.

Pasal 13

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tahun pajak” adalah tahun kalender.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 14

Yang dimaksud dengan “titik penyerahan” adalah titik terjadinya pengalihan hak kepemilikan (transfer of title) Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dari Pemerintah kepada Kontraktor.

Pasal 15

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “harga minyak mentah Indonesia” adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral secara periodik.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “tarif pajak” sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan dalam ketentuan ini adalah pemberlakuan tarif pajak sesuai besaran tarif pajak yang ditentukan dalam kontrak yaitu tarif pajak yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani atau tarif pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku dan dapat berubah setiap saat.
Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.
Ayat (5)

Dokumen pendukung tetap disimpan untuk pembuktian biaya-biaya yang membutuhkan pembuktian lebih dari 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 22

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Bentuk dan isi SPT Tahunan PPh sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tentang bentuk dan isi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi wajib pajak yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu.

Huruf d

Cukup jelas.
Huruf e
Cukup Jelas.
Huruf f

Cukup jelas.
Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Jika interest pada suatu Wilayah Kerja dimiliki oleh Kontraktor A, Kontraktor B, dan Kontraktor C kemudian interest Kontraktor A dialihkan kepada Kontraktor D, maka kewajiban perpajakan atas interest tersebut menjadi kewajiban Kontraktor D sejak pengalihan interest tersebut berlaku efektif.

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Jika Kontraktor B menjadi Operator menggantikan Kontraktor A, maka kewajiban beralih kepada Kontraktor B sejak pengalihan Operator tersebut berlaku efektif. Kontraktor A juga diwajibkan mengalihkan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan biaya-biaya yang belum dibebankan.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup Jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah musibah karena alam yang menimbulkan potensi kerugian negara berupa penurunan penerimaan dan/atau kerugian pada aset negara pada Kegiatan Usaha Hulu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “penyesuaian terhadap besaran bagi hasil” adalah dalam hal perhitungan keekonomian lapangan atau beberapa lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu, menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil untuk Kontraktor. Sedangkan dalam hal perhitungan keekonomian lapangan atau beberapa lapangan melebihi keekonomian tertentu, menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil untuk negara.
Yang dimaksud dengan “insentif Kegiatan Usaha Hulu” adalah insentif yang diberikan untuk mendukung keekonomian pengembangan Wilayah Kerja.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Source : Ortax.org

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6172

Peraturan MenKeu- 202/PMK.010/2017

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 202 / PMK.010 / 2017
TENTANG
PELAKSANAAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN YANG DIDASARKAN PADA
KETENTUAN DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 157/PMK.010/2015 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5/PMK.010/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 157/PMK.010/2015 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional;
  2. bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2016, Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2016, dan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2017, Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan pengesahan terhadap perjanjian internasional dengan pihak Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security, International Islamic Trade Finance Corporation, dan Credit Guarantee and Investment Facility;
  3. bahwa untuk menindaklanjuti rekomendasi Kementerian Sekretariat Negara sesuai dengan surat Nomor B-017/Kemensetneg/Set/KTLN/LN.05/01/2017 perlu melakukan penyesuaian terhadap daftar organisasi internasional yang perlakuan Pajak Penghasilannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian internasional;
  4. bahwa untuk melakukan penyesuaian terhadap daftar organisasi internasional yang perlakuan Pajak Penghasilannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian internasional dan selaras dengan program simplifikasi regulasi untuk mendukung percepatan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2016 dan Nawa Cita di lingkungan Kementerian Keuangan, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 157/PMK.010/2015 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5/PMK.010/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 157/PMK.010/2015 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional;

Mengingat :

Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PELAKSANAAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN YANG DIDASARKAN PADA KETENTUAN DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 2

 

(1) Dalam hal terdapat ketentuan Pajak Penghasilan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan Pajak Penghasilan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian internasional dimaksud.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik antara Pemerintah Indonesia dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan organisasi/badan/lembaga/asosiasi/perhimpunan/forum/kerjasama antarpemerintah atau nonpemerintah, yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama.
(5) Organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan subjek pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(6) Perlakuan Pajak Penghasilan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian internasional sampai dengan berakhirnya perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan syarat:

  1. perjanjian internasional tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang di bidang Perjanjian Internasional;
  2. tidak terdapat persyaratan (reservation) atau pernyataan (declaration) mengenai ketentuan perlakuan Pajak Penghasilan dalam perjanjian internasional tersebut; dan
  3. telah dilakukan pengesahan dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan/atau penyetujuan (approval) melalui pembentukan peraturan perundang- undangan sesuai dengan Undang-Undang di bidang Perjanjian Internasional.
(7) Dikecualikan dari pemenuhan persyaratan telah dilakukan pengesahan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c yaitu dalam hal perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mensyaratkan adanya pengesahan dalam pemberlakuan perjanjian tersebut dan perjanjian dimaksud memuat materi yang bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk.

 

Pasal 3

 

(1) Atas penghasilan berupa gaji atau pembayaran lainnya dari organisasi internasional yang diterima oleh pejabat atau pegawai yang berstatus warga negara Indonesia, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dalam perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah diatur secara tegas ketentuan pengecualian pengenaan Pajak Penghasilan atas gaji atau pembayaran lainnya yang diterima pejabat atau pegawai yang berstatus warga negara Indonesia.

 

Pasal 4

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 157/PMK.010/2015 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1189) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5/PMK.010/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 157/PMK.010/2015 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan yang Didasarkan pada Ketentuan dalam Perjanjian Internasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 142), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1887

Peraturan MenKeu – 195/PMK.02/2017

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 195 / PMK.02 / 2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
9/PMK.02/2016 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK AIR
PERMUKAAN, PAJAK AIR TANAH, DAN PAJAK PENERANGAN JALAN
UNTUK KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI YANG
DIBAYARKAN OLEH PEMERINTAH PUSAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak air permukaan, pajak air tanah, dan pajak penerangan jalan untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang dibayarkan oleh pemerintah pusat, telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Air Permukaan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Penerangan Jalan untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Dibayarkan oleh Pemerintah Pusat;
  2. bahwa berdasarkan Pasal 90 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, pada saat terbentuknya Badan Pengelola Migas Aceh, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari perjanjian kontrak kerja sama bagi hasil minyak dan gas bumi antara satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan kontraktor kontrak kerja sama yang berlokasi di Aceh dialihkan kepada Badan Pengelola Migas Aceh;
  3. bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (6) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah, nilai perolehan air tanah ditetapkan dalam Peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman pada Peraturan Gubernur mengenai nilai perolehan air tanah;
  4. bahwa untuk melakukan penyesuaian ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak air permukaan, pajak air tanah, dan pajak penerangan jalan untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang dibayarkan oleh pemerintah pusat sehubungan dengan pengalihan semua hak, kewajiban dan akibat yang timbul dari perjanjian kontrak kerja sama bagi hasil minyak dan gas bumi kepada Badan Pengelola Migas Aceh sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan ketentuan mengenai penetapan nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud dalam huruf c, perlu dilakukan penyempurnaan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Air Permukaan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Penerangan Jalan untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Dibayarkan oleh Pemerintah Pusat;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Air Permukaan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Penerangan Jalan untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Dibayarkan oleh Pemerintah Pusat;

Mengingat :

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5696);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5950);
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Air Permukaan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Penerangan Jalan untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Dibayarkan oleh Pemerintah Pusat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 122);
MEMUTUSKAN :

Menerapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 9/PMK.02/2016 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK AIR PERMUKAAN, PAJAK AIR TANAH, DAN PAJAK PENERANGAN JALAN UNTUK KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI YANG DIBAYARKAN OLEH PEMERINTAH PUSAT.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Air Permukaan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Penerangan Jalan untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Dibayarkan oleh Pemerintah Pusat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 122) diubah sebagai berikut:

1. Di antara angka 1 dan angka 2 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 1a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disingkat SKK Migas adalah penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang dibentuk sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
1a. Badan Pengelola Migas Aceh, yang selanjutnya disingkat BPMA adalah suatu badan Pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 s.d. 12 mil laut).
2. Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
5. Peraturan Kepala Daerah adalah peraturan Gubernur dan/atau peraturan Bupati/Walikota.
6. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
7. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
8. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat.
9. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
10. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
11. Pajak Penerangan Jalan yang selanjutnya disingkat PPJ adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
12. Rekening Departemen Keuangan k/Hasil Minyak Perjanjian Karya Production Sharing Nomor 600.000411980 pada Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Rekening Minyak dan Gas Bumi adalah rekening dalam valuta USD untuk menampung seluruh penerimaan dan membayar pengeluaran terkait kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
2. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 4 diubah, dan diantara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3a), sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4
(1) PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan pajak kabupaten/kota.
(2) PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengenaannya berdasarkan pada nilai perolehan air tanah.
(3) Besaran nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(3a) Besaran nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan berpedoman pada Peraturan Gubernur mengenai nilai perolehan air tanah.
(4) Peraturan Gubernur mengenai nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) ditetapkan berdasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(5) Tarif PAT ditetapkan dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
(6) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan realisasi pemanfaatan air tanah.
(7) PAT yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air berada.
3. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6
(1) Kontraktor menyampaikan data realisasi volume pemanfaatan air permukaan, air tanah, dan tenaga listrik kepada Pemerintah Daerah setiap bulan paling lambat pada minggu kedua bulan berikutnya.
(2) Data realisasi volume sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk menghitung besaran pokok pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Pasal 4 ayat (6) dan Pasal 5 ayat (5).
(3) Data realisasi volume sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terlebih dahulu divalidasi oleh SKK Migas atau BPMA bersama dengan Kontraktor dan Pemerintah Daerah.
(4) Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara dan ditandatangani oleh pihak Kontraktor, Pemerintah Daerah, dan SKK Migas atau BPMA.
(5) Jenis berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:

  1. Berita Acara Pemanfaatan Air Permukaan Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
  2. Berita Acara Pemanfaatan Air Tanah Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
  3. Berita Acara Pemanfaatan Tenaga Listrik Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
(6) Berita Acara Pemanfaatan Air Permukaan Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7) Berita Acara Pemanfaatan Air Tanah Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(8) Berita Acara Pemanfaatan Tenaga Listrik Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
4. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8
(1) Gubernur atau Sekretaris Daerah atas nama Gubernur menyampaikan surat tagihan pokok PAP yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) secara tertulis kepada Kepala SKK Migas atau Kepala BPMA.
(2) Bupati/Walikota atau Sekretaris Daerah atas nama Bupati/Walikota menyampaikan surat tagihan pokok PAT dan/atau pokok PPJ yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ayat (3) secara tertulis kepada Kepala SKK Migas atau Kepala BPMA.
(3) Surat tagihan pokok PAP dan pokok PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilengkapi dengan:

  1. asli berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf a atau huruf b;
  2. asli Surat Ketetapan Pajak Daerah;
  3. Peraturan Daerah mengenai PAP atau PAT;
  4. Peraturan Kepala Daerah mengenai nilai perolehan air permukaan atau nilai perolehan air tanah; dan
  5. Surat keterangan dari Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah atas nama Kepala Daerah yang menerangkan bahwa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada dalam huruf c dan huruf d masih berlaku.
(4) Surat tagihan pokok PPJ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan:

  1. asli berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf c;
  2. asli Surat Pemberitahuan Pajak Daerah;
  3. Peraturan Daerah mengenai PPJ;
  4. Peraturan Kepala Daerah mengenai harga jual tenaga listrik sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
  5. Surat keterangan dari Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah atas nama Kepala Daerah yang menerangkan bahwa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d masih berlaku.
(5) Surat tagihan pokok PAP, pokok PAT, dan pokok PPJ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disusun dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9
(1) Atas surat tagihan pokok PAP, pokok PAT dan pokok PPJ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, SKK Migas atau BPMA melakukan proses verifikasi.
(2) Dalam rangka proses verifikasi tagihan pokok PAP, pokok PAT, dan pokok PPJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SKK Migas atau BPMA melakukan penelitian sebagai berikut:

a. kelengkapan dokumen tagihan pokok PAP, pokok PAT, dan pokok PPJ sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4);
b. kesesuaian dokumen tagihan pokok PAP, pokok PAT, dan pokok PPJ sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (5);
c. kesesuaian tarif dan dasar pengenaan pokok PAP, pokok PAT, dan pokok PPJ sebagai berikut:

1) tarif dan dasar pengenaan PAP sebagaimana diatur dalam Pasal 3;
2) tarif dan dasar pengenaan PAT sebagaimana diatur dalam Pasal 4; dan
3) tarif dan dasar pengenaan PPJ sebagaimana diatur dalam Pasal 5; dan
d. kebenaran perhitungan atas besaran pokok PAP, pokok PAT, dan pokok PPJ terutang.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi, terdapat salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, SKK Migas atau BPMA tidak dapat memproses lebih lanjut surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2).
(4) Dalam hal surat tagihan tidak dapat diproses lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3), SKK Migas atau BPMA menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kepala Daerah.
(5) Terhadap surat tagihan yang tidak dapat diproses lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), dapat diajukan kembali oleh Kepala Daerah kepada SKK Migas atau BPMA setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memenuhi persyaratan, Kepala SKK Migas atau Kepala BPMA atau pejabat setingkat dibawahnya menerbitkan surat permintaan pembayaran kepada Direktur Jenderal Anggaran yang dilengkapi dengan kertas kerja verifikasi yang digunakan dalam proses penelitian sebagaimana diatur pada ayat (2).
(7) Pelaksanaan proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penyampaian surat pemberitahuan kepada Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau penyampaian surat permintaan pembayaran kepada Direktur Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan oleh SKK Migas atau BPMA dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2).
(8) Surat permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
6. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10
(1) Dalam rangka memproses permintaan pembayaran pokok PAP, pokok PAT, dan pokok PPJ yang disampaikan oleh SKK Migas atau BPMA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7), Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelitian sebagai berikut:

  1. kesesuaian surat permintaan pembayaran pokok PAP, pokok PAT, dan pokok PPJ sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8); dan
  2. kelengkapan kertas kerja verifikasi perhitungan pokok PAP, pokok PAT, dan pokok PPJ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Direktorat Jenderal Anggaran tidak dapat memproses lebih lanjut permintaan pembayaran.
(3) Dalam hal permintaan pembayaran tidak dapat diproses lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kepala SKK Migas atau Kepala BPMA.
(4) Terhadap permintaan pembayaran yang tidak dapat diproses lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dapat diajukan kembali oleh Kepala SKK Migas atau Kepala BPMA kepada Direktur Jenderal Anggaran setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal Anggaran menerbitkan surat permintaan pemindahbukuan kepada Direktur  Jenderal Perbendaharaan.
(6) Pelaksanaan proses penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian surat pemberitahuan kepada Kepala SKK Migas atau Kepala BPMA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau penyampaian surat permintaan pemindahbukuan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya surat permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6).
7. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12
(1) Direktorat Pengelolaan Kas Negara atas nama Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyampaikan bukti transaksi pemindahbukuan di Rekening Minyak dan Gas Bumi dari Bank Indonesia kepada Direktorat Jenderal Anggaran c.q Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan surat pemberitahuan pembayaran pokok PAP atau pokok PAT atau pokok PPJ berdasarkan bukti transaksi pemindahbukuan di Rekening Minyak dan Gas Bumi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada SKK Migas atau BPMA.
(3) SKK Migas atau BPMA menyampaikan laporan penerimaan pembayaran pokok PAP atau pokok PAT atau pokok PPJ dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima laporan dari Pemerintah Daerah kepada Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak, dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara.
8. Mengubah Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, dan Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Air Permukaan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Penerangan Jalan untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Dibayarkan oleh Pemerintah Pusat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 122) sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, dan Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal II
1. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pemrosesan tagihan dan penyampaian laporan pokok PAP, pokok PAT dan/atau pokok PPJ dilaksanakan oleh BPMA untuk:

  1. Kontrak Kerja Sama yang wilayah kerja minyak dan gas bumi berlokasi di wilayah kewenangan BPMA, yang ditandatangani oleh Kontraktor dengan SKK Migas; dan
  2. Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh Kontraktor dengan BPMA.
2. Terhadap dokumen tagihan pokok PAP, pokok PAT dan/atau pokok PPJ yang wilayah kerja minyak dan gas bumi berlokasi di wilayah kewenangan BPMA, yang telah disampaikan oleh SKK Migas kepada Direktorat Jenderal Anggaran, dikembalikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran dan dapat diajukan kembali oleh Kepala BPMA kepada Direktur Jenderal Anggaran sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
3. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Desember 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Desember 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1822
Source : ortax.org

Peraturan MenKeu – 190/PMK.02/2017

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 190 / PMK.02 / 2017
TENTANG
TATA CARA PEMBAYARAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
DARI HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKANDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 05/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Dividen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah, telah diatur ketentuan mengenai tata cara penyetoran penerimaan negara bukan pajak dividen dan surplus Bank Indonesia bagian pemerintah;
  2. bahwa untuk mengatur kembali pembayaran penerimaan negara bukan pajak dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang berasal dari dividen, surplus Bank Indonesia bagian pemerintah, surplus Lembaga Penjamin Simpanan bagian pemerintah, bagian laba pemerintah pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari akumulasi cadangan umum dan cadangan tujuan pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, perlu diatur ketentuan mengenai tata cara penyetoran penerimaan negara bukan pajak dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Hasil Pengelolaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
  4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
  5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
  6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
  7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4995);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN.

BAB I
KETENTUAN UMUMPasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
  2. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
  3. Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas, modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
  4. Perseroan Terbatas Lainnya adalah perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki Negara Republik Indonesia kurang dari 51% (lima puluh satu persen).
  5. Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham,yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
  6. Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
  7. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia.
  8. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI atau Indonesia Eximbank adalah lembaga keuangan khusus yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
  9. Dividen Bagian Pemerintah yang selanjutnya disebut Dividen adalah bagian Pemerintah atas laba BUMN dan Perseroan Terbatas Lainnya.
  10. Surplus adalah laba dari hasil kegiatan usaha dalam 1 (satu) tahun buku.
  11. Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah adalah Surplus Bank Indonesia setelah dikurangi pembagian untuk cadangan tujuan sebesar 30% (tiga puluh persen), dan cadangan umum sehingga modal dan cadangan umum menjadi sebesar 10% (sepuluh persen) dari seluruh kewajiban moneter.
  12. Surplus LPS Bagian Pemerintah adalah bagian Surplus dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai tingkat sasaran sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari total simpanan pada seluruh bank.
  13. Bagian Laba Pemerintah pada LPEI adalah Surplus yang diperoleh LPEI dalam kurun waktu 1 (satu) tahun kegiatan.
  14. PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI adalah PNBP yang berasal dari bagian kelebihan akumulasi cadangan umum dan cadangan tujuan.
  15. Wajib Bayar adalah badan usaha yang berbentuk Persero, Perseroan Terbatas lainnya, Perum, Bank Indonesia, LPS, dan LPEI.
  16. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dan memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero.
Pasal 2

PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan terdiri atas:

  1. Dividen;
  2. Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah;
  3. Surplus LPS Bagian Pemerintah;
  4. Bagian Laba Pemerintah pada LPEI; dan
  5. PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI.
BAB II
PENETAPAN DAN JATUH TEMPOPasal 3

(1) Besaran PNBP yang berasal dari Perum, Persero,dan Perseroan Terbatas Lainnya berupa Dividen ditetapkan berdasarkan:

  1. surat Menteri Badan Usaha Milik Negara untuk Perum; dan/atau
  2. RUPS untuk Persero dan Perseroan Terbatas Lainnya.
(2) Besaran PNBP yang berasal dari Bank Indonesia berupa Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah ditetapkan berdasarkan Surat Gubernur Bank Indonesia.
(3) Besaran PNBP yang berasal dari LPS berupa Surplus LPS Bagian Pemerintah ditetapkan berdasarkan Surat Menteri Keuangan.
(4) Besaran PNBP yang berasal dari LPEI berupa Bagian Laba Pemerintah pada LPEI dan PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI ditetapkan berdasarkan Surat Menteri Keuangan.
Pasal 4

Wajib bayar membayar PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang paling lambat pada saat jatuh tempo.

Pasal 5
(1) Jatuh tempo pembayaran Dividen untuk Perum, Persero, dan Perseroan Terbatas Lainnya 1 (satu) bulan setelah tanggal penetapan Dividen.
(2) Untuk Persero dan Perseroan Terbatas Lainnya yang terdaftar di pasar modal jatuh tempo pembayaran Dividen mengikuti ketentuan yang berlaku di pasar modal.
(3) Jatuh tempo pembayaran Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah 7 (tujuh) hari kerja setelah Bank Indonesia menerima Surat Menteri Keuangan mengenai persetujuan penggunaan Surplus Bank Indonesia yang menjadi bagian pemerintah, sesuai kesepakatan bersama antara Pemerintah dan Bank Indonesia.
(4) Jatuh tempo pembayaran Surplus LPS Bagian Pemerintah 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penetapan surat Menteri Keuangan mengenai Surplus LPS Bagian Pemerintah.
(5) Jatuh tempo pembayaran Bagian Laba Pemerintah pada LPEI dan PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penetapan surat Menteri Keuangan mengenai Bagian Laba Pemerintah pada LPEI dan PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI.
Pasal 6

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang bertepatan dengan hari libur, jatuh tempo pembayaran yaitu pada hari kerja sebelumnya.

BAB III
PEMBAYARANPasal 7

(1) Wajib Bayar melakukan pembayaran:

  1. Dividen, Surplus LPS Bagian Pemerintah, Bagian Laba Pemerintah pada LPEI, dan PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan tujuan pada LPEI ke Kas Negara melalui bank/pos persepsi dengan menggunakan sistem elektronik sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik; dan
  2. Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah melalui Rekening Kas Umum Negara di Bank Indonesia.
(2) Dalam melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Bayar wajib menyampaikan data secara lengkap dan benar.
(3) Wajib Bayar bertanggung jawab atas kelengkapan dan kebenaran data pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pembayaran Dividen, Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah, Surplus LPS Bagian Pemerintah, Bagian Laba Pemerintah pada LPEI, dan PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat sebagai pelunasan PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang sesuai dengan tanggal pembayaran.
BAB IV
PENJADWALAN PEMBAYARANPasal 8

(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak dapat melakukan pembayaran seluruh PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang pada saat jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan penjadwalan pembayaran.
(2) Permohonan penjadwalan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat diajukan oleh Wajib Bayar yang kesulitan arus kas.
(3) Kesulitan arus kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kondisi ketidakmampuan kas Wajib Bayar dalam memenuhi kewajiban lancar tahun berjalan.
Pasal 9
(1) Permohonan penjadwalan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran.
(2) Permohonan penjadwalan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Permohonan penjadwalan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan data pendukung paling kurang:

  1. dokumen penetapan, terdiri atas:
    1. surat penetapan Dividen oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara untuk Perum, dan risalah RUPS dan/atau notulen RUPS untuk Persero dan Perseroan Terbatas Lainnya;
    2. surat Gubernur Bank Indonesia kepada Menteri Keuangan terkait Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah untuk Bank Indonesia;
    3. surat Menteri Keuangan mengenai Surplus LPS Bagian Pemerintah untuk LPS; atau
    4. surat Menteri Keuangan mengenai Bagian Laba Pemerintah pada LPEI dan PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI, untuk LPEI;
  2. laporan keuangan Wajib Bayar yang telah diaudit;
  3. realisasi dan proyeksi arus kas tahun berjalan serta penjelasan penyebab kesulitan arus kas;
  4.  rencana kerja dan anggaran Wajib Bayar tahun berjalan; dan
  5. surat pernyataan tanggung jawab mutlak mengenai kebenaran data pendukung dari direksi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 10
(1) Dalam hal permohonan Wajib Bayar melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan/atau tidak melampirkan data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), permohonan Wajib Bayar ditolak, dan jatuh tempo pembayaran yang berlaku adalah jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Dalam hal permohonan telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelitian dokumen.
(3) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menerbitkan surat penolakan atau surat penjadwalan pembayaran.
(4) Surat penolakan atau surat penjadwalan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung setelah tanggal surat permohonan penjadwalan pembayaran diterima.
Pasal 11

Penjadwalan pembayaran diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang paling sedikit sebesar 25% (dua puluh lima persen), pada saat jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; dan
  2. sisa PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang dibayar setiap bulan sesuai dengan hasil pernilaian (assessment) terhadap data pendukung dan dibayar paling lambat pada bulan November tahun anggaran berjalan.
BAB V
KEKURANGAN DAN/ATAU KETERLAMBATANPasal 12

(1) Dalam hal terjadi kekurangan dan/atau keterlambatan pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 11,Wajib Bayar dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah PNBP yang kurang dibayar dan/atau terlambat, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
(2) Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(3) Wajib Bayar membayar sejumlah kekurangan dan/atau keterlambatan pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang dan/atau denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Kas Negara.
(4) Contoh penghitungan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 13
(1) Atas kekurangan dan/atau keterlambatan pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Direktur Jenderal Anggaran melakukan penagihan kepada Wajib Bayar dengan menerbitkan surat tagihan pertama.
(2) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang, Direktur Jenderal Anggaran menerbitkan surat tagihan kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang, Direktur Jenderal Anggaran menerbitkan surat tagihan ketiga.
(4) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang, Direktur Jenderal Anggaran menerbitkan surat penyerahan tagihan kepada instansi yang berwenang piutang negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya.
BAB VI
KELEBIHAN PEMBAYARANPasal 14

(1) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang, Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran tersebut kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan data pendukung berupa dokumen penetapan PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang dan bukti pembayaran.
(3) Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran di muka sebagai pengurang jumlah PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang pada periode berikutnya.
(5) Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha dan terdapat kelebihan pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang, kelebihan pembayaran tersebut dapat dikembalikan secara tunai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENINJAUAN KEMBALIPasal 15

(1) Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atas penetapan penjadwalan pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3).
(2) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling lambat 20 (dua puluh) hari sebelum tanggal jatuh tempo PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang yang dimintakan untuk ditinjau kembali.
(3) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Wajib Bayar dengan kondisi ketidakmampuan kas yang disebabkan oleh dampak inflasi, regulasi, dan penugasan pemerintah.
(4) Peninjauan kembali jatuh tempo penjadwalan pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
(5) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan dokumen:

  1. realisasi dan proyeksi arus kas tahun berjalan;
  2. penjelasan penyebab kesulitan kas; dan
  3. surat pernyataan tanggung jawab mutlak mengenai kebenaran data pendukung dari direksi, dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 16
(1) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelitian terhadap permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menerbitkan surat penolakan atau surat penjadwalan pembayaran.
(3) Surat penolakan atau surat penjadwalan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung setelah tanggal surat permohonan diterima.
Pasal 17

Untuk memenuhi keuangan negara Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan dapat meninjau kembali penetapan penjadwalan pembayaran PNBP dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) setelah berkoordinasi dengan Wajib Bayar.

BAB VIII
KEWAJIBAN INTERIMPasal 18

Dalam hal Wajib Bayar ditetapkan untuk menyetor Kewajiban Interim pada tahun anggaran berjalan, dilakukan paling lambat pada tanggal 27 Desember tahun anggaran berjalan.

BAB IX
MONITORING DAN EVALUASIPasal 19

(1) Untuk monitoring dan evaluasi penerimaan Dividen, Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah, Surplus LPS Bagian Pemerintah, Bagian Laba Pemerintah pada LPEI, dan PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI, Wajib Bayar harus menyampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran dokumen sebagai berikut;

  1. bukti setor pembayaran Dividen, Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah, Surplus LPS Bagian Pemerintah dan Bagian Laba Pemerintah pada LPEI dan PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI;
  2. risalah RUPS dan/atau notulen RUPS untuk Persero dan Perseroan Terbatas Lainnya;
  3. Surat Menteri Badan Usaha Milik Negara terkait pengesahan laporan keuangan dan penetapan penggunaan laba bersih untuk Perum;
  4. surat Gubernur Bank Indonesia kepada Menteri Keuangan terkait Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah untuk Bank Indonesia;
  5. surat Menteri Keuangan terkait penetapan Surplus LPS Bagian Pemerintah untuk LPS;
  6. surat Menteri Keuangan terkait penetapan Bagian Laba Pemerintah pada LPEI dan PNBP yang Berasal dari Akumulasi Cadangan Umum dan Cadangan Tujuan pada LPEI, untuk LPEI; dan
  7. laporan keuangan Wajib Bayar yang telah diaudit.
(2) Bukti setor pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal pembayaran.
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterbitkan.
(4) Dalam hal Wajib Bayar tidak menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan memberikan sanksi berupa surat teguran kepada Wajib Bayar.
BAB X
KETENTUAN PENUTUPPasal 20

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 05/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Dividen (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8); dan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Surplus Bank Indonesia Bagian Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 9),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 21

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Desember 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Desember 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1772
source : ortax.org

Peraturan Daerah – 190 TAHUN 2017

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 190 TAHUN 2017
TENTANG

TATA CARA PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 39 Tahun 2003, Keputusan Gubernur Nomor 46 Tahun 2003 dan Keputusan Gubernur Nomor 50 Tahun 2003 telah diatur mengenai tata cara pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus dan pelaksanaan surat paksa, besarnya penagihan pajak daerah untuk pemberitahuan surat paksa dan pelaksanaan surat perintah melaksanakan penyitaan, dan pelaksanaan penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa;
  2. bahwa dalam rangka meningkatkan penerimaan Pajak Daerah terhadap utang pajak dan mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan daerah, perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa sehingga beberapa Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu disempurnakan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara Penagihan Pajak Daerah Dengan Surat Paksa;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000;
  2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah;
  10. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA.

BAB I
KETENTUAN UMUMPasal 1

Dalam Peraturan Gubernur ini, yang dimaksud dengan :

  1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  4. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Badan Pajak dan Retribusi Daerah adalah Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  6. Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah adalah Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  7. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  8. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  9. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perpajakan Daerah.
  10. Jurusita Pajak Daerah adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan.
  11. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
  12. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan.
  13. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  14. Penagihan Pajak Daerah adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur, memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita.
  15. Surat Penentuan Harga Limit adalah tafsiran harga barang sitaan yang dikeluarkan Kepala Badan.
  16. Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Badan atau Pejabat yang ditunjuk untuk memperingatkan kepada Wajib Pajak agar melunasi utang pajaknya.
  17. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak Daerah kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak, dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
  18. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
  19. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
  20. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah dan nilai.
  21. Objek Sita adalah barang Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.
  22. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita.
  23. Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
  24. Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang melaksanakan penjualan secara lelang.
  25. Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lelang.
  26. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  27. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
  28. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
  29. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan Untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
  30. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  31. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak vang telah ditetapkan.
  32. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  33. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

BAB II
PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK DAERAH

Bagian Kesatu
Kewenangan

Pasal 2

(1) Gubernur berwenang melakukan penagihan Pajak Daerah.
(2) Penagihan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak Daerah.
(4) Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang menerbitkan :

  1. surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
  2. surat perintah penagihan seketika dan sekaligus;
  3. surat paksa;
  4. surat perintah melaksanakan penyitaan;
  5. surat pencabutan sita;
  6. pengumuman lelang;
  7. surat penentuan harga limit;
  8. pembatalan lelang; dan
  9. surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak.
(5) Surat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf i, antara lain merupakan surat himbauan dengan penempelan stiker dan penempelan plang.
Pasal 3
(1) Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) melaksanakan penagihan pajak dalam hal pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan Pemotongan atau Pemungutan oleh Pihak Ketiga, maka atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Bagian Kedua
JurusitaPasal 4
(1) Jurusita Pajak Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur.
(2) Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Paragraf 1
Persyaratan dan Sumpah PengangkatanPasal 5
(1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi Jurusita Pajak Daerah adalah sebagai berikut :

  1. berijazah paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang setingkat dengan itu;
  2. berpangkat paling rendah Pengatur Muda/Golongan II/a;
  3. berbadan sehat;
  4. lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak; dan
  5. jujur, bertanggung jawab dan penuh pengabdian. .
(2) Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak Daerah diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, yang berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga.”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pemberian.” ‘
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Jurusita Pajak yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan.”
Paragraf 2
Tugas dan WewenangPasal 6
(1) Jurusita Pajak bertugas :

  1. melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
  2. memberitahukan Surat Paksa; dan
  3. melaksanakan Penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
  4. melaksanakan penyanderaan berdasarkan surat perintah penyanderaan.
(2) Jurusita Pajak Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan surat tugas dan kartu tanda pengenal jurusita pajak daerah dan harus diperlihatkan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
(3) Jurusita Pajak Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat umum, ditempat kedudukan, atau di tempat tinggal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Jurusita Pajak Daerah dapat meminta bantuan Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pertanahan Nasional, Dirjen Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain.
(5) Jurusita Pajak Daerah dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di wilayah atau daerah berlakunya wewenang berdasarkan surat tugas penempatan.
Paragraf  3
Pemberhentian Jurusita Pajak DaerahPasal 7

Jurusita Pajak Daerah diberhentikan apabila :

  1. meninggal dunia;
  2. pensiun;
  3. karena alih tugas atau kepentingan dinas lainnya;
  4. ternyata lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas;
  5. melakukan perbuatan tercela;
  6. melanggar sumpah atau janji Jurusita Pajak; atau
  7. sakit jasmani atau rohani terus menerus.
Bagian Ketiga
Penagihan Seketika dan SekaligusPasal 8
(1) Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, apabila :

  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk paling lama atau berniat untuk itu;
  2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
  3. terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha, atau menggabungkan usaha, atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
  4. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara dan/atau daerah; atau
  5. terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(2) Penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;
  2. diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat yang sejenis;
  3. diterbitkan sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat yang sejenis diterbitkan; atau
  4. diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya memuat:

  1. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  2. besarnya utang pajak;
  3. perintah untuk membayar; dan
  4. saat pelunasan pajak.
(4) Bentuk Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 1 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
BAB III
PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSABagian Kesatu
Penerbitan dan Pelaksanaan Surat TeguranPasal 9
(1) Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
(3) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan atau diberikan kepada Wajib Pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan.
(4) Penyampaian Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan :

  1. secara langsung;
  2. melalui pos; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(5) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:    .

  1. Nama Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  2. besarnya utang pajak;
  3. perintah untuk membayar; dan
  4. jangka waktu pelunasan utang pajak.
(6) Bentuk Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 2 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Penerbitan dan Pelaksanaan Surat PaksaPasal 10
(1) Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(3) Surat Paksa sekurang-kurangnya memuat:

  1. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
  2. dasar penagihan;
  3. besarnya utang pajak; dan
  4. perintah untuk membayar.
(4) Bentuk Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 3 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 11

Surat Paksa yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dalam hal :

  1. apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4);
  2. terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;    .
  3. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaaan pembayaran pajak.
Pasal 12
(1) Surat Paksa yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak Daerah kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
(2) Pemberitahuan akan Surat Paksa kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
(3) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi :

  1. hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
  2. nama Jurusita Pajak;
  3. nama yang menerima;
  4. tempat pemberitahuan Surat Paksa; dan
  5. ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
(4) Bentuk Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Format 4 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
(5) Bentuk Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Format 5 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 13
(1) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada :

  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau ditempat lain yang memungkinkan;
  2. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
  3. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
  4. ahli waris, apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
(2) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada :

  1. pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik ditempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau
  2. pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Pasal 14
(1) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
(3) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa.
Pasal 15
(1) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak Daerah meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
(2) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Kelurahan dan/atau Kecamatan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, dengan mengumumkan melalui media massa, atau dengan cara lain.
Pasal 16

Dalam hal pelaksanaan Surat Paksa harus dilakukan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa tetap dapat melaksanakan penyampaian Surat Paksa kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.

Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain, Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan.
(2) Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.
Bagian Ketiga
Penerbitan dan Pelaksanaan Surat Perintah Melaksanaan
Penyitaan dan PenyitaanParagraf 1
PenyitaanPasal 18
(1) Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(2) Berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
(3) Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur sebagai berikut:

  1. Tanggal dan Nomor Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dicatat dalam :
    1. Buku register Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
    2. Buku register pengawasan tindakan penagihan.
  2. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan didukung adanya bukti piutang pajak yang belum kedaluwarsa dan hasil pemeriksaan mengenai data harta kekayaan/aktiva yang akan disita.
Pasal 19
(1) Barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa :

  1. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan/atau
  2. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
(2) Terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak Orang Pribadi penyitaan dapat dilaksanakan atas barang milik pribadi yang bersangkutan, isteri, dan anak yang masih dalam tanggungan, kecuali dikehendaki secara tertulis oleh suami atau isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
(3) Terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak Badan penyitaan dapat dilaksanakan atas barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
(4) Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak.
(5) Urutan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah utang pajak dan biaya penagihan pajak, kemudahan penjualan atau pencairannya.
Pasal 20
(1) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya.
(2) Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus :

  1. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;
  2. memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
  3. memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan.
(3) Setiap melaksanakan penyitaan Jurusita Pajak harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan saksi-saksi.
(4) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita, Jurusita Pajak harus mencantumkan penolakan tersebut dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
(5) Penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, sepanjang salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Pemerintah Daerah setempat, paling sedikit setingkat Sekretaris Kelurahan.
(6) Dalam hal pelaksanaan penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
(7) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak dan atau barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita berada, atau di tempat-tempat umum.
(8) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada :

  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  2. Kepolisian untuk barang bergerak yang kepemilikannya terdaftar;
  3. Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar;
  4. Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat, untuk tanah yang kepemilikannya belum terdaftar; dan
  5. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, untuk kapal.
(9) Bentuk Berita Acara Pelaksanaan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Format 6 Peraturan Gubernur ini.
Pasal 21
(1) Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan ketentuan sebagai berikut:

  1. membuat rincian tentang jenis, jumlah dan harga perhiasan yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita.
(2) Penyitaan terhadap uang tunai termasuk mata uang asing dilaksanakan sebagai berikut:

  1. menghitung terlebih dahulu uang tunai yang disita dan membuat rinciannya dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. menyimpan uang tunai yang telah disita dalam tempat penyimpanan yang selanjutnya ditempeli dengan segel sita dan kemudian menitipkannya pada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau menitipkannya pada bank.
(3) Penyitaan terhadap kekayaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Pejabat mengajukan permintaan pemblokiran kepada bank disertai dengan penyampaian Salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
  2. bank wajib memblokir seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Pejabat dan membuat berita acara pemblokiran serta menyampaikan salinannya kepada Pejabat dan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  3. Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran dari bank memerintahkan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak;
  4. dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Pejabat meminta Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank untuk memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank yang dimaksud;
  5. setelah saldo kekayaan yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan dan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan bank yang bersangkutan;
  6. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
  7. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap kekayaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sekalipun telah dilakukan pemblokiran; dan
  8. dalam hal pelaksanaan pemblokiran dilakukan terhadap harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang namanya tidak tercantum dalam Surat Paksa dan/atau Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, maka surat Permintaan Pemblokiran disertai dengan Surat Keterangan Kedudukan Penanggung Pajak pada Wajib Pajak.
(4) Bentuk Surat Permintaan Pemblokiran sebagaimana ayat (3) huruf h tercantum dalam Format 7 tercantum dalam Lampiran Peraturan Gubernur ini.
(5) Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut:

  1. pemblokiran Rekening Efek pada Kustodian dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta atau Pejabat yang ditunjuknya kepada Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan menyebutkan nama Pemegang Rekening atau nomor Pemegang Rekening sebagai Penanggung Pajak, sebab dan alasan perlunya pemblokiran tersebut dilakukan;
  2. berdasarkan permintaan Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta atau Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud pada huruf a, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat menyampaikan perintah tertulis kepada Kustodian untuk melakukan pemblokiran terhadap Rekening Efek Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  3. berdasarkan perintah tertulis dari Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana dimaksud pada huruf b, Kustodian melakukan pemblokiran;
  4. dalam hal permintaan pemblokiran tersebut disertai dengan permintaan keterangan tentang Rekening Efek pada Kustodian, maka permintaan tertulis dari Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta harus memuat nama Pejabat yang berwenang mendapat keterangan tersebut;
  5. Kustodian yang melakukan pemblokiran dan memberikan keterangan tentang Rekening Efek Pemegang Rekening membuat Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan;
  6. Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan tersebut disampaikan kepada Gubernur dan salinannya disampaikan kepada Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pemegang Rekening sebagai Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah pemblokiran dan pemberian keterangan tersebut dilakukan;
  7. Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan atas Efek dan/atau dana dalam Rekening Efek pada Kustodian segera setelah menerima Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan;
  8. Jurusita Pajak yang melakukan penyitaan harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan saksi-saksi;
  9. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak hadir, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi;
  10. Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, dan salinannya disampaikan kepada Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kustodian;
  11. Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap Rekening Efek Penanggung Pajak kepada Kustodian, setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
  12. Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap Rekening Efek Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sekalipun telah dilakukan pemblokiran; dan
  13. Efek yang diperdagangkan di bursa yang telah disita, dijual di bursa melalui Perantara Pedagang Efek Anggota Bursa atas permintaan Pejabat.
(6) Bentuk Berita Acara Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e tercantum dalam Format 8 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
(7) Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut:

  1. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis, jumlah dan nilai nominal atau perkiraan nilai lainnya dari surat berharga yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. membuat Berita Acara Pengalihan Hak Surat Berharga atas nama dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat.
(8) Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan sebagai berikut :

  1. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang.
(9) Penyitaan terhadap penyertaan modal pada perusahaan lain yang tidak ada surat sahamnya dilaksanakan sebagi berikut:

  1. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jumlah penyertaan modal pada perusahaan lain dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. membuat Akte Persetujuan Pengalihan Hak Penyertaan Modal pada perusahaan lain dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada perusahaan tempat penyertaan modal.
Pasal 22

Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, baru dapat dilaksanakan setelah barang bukti tersebut dikembalikan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.

Pasal 23
(1) Penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
(2) Jurusita Pajak tetap dapat melakukan penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang berada di luar wilayah kerja Pejabat.
Pasal 24
(1) Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut pertimbangan Jurusita Pajak barang sitaan tersebut perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain.
(2) Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak :

  1. barang bergerak yang telah disita dapat dititipkan kepada aparat Pemerintah Daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita; dan/atau
  2. barang tidak bergerak pengawasannya diserahkan kepada aparat Pemerintah Daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita tersebut.
(3) Tempat lain yang dapat digunakan sebagai tempat penitipan barang yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Kantor Pegadaian, bank, Kantor Pos atau tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 25

Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila :

  1. nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak; atau
  2. hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
Pasal 26
(1) Atas barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita.
(2) Penempelan Segel Sita dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, sifat dan bentuk barang sitaan.
(3) Segel Sita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat paling sedikit :

  1. kata “DISITA”;
  2. nomor dan tanggal Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, merusak barang yang disita.
(4) Bentuk Segel Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Format 9 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 27
(1) Pencabutan sita dilaksanakan apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau berdasarkan putusan Badan Peradilan Pajak atau ditetapkan lain oleh Gubernur.
(2) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat.
(3) Bentuk Surat Pencabutan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 10 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
(4) Surat Pencabutan Sita sekaligus berfungsi sebagai pencabutan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan instansi yang terkait, diikuti dengan pengembalian penguasaan barang yang disita kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
(5) Pencabutan sita terhadap :

  1. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada bank yang bersangkutan;
  2. surat berharga berupa obligasi, saham atau sejenisnya baik yang diperdagangkan maupun yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada pihak terkait yang sekaligus berfungsi sebagai pembatalan Berita Acara Pengalihan Hak Atas Surat Berharga tersebut;
  3. piutang dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada pihak yang berutang yang sekaligus berfungsi sebagai pembatalan Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang; dan/atau
  4. penyertaan modal pada perusahaan lain dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada pihak terkait serta membuat Akte Pengalihan Hak.
(6) Bentuk Berita Acara Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Format 11 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 28

Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dilarang :

  1. memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;
  2. membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan utang tertentu;
  3. membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu; dan
  4. merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
Pasal 29

Barang bergerak milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dikecualikan penyitaan yaitu :

  1. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
  2. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
  3. perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
  4. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan kebudayaan dan keilmuan;
  5. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); dan/atau
  6. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Pasal 30
(1) Pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyitaan atas barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, wajib membantu pelaksanaan penyitaan.
(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja untuk tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh Juru Sita Pajak.
(3) Bentuk Laporan Pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 12 Peraturan Gubernur ini.
Pasal 31

Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dapat melunasi utang pajak dan biaya yang timbul dalam rangka penagihan pajak selama barang yang telah disita belum dijual, digunakan atau dipindahbukukan.

Bagian Keempat
Pelelangan
Pasal 32
(1) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, Pejabat yang ditunjuk segera :

  1. meminta kepada pimpinan bank untuk menggunakan atau memindahbukukan harta kekayaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas daerah sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  2. meminta kepada Kantor Lelang untuk melelang atau tidak melelang.
(2) Sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat yang ditunjuk untuk menggunakan barang sitaan dimaksud untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
Pasal 33
(1) Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang berupa :

  1. uang tunai;
  2. surat-surat berharga :
    1. kekayaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank seperti deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
    2. obligasi;
    3. saham;
    4. piutang;
    5. penyertaan modal; dan
    6. surat berharga lainnya.
  3. barang yang mudah rusak atau cepat busuk.
(2) Terhadap barang yang mudah rusak atau cepat busuk, Pejabat dapat segera menjual barang-barang dimaksud untuk pelunasan biaya penagihan pajak dan utang pajak.
Pasal 34
(1) Penggunaan, penjualan dan/atau pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dilakukan dengan cara sebagai berikut :

  1. uang tunai disetor ke Kas Daerah;
  2. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Daerah atas permintaan Pejabat yang ditunjuk kepada Bank yang bersangkutan;
  3. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat yang ditunjuk;
  4. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat yang ditunjuk;
  5. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat yang ditunjuk;
  6. penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak menjual dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk penentuan harga jual, Pejabat dapat meminta bantuan kepada Jasa Penilai.
(3) Berdasarkan rekomendasi Jasa Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau perkiraan sendiri, pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Penetapan Harga Limit.
(4) Penjualan atas barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f diikuti dengan pembuatan Berita Acara Pengalihan Hak dari Pejabat yang ditunjuk kepada pembeli yang fungsinya dipersamakan dengan Risalah Lelang.
Pasal 35

Dalam hal penjualan yang dikecualikan dari lelang, biaya penagihan pajak ditambah 1% (satu persen) dari hasil penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).

Pasal 36
(1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa.
(2) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
(3) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali.
(4) Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa.
(5) Pejabat yang ditunjuk bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang sebelum lelang dilaksanakan.
(6) Pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli Risalah Lelang.
(7) Pejabat yang ditunjuk dan Jurusita Pajak tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang, berlaku juga terhadap istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat.
(8) Pejabat yang ditunjuk dan Jurusita Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Perubahan, besarnya nilai barang yang tidak harus diumumkan melalui media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(10) Bentuk Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang Barang Sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Format 13 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 37

Lelang tetap dapat dilaksanakan dalam hal tanpa dihadiri oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.

Pasal 38

Lelang tidak dilaksanakan jika :

  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
  2. berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan badan peradilan pajak; atau
  3. objek lelang musnah.
Pasal 39
(1) Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak.
(2) Dalam hal penjualan secara lelang, biaya penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1% (satu persen) dari pokok lelang.
(3) Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya, penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh Pejabat yang ditunjuk walaupun barang yang akan dilelang masih ada.
(4) Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
(5) Dalam hal Pejabat yang ditunjuk lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Hak Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.
Bagian Kelima
Pencegahan dan PenyanderaanParagraf 1
PencegahanPasal 40

Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang :

  1. mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
  2. diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Pasal 41
(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Gubernur
(2) Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya :

  1. identitas Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;
  2. alasan untuk melakukan pencegahan; dan
  3. jangka waktu pencegahan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan dengan surat tercatat kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau orang-orang yang terkena pencegahan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penetapan.
(4) Jangka waktu pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(5) Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada :

  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;
  2. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
  3. Gubernur; dan
  4. Walikota.
(6) Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau ahli waris.
Pasal 42

Pencegahan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 43

Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 2
PenyanderaanPasal 44

Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.

Pasal 45
(1) Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang :

  1. mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
  2. diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang pajak.
(2) Penyanderaan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah setelah memperoleh izin tertulis dari Gubernur.
(3) Bentuk Surat Perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Format 14 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 46
(1) Permohonan izin penyanderaan diajukan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah kepada Gubernur.
(2) Permohonan izin penyanderaan memuat paling sedikit :

  1. identitas Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang akan disandera;
  2. jumlah utang pajak yang belum dilunasi;
  3. tindakan penagihan pajak yang telah dilaksanakan; dan
  4. uraian tentang adanya petunjuk bahwa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak diragukan itikad baik dalam pelunasan utang pajak, meliputi :
    1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi utang pajak;
    2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi utang pajak baik sekaligus maupun angsuran;
    3. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
    4. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; dan
    5. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya.
(3) Bentuk Surat Permohonan izin penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 15 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 47
(1) Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah setelah diterimanya izin tertulis dari Gubernur.
(2) Surat Perintah Penyanderaan memuat paling sedikit:

  1. identitas Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  2. alasan penyanderaan;
  3. izin penyanderaan;
  4. lama penyanderaan; dan
  5. tempat peyanderaan.
Pasal 48
(1) Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan ditempat tertentu sebagai tempat penyanderaan dengan syarat sebagai berikut:

  1. tertutup dan terasing dari masyarakat;
  2. mempunyai fasilitas terbatas; dan
  3. mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai.
(2) Sebelum tempat penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera dititipkan di rumah tahanan negara dan terpisah dari tahanan lain.
(3) Penyanderaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 49

Jangka waktu penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 50
(1) Jurusita Pajak harus menyampaikan Surat Perintah Penyanderaan langsung kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya.
(2) Dalam melaksanakan penyanderaan Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, bersembunyi atau melarikan diri, Jurusita Pajak melalui Pejabat atau atasan Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk menghadirkan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut.
Pasal 51
(1) Penyanderaan tetap dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah dilakukan pencegahan.
(2) Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dalam hal :

  1. Sedang beribadah;
  2. Sedang mengikuti sidang resmi; atau
  3. Sedang mengikuti Pemilihan Umum.
(3) Penyanderaan mulai dilaksanakan pada saat Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang bersangkutan dan salinannya disampaikan kepada kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala tempat penyanderaan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera menolak untuk menerima Surat Perintah Penyanderaan, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Perintah Penyanderaan dimaksud di tempat kedudukan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak (tempat tinggal atau tempat bekerja) dan mencatatnya dalam Berita Acara Penyampaian Surat Perintah Penyanderaan bahwa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Perintah Penyanderaan, dan Surat Perintah Penyanderaan dianggap telah diterima serta sah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 52
(1) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Penyanderaan dan ditandatangani oleh Jurusita Pajak, kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala tempat penyanderaan dan saksi-saksi pada saat Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak ditempatkan di tempat penyanderaan.
(2) Berita Acara Penyanderaan paling sedikit memuat:

  1. nomor dan tanggal Surat Perintah Penyanderaan;
  2. izin tertulis Gubernur;
  3. identitas Jurusita Pajak;
  4. identitas Penanggung Pajak yang disandera;
  5. tempat penyanderaan;
  6. lamanya penyanderaan; dan
  7. identitas saksi penyanderaan.
(3) Salinan Berita Acara Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) disampaikan kepada :

  1. kepala tempat penyanderaan,
  2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera; dan
  3. Walikota atau Bupati Administrasi.
(4) Bentuk Berita Acara Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Format 16 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 53
(1) Selama dalam penyanderaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak berhak untuk :

  1. melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
  2. memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  3. mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
  4. menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas;
  5. memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera; dan
  6. menerima kunjungan dari :
    1. keluarga, pengacara dan sahabat;
    2. dokter pribadi atas biaya sendiri; dan
    3. rohaniawan.
(2) Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah tahanan Negara atau tempat penyanderaan wajib mematuhi tata tertib dan disiplin.
(3) Apabila terbukti Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak melanggar tata tertib dan disiplin Kepala Tahanan Negara melaporkan kepada Kepala Badan.
Pasal 54
(1) Penanggung Pajak yang disandera dilepas, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
  2. apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah dipenuhi;
  3. berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
  4. berdasarkan pertimbangan tertentu dari Gubernur.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a di atas berupa salinan atau fotokopi bukti pembayaran/pelunasan utang pajak/biaya penagihan pajak lembar pertama yang dilegalisasi oleh tempat pembayaran pajak yang bersangkutan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c di atas berupa salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dilegalisasi oleh pengadilan yang bersangkutan.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa Surat Rekomendasi/Surat Pemberitahuan Kepala Badan, dengan pertimbangan:

  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sudah membayar utang pajak 50% atau lebih dari jumlah utang pajak/sisa utang pajak, dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran;
  2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan bank garansi;
  3. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan harta kekayaannya yang sama nilainya dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  4. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah berumur 75 tahun atau lebih; atau
  5. untuk kepentingan perekonomian negara dan kepentingan umum.
(5) Kepala Badan memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Rumah Tahanan Negara atau tempat penyanderaan apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan dilepas dari penyanderaan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf c, atau huruf d.
(6) Kepala Rumah Tahanan Negara atau tempat penyanderaan segera memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah dilepas dari penyanderaan.
Pasal 55
(1) Penanggung Pajak yang melarikan diri dari tempat penyanderaan dalam masa penyanderaan, disandera kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya.
(2) Masa penyanderaan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sama dengan masa penyanderaan menurut Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya dengan memperhitungkan masa penyanderaan yang, telah dijalani sebelum Penanggung Pajak melarikan diri.
Pasal 56

Biaya penyanderaan dibebankan kepada Penanggung Pajak yang disandera dan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.

Paragraf Ketiga
Rehabilitasi Nama BaikPasal 57
(1) Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri.
(2) Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan setelah masa penyanderaan berakhir.
(3) Dalam hal gugatan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dikabulkan oleh pengadilan dan putusan pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik.
Pasal 58
(1) Permohonan rehabilitasi nama baik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut :

  1. Putusan Pengadilan;
  2. Surat Perintah Penyanderaan; dan
  3. Surat Pemberitahuan Pelepasan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera.
(2) Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Kepala Badan dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional/regional/lokal dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari.
(3) Bentuk Surat Pemberitahuan Pelepasan Wajib Pajak yang disandera sebagaimana dimaksud pada (1) huruf c tercantum dalam Format 17 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
BAB IV
KETENTUAN KHUSUSPasal 59
(1) Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau Pejabat dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah terhadap Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
(2) Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah tidak memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda untuk sementara waktu.
(4) Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah dapat membetulkan Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
(5) Tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah.
(6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan sesuai jangka waktu semula.
Pasal 60
(1) Hasil Pelaksanaan atas Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dituangkan dalam dokumen laporan pelaksanaan.
(2) Bentuk Laporan Pelaksanaan Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika Sekaligus sebagaimana tercantum pada ayat (1) sesuai Format 18 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 61

Penagihan Pajak Daerah dengan Surat Paksa tidak dilaksanakan apabila telah kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah.

BAB V
BIAYA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSAPasal 62
(1) Biaya Penagihan Pajak Daerah adalah sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap pemberitahuan Surat Paksa dan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(2) Biaya Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebankan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang akan diperhitungkan berdasarkan hasil Lelang.
(3) Bentuk Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 19 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
Pasal 63

Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah setiap tahun mengajukan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pemberian Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan serta biaya Penyanderaan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUPPasal 64

Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku :

  1. Keputusan Gubernur Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa;
  2. Keputusan Gubernur Nomor 50 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa; dan
  3. Keputusan Gubernur Nomor 46 Tahun 2003 tentang Besarnya Penagihan Pajak Daerah di Propinsi DKI Jakarta untuk memberitahukan Surat Paksa dan Pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 65

Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Desember 2017
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,ttdANIES BASWEDAN

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2017
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd

SAEFULLAH

BERITA DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2017 NOMOR 71047
Source : ortax.org