PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 12/PJ/2019

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 12/PJ/2019

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN PEMANFAATAN JASA KENA
PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN
ATAS IMPOR YANG MERUPAKAN PEMASUKAN BARANG
YANG DIGUNAKAN UNTUK KEGIATAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :
a. bahwa untuk memberikan kepastian hukum perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas impor termasuk impor sementara, yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan mendukung kemudahan dalam berusaha (ease of doing business), perlu mengatur mengenai tata cara penerbitan surat keterangan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atas impor yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.04/2017 tentang Impor Sementara, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Atas Impor yang Merupakan Pemasukan Barang yang Digunakan untuk Kegiatan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.04/2017 tentang Impor Sementara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1703);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN ATAS IMPOR YANG MERUPAKAN PEMASUKAN BARANG YANG DIGUNAKAN UNTUK KEGIATAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:

  1. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disingkat PPN atau PPN dan PPnBM, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. 
  2. Barang Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat BKP, adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  3. Jasa Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat JKP, adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  4. Surat Keterangan Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang selanjutnya disebut SKJLN, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  5. Kode Verifikasi SKJLN adalah kode yang digunakan untuk memverifikasi kebenaran SKJLN.

Pasal 2

(1) Impor BKP terutang PPN atau PPN dan PPnBM.
(2) Impor BKP yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak, tidak dikenakan PPN atau PPN dan PPnBM atas impor BKP.
(3) Impor BKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk impor sementara.
(4) Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 3

(1) Wajib Pajak harus memiliki SKJLN sebelum melakukan impor untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Untuk memiliki SKJLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, atas setiap impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat informasi:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. Nama dan alamat lawan transaksi;
c. Jenis dan nilai transaksi;
d. Nomor dan tanggal kontrak;
e. Nomor dan tanggal adendum kontrak, dalam hal ada perubahan atas kontrak sebelumnya;
f. Tanggal kontrak berakhir; dan
g. Jenis barang yang diimpor, dalam hal Wajib Pajak tidak menggunakan mekanisme impor sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
(4) Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKJLN.
(5) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak.
(6) Dalam hal laman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(7) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani oleh:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan; atau
b. pimpinan tertinggi Wajib Pajak Badan atau pengurus yang diberikan wewenang untuk menjalankan kegiatan perusahaan yang berkaitan dengan perpajakan, yang dibuktikan dengan fotokopi akta pendirian atau dokumen pendukung lainnya.

Pasal 4

Wajib Pajak diberikan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dalam hal memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan/atau
b. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir bagi Wajib Pajak yang merupakan Pengusaha Kena Pajak,
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 5

(1) Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), Direktorat Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
a. menerbitkan SKJLN, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4; atau
b. tidak memproses permohonan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan/atau Pasal 4,
secara otomatis melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(2) Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
a. menerbitkan SKJLN dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (7), dan Pasal 4; atau
b. menerbitkan surat penolakan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (7), dan/atau Pasal 4.
(3) SKJLN yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a memuat Kode Verifikasi SKJLN.

Pasal 6

(1) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memperoleh SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan pembatalan SKJLN.
(2) Atas pembatalan SKJLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib membayar PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas impor BKP dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan pada saat impor BKP.
(4) Kewajiban pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan surat keterangan pembatalan SKJLN.
(5) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 7

(1) Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) tidak dipenuhi, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung sejak saat impor BKP sampai dengan tanggal pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Pasal 8

Permohonan penerbitan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, dan surat penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, surat keterangan pembatalan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dibuat sesuai dengan contoh format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2019
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 12/PJ/2019

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 12/PJ/2019

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN PEMANFAATAN JASA KENA
PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN
ATAS IMPOR YANG MERUPAKAN PEMASUKAN BARANG
YANG DIGUNAKAN UNTUK KEGIATAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :
a. bahwa untuk memberikan kepastian hukum perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas impor termasuk impor sementara, yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan mendukung kemudahan dalam berusaha (ease of doing business), perlu mengatur mengenai tata cara penerbitan surat keterangan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atas impor yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.04/2017 tentang Impor Sementara, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Atas Impor yang Merupakan Pemasukan Barang yang Digunakan untuk Kegiatan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.04/2017 tentang Impor Sementara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1703);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN ATAS IMPOR YANG MERUPAKAN PEMASUKAN BARANG YANG DIGUNAKAN UNTUK KEGIATAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:

  1. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disingkat PPN atau PPN dan PPnBM, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. 
  2. Barang Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat BKP, adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  3. Jasa Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat JKP, adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  4. Surat Keterangan Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang selanjutnya disebut SKJLN, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  5. Kode Verifikasi SKJLN adalah kode yang digunakan untuk memverifikasi kebenaran SKJLN.

Pasal 2

(1) Impor BKP terutang PPN atau PPN dan PPnBM.
(2) Impor BKP yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak, tidak dikenakan PPN atau PPN dan PPnBM atas impor BKP.
(3) Impor BKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk impor sementara.
(4) Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 3

(1) Wajib Pajak harus memiliki SKJLN sebelum melakukan impor untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Untuk memiliki SKJLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, atas setiap impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat informasi:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. Nama dan alamat lawan transaksi;
c. Jenis dan nilai transaksi;
d. Nomor dan tanggal kontrak;
e. Nomor dan tanggal adendum kontrak, dalam hal ada perubahan atas kontrak sebelumnya;
f. Tanggal kontrak berakhir; dan
g. Jenis barang yang diimpor, dalam hal Wajib Pajak tidak menggunakan mekanisme impor sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
(4) Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKJLN.
(5) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak.
(6) Dalam hal laman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(7) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani oleh:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan; atau
b. pimpinan tertinggi Wajib Pajak Badan atau pengurus yang diberikan wewenang untuk menjalankan kegiatan perusahaan yang berkaitan dengan perpajakan, yang dibuktikan dengan fotokopi akta pendirian atau dokumen pendukung lainnya.

Pasal 4

Wajib Pajak diberikan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dalam hal memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan/atau
b. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir bagi Wajib Pajak yang merupakan Pengusaha Kena Pajak,
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 5

(1) Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), Direktorat Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
a. menerbitkan SKJLN, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4; atau
b. tidak memproses permohonan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan/atau Pasal 4,
secara otomatis melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(2) Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
a. menerbitkan SKJLN dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (7), dan Pasal 4; atau
b. menerbitkan surat penolakan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (7), dan/atau Pasal 4.
(3) SKJLN yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a memuat Kode Verifikasi SKJLN.

Pasal 6

(1) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memperoleh SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan pembatalan SKJLN.
(2) Atas pembatalan SKJLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib membayar PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas impor BKP dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan pada saat impor BKP.
(4) Kewajiban pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan surat keterangan pembatalan SKJLN.
(5) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 7

(1) Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) tidak dipenuhi, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung sejak saat impor BKP sampai dengan tanggal pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Pasal 8

Permohonan penerbitan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, dan surat penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, surat keterangan pembatalan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dibuat sesuai dengan contoh format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2019
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/PMK.04/2019

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 98/PMK.04/2019

TENTANG

TARIF ATAS SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA
DAN TATA CARA PENGENAAN, PEMUNGUTAN, DAN PENYETORAN
SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA ATAS PELANGGARAN KETENTUAN
DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN,
DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif atas Sanksi Administratif Berupa Denda dan Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, dan Penyetoran Sanksi Administratif Berupa Denda atas Pelanggaran Ketentuan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
  3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6245);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6302);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TARIF ATAS SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DAN TATA CARA PENGENAAN, PEMUNGUTAN, DAN PENYETORAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA ATAS PELANGGARAN KETENTUAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.
  2. Devisa adalah aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi internasional.
  3. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DHE SDA adalah Devisa hasil kegiatan ekspor barang yang berasal dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.
  4. Rekening Khusus DHE SDA adalah rekening Eksportir di Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing yang ditujukan khusus untuk menerima dan menyimpan DHE SDA.
  5. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing adalah bank yang memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia.
  6. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepabeanan.
  7. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan Ekspor.
  8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  10. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean.
  11. Bank Indonesia adalah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
  12. Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 2

Setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa.

Pasal 3

(1) Khusus Devisa berupa DHE SDA, wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia.
(2) DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berasal dari hasil barang Ekspor:
a. pertambangan;
b. perkebunan;
c. kehutanan; dan
d. perikanan.
(3) Jenis barang Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.

Pasal 4

(1) Direktur Jenderal yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3):
a. wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan;
b. bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan; dan
c. tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pihak lainnya.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh.) atau pejabat pelaksana tugas (Plt.) yang ditunjuk.
(3) Pejabat pelaksana harian (Plh.) atau pejabat pelaksana tugas (Plt.) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertanggung jawab secara substansi atas pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan.

Pasal 5

(1) Eksportir wajib memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) melalui penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing.
(2) Penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor.

Pasal 6

DHE SDA pada Rekening Khusus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dapat digunakan oleh Eksportir yang menempatkan DHE SDA tersebut untuk pembayaran:
a. bea keluar dan pungutan lain di bidang Ekspor;
b. pinjaman:
c. impor:
d. keuntungan/dividen; dan/atau
e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Pasal 7

(1) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan melalui escrow account, Eksportir wajib membuat escrow account tersebut pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing.
(2) Dalam hal escrow account sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dibuat di luar negeri, Eksportir wajib memindahkan escrow account pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam valuta asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8

(1) Dalam hal Eksportir tidak melakukan penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Eksportir dikenakan denda sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai DHE SDA yang belum ditempatkan ke dalam Rekening Khusus DHE SDA.
(2) Dalam hal Eksportir menggunakan DHE SDA pada Rekening Khusus DHE SDA untuk pembayaran di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Eksportir dikenakan denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai DHE SDA yang digunakan untuk pembayaran di luar ketentuan.
(3) Terhadap Eksportir yang tidak membuat escrow account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau tidak memindahkan escrow account di luar negeri pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Eksportir dikenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang ekspor.

Pasal 9

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) disetor ke Kas Negara sebagai pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari hak negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 10

(1) Kepala Kantor Pabean melakukan perhitungan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) dengan mendasarkan pada hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
(2) Kepala Kantor Pabean mengenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor dengan mendasarkan pada hasil pengawasan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan yang menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan/atau Pasal 7.
(3) Berdasarkan perhitungan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pabean atas nama Menteri menerbitkan:
a. surat tagihan pertama kepada Eksportir;
b. surat tagihan kedua, yang diterbitkan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat tagihan pertama sebagaimana dimaksud pada huruf a diterbitkan, Eksportir tidak melunasi kewajibannya; dan
c. surat tagihan ketiga, yang diterbitkan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat tagihan kedua sebagaimana dimaksud pada huruf b diterbitkan, Eksportir tidak melunasi kewajibannya.
(4) Surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan melalui Sistem Komputer Pelayanan.
(5) Dalam hal penerbitan surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dapat dilakukan melalui Sistem Komputer Pelayanan, penerbitan surat tagihan dimaksud dilakukan secara manual.
(6) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat tagihan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diterbitkan Eksportir tidak melunasi kewajibannya, atas pemberitahuan ekspor barang (PEB) berikutnya tidak dilayani sampai dengan Eksportir melunasi kewajibannya.
(7) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diterbitkan Eksportir tidak melunasi kewajibannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai:
a. menerbitkan surat penyerahan tagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya;
b. mengenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor; dan
c. menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan.
(8) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat meminta penjelasan tertulis atas hasil pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dan/atau Eksportir terkait adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6.
(9) Permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terkait dengan elemen data hasil pengawasan yang terdapat dalam sistem monitoring Bank Indonesia.
(10) Contoh format surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 11

(1) Kepala Kantor Pabean yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3):
a. wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan;
b. bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan; dan
c. tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pihak lainnya.
(2) Dalam hal Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh.) atau pejabat pelaksana tugas (Plt.) yang ditunjuk.
(3) Pejabat pelaksana harian (Plh.) atau pejabat pelaksana tugas (Plt.) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertanggung jawab secara substansi atas pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan.

Pasal 12

Hasil pengawasan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan yang menunjukkan bahwa Eksportir telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan/atau Pasal 7, menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memberikan pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor.

Pasal 13

(1) Eksportir wajib membayar denda sesuai surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) ke Kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Hasil pengawasan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 yang dilampiri dengan bukti pembayaran denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memberikan pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor.

Pasal 14

(1) Dalam hal Eksportir tidak setuju atas surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Eksportir dapat mengajukan permohonan koreksi terhadap surat tagihan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pabean.
(2) Koreksi terhadap surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 15

Pelaksanaan penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (2) serta pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) dan permintaan penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (8):
b. pengenaan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (6);
c. tata cara penyampaian penagihan atas pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3); dan
d. pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta 

pada tanggal 1 Juli 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juli 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 721

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP – 370/PJ/2018

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP – 370/PJ/2018

TENTANG

KEBIJAKAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN BENCANA ALAM TSUNAMI
SELAT SUNDA DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG, KABUPATEN SERANG,
DAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa telah ditetapkan status keadaan tanggap darurat bencana alam tsunami Selat Sunda di wilayah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang dari tanggal 27 Desember 2018 sampai dengan tanggal 9 Januari 2019 berdasarkan Keputusan Bupati Pandeglang Nomor 362/Kep.425/2018, dan Keputusan Bupati Serang Nomor 360/Kep.504-Huk/2018 serta Keputusan Gubernur Banten Nomor 366/Kep.350-Huk/2018;
bahwa telah ditetapkan status keadaan tanggap darurat bencana alam tsunami di wilayah Kabupaten Lampung Selatan dari tanggal 22 Desember 2018 sampai dengan tanggal 5 Januari 2019 berdasarkan Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor : B/400/VI.02/HK/2018 dan Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor : B/405/VI.02/HK/2018;
bahwa untuk meringankan beban dan dampak sosial ekonomi bagi Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan, perlu diberikan kebijakan perpajakan berupa pengecualian pengenaan sanksi administrasi perpajakan, pemberian perpanjangan batas waktu penyampaian permohonan keberatan, penyampaian permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua, dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang kedua;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Kebijakan Perpajakan Sehubungan dengan Bencana Alam Tsunami Selat Sunda di Wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 11);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2015 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1704);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 180);
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2017 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2017 tentang Pembayaran Pajak Secara Elektronik;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KEBIJAKAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN BENCANA ALAM TSUNAMI SELAT SUNDA DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG, KABUPATEN SERANG, DAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN.

PERTAMA :

Menetapkan bencana alam tsunami Selat Sunda di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan sejak tanggal 22 Desember 2018 sampai dengan 31 Januari 2019 sebagai keadaan kahar (force majeure).

KEDUA :

Kepada Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA, dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan:
pelaporan Surat Pemberitahuan Masa dan/atau Surat Pemberitahuan Tahunan; dan
pembayaran pajak dan/atau utang pajak,
yang jatuh tempo pada tanggal 22 Desember 2018 sampai dengan 28 Februari 2019.

KETIGA :

Pelaporan dan pembayaran sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA huruf a dan huruf b dilaksanakan paling lama 2 (dua) bulan setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA.

KEEMPAT :

Pengecualian pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak.

KELIMA :

Dalam hal terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA telah diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

KEENAM :

Kepada Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA, yang mengajukan permohonan upaya hukum berupa:
keberatan;
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua; atau
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang kedua,
yang batas waktu pengajuan permohonan dimaksud berakhir pada tanggal 22 Desember 2018 sampai dengan 28 Februari 2019, diberikan perpanjangan batas waktu untuk pengajuan permohonan sampai dengan 31 Maret 2019.

KETUJUH :

Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
Para Pejabat Eselon II di lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
Para Kepala Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
Para Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2018
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBase
Peraturan Terkait
1 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/pmk.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (spt)
Peraturan Menteri Keuangan – 9/PMK.03/2018, Tanggal 23 Jan 2018
2 Pembayaran Pajak Secara Elektronik
Peraturan Dirjen Pajak – PER – 05/PJ/2017, Tanggal 4 Apr 2017
3 Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik
Peraturan Dirjen Pajak – PER – 01/PJ/2017, Tanggal 23 Jan 2017
4 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/pmk.03/2013 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan
Peraturan Menteri Keuangan – 202/PMK.03/2015, Tanggal 11 Nop 2015
5 Surat Pemberitahuan (spt)
Peraturan Menteri Keuangan – 243/PMK.03/2014, Tanggal 24 Des 2014
6 Tata Cara Pembayaran Dan Penyetoran Pajak
Peraturan Menteri Keuangan – 242/PMK.03/2014, Tanggal 24 Des 2014
7 Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan
Peraturan Menteri Keuangan – 9/PMK.03/2013, Tanggal 2 Jan 2013
8 Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau …
Peraturan Menteri Keuangan – 8/PMK.03/2013, Tanggal 2 Jan 2013
9 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor …
Undang-Undang – 16 TAHUN 2009, Tanggal 25 Mar 2009
10 Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang – 6 TAHUN 1983, Tanggal 31 Des 1983

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE – 24/PJ/2018

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 24/PJ/2018
 
TENTANG
 
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS IMBALAN YANG DITERIMA
OLEH PEMBELI SEHUBUNGAN DENGAN KONDISI TERTENTU
DALAM TRANSAKSI JUAL BELI
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
 
A. Umum
 
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli, perlu diberikan penegasan mengenai perlakuan perpajakan dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal.
   
B. Maksud dan Tujuan
 
1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengenai perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli.
   
2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli yang dapat berupa pencapaian syarat tertentu, penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu, dan penerimaan kompensasi, serta perlakuan perpajakan atas imbalan dimaksud.
   
C. Ruang Lingkup
 
Ruang lingkup dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini adalah:
1. Pengertian penjual dan pembeli.
2. Kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli.
3. Imbalan atas pencapaian syarat tertentu dan perlakuan perpajakannya.
4. Imbalan atas penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu dan perlakuan perpajakannya.
5. Imbalan berupa kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli dan perlakuan perpajakannya.
6. Penjelasan lainnya sehubungan dengan imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu.
   
D. Dasar
 
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 121/PMK.03/2015;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2015 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan; dan
9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
   
E. Materi
 
1. Pengertian Penjual dan Pembeli
a. Penjual adalah pihak yang menjual produknya kepada pembeli termasuk produsen, distributor, dan agen.
b. Pembeli adalah pihak yang membeli produk dari Penjual untuk dijual kembali termasuk distributor, agen, dan retailer.
2. Kondisi Tertentu yang Terjadi dalam Transaksi Jual Beli
Kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli merupakan keadaan atau peristiwa yang dapat mengakibatkan adanya pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli sehubungan dengan transaksi jual beli berdasarkan perikatan tertulis dan/atau tidak tertulis. Kondisi tertentu dimaksud antara lain:
a. Pencapaian syarat tertentu.
b. Penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu.
c. Penerimaan kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli.
3. Imbalan atas Pencapaian Syarat Tertentu dan Perlakuan Perpajakannya
a. Berdasarkan perikatan jual beli, Penjual dapat mencantumkan syarat tertentu kepada Pembeli dalam rangka menjaga hubungan dalam kegiatan usaha. Penjual dapat memberikan imbalan kepada Pembeli atas tercapainya syarat tertentu. Pencapaian syarat tertentu dapat berupa:
1) pembelian oleh Pembeli mencapai jumlah tertentu;
2) penjualan oleh Pembeli mencapai jumlah tertentu; dan/atau
3) pelunasan oleh Pembeli sesuai jangka waktu tertentu.
b. Imbalan yang diterima atau diperoleh Pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban merupakan penghargaan. Termasuk dalam pengertian penghargaan yaitu bonus yang diberikan Penjual kepada Pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu.
c. Imbalan yang diterima atau diperoleh Pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban merupakan Imbalan atas jasa manajemen sepanjang dalam perikatan berupa kontrak kerja sama dicantumkan adanya aktivitas jasa dan terdapat:
1) pengakuan penghasilan atas jasa; atau
2) penagihan atas penyerahan jasa.
d. Perlakuan perpajakan atas penghargaan sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh)
a) Penghargaan yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghargaan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:
(1) PPh Pasal 21 dalam hal penerima penghargaan adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;
(2) PPh Pasal 23 dalam hal penerima penghargaan adalah:
(a) Wajib Pajak badan dalam negeri;
(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghargaan yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;
(3) PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghargaan adalah:
(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghargaan yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh,    dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
b) Dalam hal penghargaan diberikan dalam bentuk barang, maka Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan. Dalam hal nilai kesepakatan tidak diketahui, maka DPP dihitung berdasarkan harga pasar.
2) Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
a) Penghargaan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian Barang Kena Pajak (BKP) oleh Penjual kepada Pembeli:
(1) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan penyerahan BKP yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP berupa nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan. Dalam hal nilai kesepakatan tidak diketahui, maka DPP dihitung sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 1) huruf b);
(2) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan ekspor BKP Berwujud yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
b) Penghargaan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian berupa uang dan/atau pengurang kewajiban oleh Penjual kepada Pembeli tidak dikenai PPN.
e. Perlakuan perpajakan atas imbalan jasa manajemen sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan PPh
a) Imbalan atas jasa manajemen yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas imbalan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:
(1) PPh Pasal 21 dalam hal penerima imbalan adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;
(2) PPh Pasal 23 dalam hal penerima imbalan adalah:
(a) Wajib Pajak badan dalam negeri;
(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal imbalan atas jasa manajemen yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;
(3) PPh Pasal 26 dalam hal penerima imbalan adalah:
(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal imbalan atas jasa manajemen yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh,  dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B.
b) Dalam hal imbalan atas jasa manajemen diberikan dalam bentuk barang, DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam kontrak kerja sama.
2) Perlakuan PPN
a) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean:
(1) Penyerahan jasa manajemen oleh Pembeli kepada Penjual merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai PPN.
(2) Pembeli sebagai pihak yang menyerahkan jasa manajemen yang sesuai ketentuan merupakan PKP, wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.
(3) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa manajemen yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP yaitu sebesar nilai penggantian atas jasa manajemen berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam kontrak kerja sama.
b) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean:
(1) Atas pemanfaatan jasa manajemen yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN.
(2) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa manajemen yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan ekspor BKP Berwujud yang terutang PPN dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
4. Imbalan atas Penyediaan Ruang dan/atau Peralatan Tertentu dan Perlakuan Perpajakannya
a. Berdasarkan perikatan jual beli, Penjual dapat meminta fasilitas kepada Pembeli berupa penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu untuk kepentingan Penjual, yang dapat berupa lantai untuk menempatkan barang dan rak pemajangan barang penjualan, termasuk rak, rak gantungan, dan/atau etalase untuk menaruh barang yang dipamerkan dalam rangka mendukung kegiatan pemasaran produk dari Penjual.
b. Imbalan berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban yang diberikan oleh Penjual kepada Pembeli atas penyediaan fasilitas ruang sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan bagi Pembeli.
c. Imbalan berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban yang diberikan oleh Penjual kepada Pembeli atas penyediaan fasilitas peralatan tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta bagi Pembeli.
d. Perlakuan perpajakan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan PPh
a) Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghasilan dimaksud,Penjual wajib melakukan pemotongan: 
(1) PPh Pasal 4 ayat (2) dalam hal penerima penghasilan adalah:
(a) Wajib Pajak dalam negeri;
(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;
(2) PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghasilan adalah:
(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh, dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B.
b) Dalam hal penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan diberikan dalam bentuk barang, maka DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
2) Perlakuan PPN
a) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean:
(1) Penyerahan jasa persewaan tanah dan/atau bangunan oleh Pembeli kepada Penjual merupakan penyerahan JKP yang dikenai PPN.
(2) Pembeli sebagai pihak yang menyerahkan jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang sesuai ketentuan merupakan PKP, wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.
(3) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP yaitu sebesar nilai penggantian atas jasa persewaan tanah dan/atau bangunan berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
b) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean:
(1) Atas pemanfaatan jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN.
(2) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan ekspor BKP Berwujud yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
e. Perlakuan perpajakan atas penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan PPh
a) Penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghasilan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:
(1) PPh Pasal 23 dalam hal penerima penghasilan adalah:
(a) Wajib Pajak dalam negeri;
(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;
(2) PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghasilan adalah:
(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh, dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B.
b) Dalam hal penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta diberikan dalam bentuk barang, maka DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
2) Perlakuan PPN
a) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean:
(1) Penyerahan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta oleh Pembeli kepada Penjual merupakan penyerahan JKP yang dikenai PPN.
(2) Pembeli sebagai pihak yang menyerahkan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang sesuai ketentuan merupakan PKP, wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.
(3) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP yaitu sebesar nilai penggantian atas jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
b) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean:
(1) Atas pemanfaatan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN.
(2) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan ekspor BKP Berwujud yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
5. Imbalan Berupa Kompensasi yang Diterima Sehubungan dengan Transaksi Jual Beli dan Perlakuan Perpajakannya
a. Dalam perikatan transaksi jual beli. Penjual dapat memberikan imbalan berupa kompensasi sehubungan dengan transaksi jual beli dalam bentuk uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban untuk menanggung risiko atas terjadinya fluktuasi harga, keterlambatan pengiriman barang, atau program penjualan tertentu atas perintah Penjual.
b. Fluktuasi harga sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat mempengaruhi harga jual pada tingkat Pembeli yang dapat menimbulkan potensi kerugian bagi Pembeli, sehingga Penjual memberikan sejumlah tertentu sebagai kompensasi atau disebut perlindungan harga (price protection).
c. Keterlambatan pengiriman barang sebagaimana dimaksud pada huruf a, terjadi dalam hal barang sampai di tempat Pembeli melebihi batas waktu yang telah disepakati. Penjual memberikan kompensasi kepada Pembeli atas keterlambatan pengiriman tersebut dalam bentuk pembayaran penalti.
d. Program penjualan tertentu atas perintah Penjual sebagaimana dimaksud pada huruf a, misalnya pemberian cicilan bunga 0% kepada pembeli akhir dalam hal Pembeli membayarkan beban bunga terlebih dahulu kepada lembaga pemberi pinjaman dan mendapatkan penggantian dari Penjual.
e. Perlakuan perpajakan atas imbalan berupa kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli dalam bentuk perlindungan harga (price protection), pembayaran penalti, dan pembayaran atas program penjualan tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, dan huruf d adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan PPh
a) Kompensasi yang diterima atau diperoleh Pembeli yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23. Penghasilan dari kompensasi dimaksud wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Pembeli.
b) Dalam hal penerima kompensasi adalah Wajib Pajak luar negeri, baik yang memiliki maupun tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, terhadap kompensasi dimaksud tidak dikenai pemotongan PPh Pasal 26.
c) Dalam hal kompensasi diberikan dalam bentuk barang, DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
2) Perlakuan PPN
a) Kompensasi yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP oleh Penjual kepada Pembeli:
(1) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan penyerahan BKP yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP berupa nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan;
(2) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan ekspor BKP Berwujud yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
b) Kompensasi yang diwujudkan dalam bentuk pemberian berupa uang dan/atau pengurang kewajiban oleh Penjual kepada Pembeli tidak dikenai PPN.
6. Penjelasan Lainnya sehubungan dengan Imbalan yang Diterima oleh Pembeli sehubungan dengan Kondisi Tertentu Imbalan yang diterima sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b dan huruf c, angka 4 huruf b dan huruf c, dan angka 5 huruf b, huruf c, dan huruf d bukan merupakan potongan harga sehingga tidak dicantumkan sebagai potongan harga dalam faktur penjualan (commercial invoice) maupun Faktur Pajak yang mengurangi harga jual atau penggantian dalam menghitung DPP.
Contoh kasus perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh Pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
   
F. Penutup
 
Dengan terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh Pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu berpedoman pada Surat Edaran ini.
 
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
 
 
 
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2018
DIREKTUR JENDERAL,
 
ttd
 
ROBERT PAKPAHAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 24/PJ/2018

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 24/PJ/2018

TENTANG

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI SECARA SPONTAN
DALAM RANGKA MELAKSANAKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional, perlu untuk menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pertukaran Informasi secara Spontan dalam rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 376);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI SECARA SPONTAN DALAM RANGKA MELAKSANAKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
1. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Internasional.
2. Perjanjian Internasional adalah perjanjian bilateral atau multilateral, yang antara lain menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang mengatur pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan, meliputi:
a. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
b. Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement);
c. Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters);
d. Persetujuan Pejabat yang Berwenang yang Bersifat Multilateral atau Bilateral (Multilateral or Bilateral Competent Authority Agreement);
e. Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement); atau
f. perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
3. Informasi adalah kumpulan data, angka, huruf, kata, citra, keterangan lisan, dan/atau keterangan tertulis yang dapat memberikan petunjuk dan/atau informasi mengenai penghasilan orang pribadi atau badan yang bersumber dari pekerjaan dalam hubungan kerja, pekerjaan bebas, kegiatan usaha, modal, dan/atau sumber lainnya, serta informasi mengenai kekayaan/harta termasuk informasi keuangan yang dimiliki dan/atau disimpan oleh orang pribadi atau badan, baik miliknya sendiri maupun milik orang pribadi atau badan lainnya, yang dapat berbentuk rekaman (audio/visual/audio visual), surat, dokumen, buku, catatan atau bentuk lainnya, baik dalam bentuk cetakan maupun elektronik.
4. Pertukaran Informasi adalah pertukaran Informasi yang berkaitan dengan perpajakan berdasarkan Perjanjian Internasional atau Exchange of Information (EOI) sebagai pelaksanaan Perjanjian Internasional yang bertujuan untuk:
a. mencegah penghindaran pajak;
b. mencegah pengelakan pajak;
c. mencegah penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak; dan/atau
d. mendapatkan Informasi terkait pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak.
5. Pertukaran Informasi secara Spontan (Spontaneous Exchange of Information) adalah pertukaran Informasi yang dilakukan secara spontan oleh Pejabat yang Berwenang di Indonesia dengan cara menyampaikan Informasi yang dinilai relevan untuk kepentingan perpajakan otoritas perpajakan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra secara langsung kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra atau sebaliknya, tanpa didahului dengan permintaan.
6. Pejabat yang Berwenang atau Competent Authority yang selanjutnya disebut Pejabat yang Berwenang adalah pejabat di Indonesia, di Negara Mitra, atau di Yurisdiksi Mitra yang berwenang untuk melaksanakan Pertukaran Informasi sebagaimana diatur dalam Perjanjian Internasional.
7. Unit di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Unit di Lingkungan DJP adalah Unit Eselon II Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, atau Kantor Pelayanan Pajak yang dapat menyampaikan usulan kepada Direktur Perpajakan Internasional untuk melakukan Pertukaran Informasi secara Spontan kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dan/atau yang harus menindaklanjuti Informasi yang diterima oleh Direktur Perpajakan Internasional atas Pertukaran Informasi secara Spontan dari Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.

Pasal 2

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melaksanakan Pertukaran Informasi secara Spontan dengan Pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Pelaksanaan Pertukaran Informasi secara Spontan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Perpajakan Internasional.
(3) Pertukaran Informasi secara Spontan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pertukaran Informasi secara Spontan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra (Outbound Spontaneous EOI); dan
b. Pertukaran Informasi secara Spontan dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra (Inbound Spontaneous EOI).
(4) Jenis pajak yang dicakup dalam Pertukaran Informasi secara Spontan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan untuk Pertukaran Informasi berdasarkan P3B;
b. Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai untuk Pertukaran Informasi berdasarkan Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan; atau
c. Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Bumi dan Bangunan (khusus untuk sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan) untuk Pertukaran Informasi berdasarkan Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan, dengan memperhatikan reservasi yang dibuat oleh tiap-tiap negara penandatangan konvensi.

Pasal 3

(1) Pertukaran Informasi secara Spontan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dilakukan oleh Direktur Perpajakan Internasional berdasarkan usulan Pertukaran Informasi dari pimpinan Unit di Lingkungan DJP.
(2) Usulan Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan atas:
a. Informasi yang berkaitan dengan transaksi atau kegiatan antara Wajib Pajak Indonesia dengan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang diterima, diperoleh, atau dihasilkan dari kegiatan:
1) pengawasan kepatuhan perpajakan;
2) pengembangan dan analisis atas informasi, data, laporan, dan pengaduan;
3) pemeriksaan;
4) penagihan;
5) pemeriksaan bukti permulaan;
6) penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
7) pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
8) pengurangan atau pembatalan surat tagihan pajak yang tidak benar;
9) keberatan;
10) banding;
11) peninjauan kembali; atau
12) prosedur persetujuan bersama, atau kesepakatan harga transfer, atau

b. Informasi yang berkaitan dengan peraturan perpajakan domestik dan pelaksanaannya.

(3) Informasi yang diusulkan untuk dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. indikasi hilangnya potensi pajak yang signifikan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
b. pembayaran kepada wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang diduga tidak dilaporkan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
c. pengurangan atau pembebasan pajak di Indonesia yang diterima oleh wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dapat menambah kewajiban perpajakan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
d. kegiatan bisnis yang dilakukan antara Wajib Pajak Indonesia dan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra melalui satu atau beberapa negara sedemikian rupa sehingga menyebabkan pajak yang dibayar di Indonesia, di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, atau di kedua negara menjadi berkurang; dan/atau
e. kecurigaan bahwa terjadi pengurangan pembayaran pajak yang disebabkan oleh transfer yang tidak sebenarnya atas laba dalam sebuah grup usaha.
(4) Usulan Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dan memuat hal-hal sebagai berikut:
a. identitas wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dimaksud dalam Informasi, antara lain berupa nama, Tax Identification Number (TIN) atau nomor identitas lainnya untuk kepentingan perpajakan di luar negeri, atau alamat;
b. identitas Wajib Pajak Indonesia yang dilakukan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang paling sedikit memuat nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan alamat Wajib Pajak;
c. identitas entitas yang menjadi perantara, antara lain berupa nama perantara, TIN atau nomor identitas lainnya untuk kepentingan perpajakan di luar negeri yang dimiliki perantara, atau alamat perantara, dalam hal transaksi dilakukan melalui perantara;
d. masa pajak dan/atau tahun pajak yang dimaksud dalam Informasi;
e. keterangan mengenai hubungan antara wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dengan Wajib Pajak Indonesia;
f. uraian mengenai Informasi yang diperoleh dan penjelasan mengenai manfaat Informasi tersebut bagi otoritas perpajakan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
g. keterangan atas sumber pemerolehan Informasi.

Pasal 4

(1) Direktur Perpajakan Internasional melakukan penelitian atas usulan Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dengan mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(2) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Perpajakan Internasional dapat memberikan persetujuan atas usulan Pertukaran Informasi.
(3) Direktur Perpajakan Internasional menyampaikan Pertukaran Informasi secara Spontan kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra secara tertulis dalam bahasa Inggris atas usulan Pertukaran Informasi yang disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Direktur Perpajakan Internasional menerima laporan pemanfaatan Informasi dari Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra atas Pertukaran Informasi secara S

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 131/PMK.04/2018

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 131/PMK.04/2018

TENTANG
KAWASAN BERIKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai kawasan berikat telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat;
  2. bahwa untuk lebih meningkatkan investasi dan ekspor serta pengembangan industri nasional sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor147/PMK.04/2011tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 45 ayat (2)Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Pasal 15 ayat (3), Pasal 19 ayat (9), dan Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kawasan Berikat;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atasUndang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32631 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612; sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4998) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 279, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5768);

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KAWASAN BERIKAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2.Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
3.Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk. 
4.Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.
5.Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.
6.Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.
7.Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.
8.Kegiatan Pengolahan adalah kegiatan:

a.       mengolah barang dan/atau bahan dengan atau tanpa bahan penolong menjadi barang hasil produksi dengan nilai tambah yang lebih tinggi, termasuk perubahan sifat dan fungsinya; dan/atau

b.      budidaya flora dan fauna.

9.Kegiatan Penggabungan adalah kegiatan menggabungkan dan/atau menggenapi barang Hasil Produksi Kawasan Berikat yang bersangkutan sebagai produk utama dengan barang jadi.
10.Barang Modal adalah barang yang digunakan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB berupa:

a.       peralatan untuk pembangunan, perluasan, atau konstruksi kawasan Berikat;

b.      mesin;

c.       peralatan pabrik; dan/atau

d.      cetakan (moulding),

termasuk suku cadang, tidak meliputi bahan dan perkakas untuk pembangunan, perluasan, atau konstruksi Kawasan Berikat.

11.Bahan Baku adalah barang dan/atau bahan yang akan diolah menjadi barang hasil produksi yang mempunyai nilai guna yang lebih tinggi.
12.Bahan Penolong adalah barang dan/atau bahan selain Bahan Baku yang digunakan dalam Kegiatan Pengolahan atau Kegiatan Penggabungan yang berfungsi membantu dalam proses produksi.
13.Sisa Bahan Baku adalah Bahan Baku yang masih tersisa yang tidak digunakan lagi dalam proses produksi.
14.Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
15.Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
16.Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPN atau PPN dan PPnBM adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
17.Hasil Produksi Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Hasil Produksi adalah hasil dari kegiatan pengolahan atau kegiatan pengolahan dan kegiatan penggabungan sesuai yang tercantum dalam keputusan mengenai penetapan izin sebagai Kawasan Berikat.
18.Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Cukai.
19.Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disebut PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan/atau Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor.
20.Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
21.Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
22.Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
23.Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama adalah Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
24.Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
25.Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu.
26.Petugas Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang bertugas di Kawasan Berikat.
27.Badan Pengusahaan Kawasan Bebas adalah Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
28.Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

Pasal 2

(1)Kawasan Berikat merupakan kawasan pabean dan sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2)Dalam rangka pengawasan terhadap Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaan pabean dengan tetap menjamin kelancaran arus barang.
(3)Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
(4)Berdasarkan manajemen risiko, terhadap Kawasan Berikat dapat diberikan fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai berupa kemudahan:

a.       pelayanan perizinan;

b.      pelayanan kegiatan operasional; dan/atau

c.       selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.

 

BAB II
PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN

Pasal 3

(1)Di dalam Kawasan Berikat dilakukan penyelenggaraan dan pengusahaan Kawasan Berikat.
(2)Penyelenggaraan Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat yang berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(3)Penyelenggara Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.
(4)Dalam 1 (satu) penyelenggaraan Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan 1 (satu) atau lebih pengusahaan Kawasan Berikat.
(5)Pengusahaan Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:

a.       Pengusaha Kawasan Berikat; atau

b.      PDKB.

(6)Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melakukan kegiatan menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.
(7)Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di indonesia.
(8)Terhadap Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan pelayanan dan pengawasan secara proporsional berdasarkan profil risiko layanan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB.

 
     Pasal 4

 

(1)Kawasan Berikat harus berlokasi di:

a.       kawasan industri; atau

b.      kawasan budidaya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan.

(2)Luas lokasi untuk Kawasan Berikat yang berlokasi di kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi) dalam satu hamparan.

BAB III
PENDIRIAN KAWASAN BERIKAT

Pasal 5

Bangunan, tempat, dan/atau kawasan yang akan dijadikan sebagai Kawasan Berikat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. terletak di lokasi yang dapat langsung dimasuki dari jalan umum dan dapat dilalui oleh kendaraan pengangkut peti kemas dan/atau sarana pengangkut peti kemas lainnya di air;
  2. mempunyai batas-batas yang jelas berupa pembatas alam atau pembatas buatan berupa pagar pemisah, dengan bangunan, tempat, atau kawasan lain; dan
  3. digunakan untuk melakukan kegiatan industri pengolahan Bahan Baku menjadi Hasil Produksi.

 

Pasal 6

(1)Penetapan tempat sebagai Kawasan Berikat dan pemberian izin Penyelenggara Kawasan Berikat dilimpahkan kewenangannya menjadi ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri.
(2)Penetapan tempat sebagai Kawasan Berikat dan pemberian izin Pengusaha Kawasan Berikat dilimpahkan kewenangannya menjadi ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri.
(3)Pemberian izin sebagai PDKB dilimpahkan kewenangannya menjadi ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri.
(4)Penetapan tempat sebagai Kawasan Berikat dan pemberian izin Penyelenggara Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tempat sebagai Kawasan Berikat dan pemberian izin Pengusaha Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan pemberian izin PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku sampai dengan izin Kawasan Berikat dicabut.
(5)Dalam hal Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB merupakan Orang yang wajib memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), izin Pengusaha Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau izin PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberlakukan juga sebagai Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC).

 

Pasal 7

(1)Untuk mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, perusahaan yang akan menjadi Penyelenggara Kawasan Berikat harus mengajukan permohonan kepada Menteri c.q. Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
(2)Perusahaan yang bermaksud menjadi Penyelenggara Kawasan Berikat harus:

a.       sudah memiliki nomor induk berusaha;

b.      memiliki izin usaha perdagangan, izin usaha pengelolaan kawasan, izin usaha industri, atau izin lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan kawasan;

c.       memiliki hasil konfirmasi status wajib pajak sesuai dengan aplikasi yang menunjukkan valid;

d.      memiliki bukti kepemilikan atau penguasaan suatu kawasan, tempat, atau bangunan yang mempunyai batas-batas yang jelas berikut peta lokasi/tempat dan rencana tata letak/denah yang akan dijadikan Kawasan Berikat; dan

e.       telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dan telah menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun pajak terakhir sesuai dengan kewajibannya.

(3)Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan setelah atau sebelum fisik bangunan berdiri termasuk ruangan dan sarana kerja bagi Petugas Bea dan Cukai.
(4)Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dipenuhi, izin Penyelenggara Kawasan Berikat dapat diberikan dengan ketentuan perusahaan wajib memenuhi persyaratan dalam batas waktu tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.

 

Pasal 8

(1)Untuk mendapatkan izin Pengusaha Kawasan Berikat atau izin PDKB, perusahaan yang akan menjadi Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB mengajukan permohonan kepada Menteri c.q. Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
(2)Perusahaan yang bermaksud menjadi Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus:

a.       sudah memiliki nomor induk berusaha;

b.      memiliki izin usaha industri;

c.       memiliki hasil konfirmasi status wajib pajak sesuai aplikasi yang menunjukkan valid;

d.      memiliki bukti kepemilikan atau penguasaan suatu tempat atau bangunan yang mempunyai batas-batas yang jelas berikut peta lokasi/tempat dan rencana tata letak/denah;

e.       memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yaitu:

1.      telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dan telah menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun pajak terakhir sesuai dengan kewajibannya; dan

2.      mendapat rekomendasi dari Penyelenggara Kawasan Berikat dalam hal perusahaan mengajukan permohonan izin PDKB.

(3)Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan setelah atau sebelum fisik bangunan berdiri termasuk ruangan dan sarana kerja bagi Petugas Bea dan Cukai.
(4)Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dipenuhi, izin Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat diberikan dengan ketentuan perusahaan wajib memenuhi persyaratan dalam batas waktu tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.

 

Pasal 9

(1)Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan dalam Pasal 8 ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui Portal Indonesia National Single Window yang terintegrasi dengan sistem Online Single Submission.
(2)Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan secara elektronik, permohonan disampaikan secara tertulis kepada:

a.       Kepala Kantor Wilayah melalui Kepala Kantor Pabean; atau

b.      Kepala Kantor Pelayanan Utama.

(3)Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah disampaikan, SKP memberikan respon kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha badan usaha untuk:

a.       melakukan pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan lokasi; dan

b.      menerbitkan berita acara pemeriksaan lokasi.

(4)Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan, Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha badan usaha:

a.       melakukan pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan lokasi; dan

b.      menerbitkan berita acara pemeriksaan lokasi.

(5)Pemeriksaan dokumen, pemeriksaan lokasi, dan penerbitan berita acara pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), dilakukan paling lama 3 ( tiga) hari kerja terhitung setelah pernyataan kesiapan pemeriksaan lokasi sebagaimana disampaikan dalam permohonan.
(6)Perusahaan yang bermaksud menjadi Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB harus melakukan pemaparan proses bisnis kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
(7)Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan oleh wakil anggota direksi perusahaan.
(8)Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan paling cepat pada hari kerja berikutnya atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal penerbitan berita acara pemeriksaan lokasi.
(9)Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerima pelimpahan kewenangan atas nama Menteri memberikan:

a.       persetujuan dengan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB; atau

b.      penolakan dengan menerbitkan surat penolakan disertai alasan penolakan.

(10)Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diberikan paling lama 1 (satu) jam setelah pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) selesai dilakukan.
(11)Dalam hal pemaparan tidak dilakukan dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama memberikan penolakan dengan menerbitkan surat penolakan disertai alasan penolakan.

  
    Pasal 10

(1)Untuk mendukung kemudahan berusaha serta peningkatan pelayanan dan pengawasan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerima pelimpahan kewenangan atas nama Menteri dapat menambahkan perlakuan tertentu dalam izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau izin PDKB.
(2)Perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.       toleransi    penyusutan/penguapan/pengurangan sesuai dengan bisnis proses perusahaan dengan melampirkan data dari lembaga atau instansi yang kompeten;

b.      kemudahan pemasukan dan/atau pengeluaran atas barang curah;

c.       kemudahan subkontrak; dan/atau

d.      perlakuan tertentu lainnya dengan tetap mempertimbangkan aspek pengawasan dan/atau pelayanan.

(3)Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri dapat memberikan izin penambahan lokasi Kawasan Berikat tidak dalam 1 (satu) hamparan untuk keperluan penimbunan Bahan Baku dan/atau barang Hasil Produksi, dengan ketentuan sebagai berikut:

a.       memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan huruf b; dan

b.      berlaku ketentuan mengenai Kawasan Berikat.

Pasal 11

Perusahaan dan/atau Orang yang bertanggung jawab terhadap perusahaan tidak dapat diberikan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau izin PDKB dalam hal: .

  1. pernah melakukan tindak pidana kepabeanan dan/atau cukai yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak selesai menjalani hukuman pidana;
  2. pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak putusan pailit; dan/atau
  3. memiliki tunggakan utang di bidang kepabeanan, Cukai, dan/atau perpajakan.

 

Pasal 12

(1)Izin Pengusaha Kawasan Berikat atau izin PDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada perusahaan yang melakukan Kegiatan Pengolahan barang:

a.       untuk tujuan ekspor, baik secara langsung maupun tidak langsung;

b.      untuk menggantikan barang impor (import substitution);

c.       untuk mendukung hilirisasi industri; dan/atau

d.      pada industri tertentu.

(2)Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:

a.       industri penerbangan;

b.      industri perkapalan;

c.       industri kereta api; dan/atau

d.      industri pertahanan dan keamanan.

 

Pasal 13

(1)Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau secara elektronik kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tentang kesiapan dan rencana memulai operasional kegiatan Kawasan Berikat dengan melampirkan saldo awal Bahan Baku, Bahan Penolong, Barang Modal, peralatan perkantoran, dan bahan dalam proses.
(2)Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi dasar bagi Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean untuk:

a.       memberikan akses terhadap SKP kepada Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB;

b.      melakukan pemeriksaan saldo awal dan membuat berita acara pencacahan (stock opname); dan

c.       menugaskan Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan kegiatan pelayanan dan pengawasan.

(3)Akses terhadap SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan dalam hal:

a.       Penyelenggara Kawasan Berikat telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4); dan/atau

b.      Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).

 

BAB IV
KEWAJIBAN DAN LARANGAN

Pasal 14

Penyelenggara Kawasan Berikat wajib:

a.memasang tanda nama perusahaan sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat pada tempat yang dapat dilihat dengan jelas oleh umum;
b.menyediakan ruangan, sarana kerja, dan fasilitas yang layak bagi Petugas Bea dan Cukai untuk menjalankan fungsi pelayanan dan pengawasan;
c.menyediakan sarana/prasarana dalam rangka pelayanan kepabeanan, berupa:

1.      komputer; dan

2.      media komunikasi data elektronik yang terhubung dengan SKP Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

d.menyampaikan laporan tertulis kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi dalam hal terdapat PDKB yang belum memperpanjang waktu sewa lokasi paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum waktu sewa berakhir;
e.melaporkan kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi apabila terdapat PDKB yang tidak beroperasi;
f.mengajukan permohonan perubahan keputusan penetapan tempat sebagai Kawasan Berikat dan izin Penyelenggara Kawasan Berikat kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama apabila terdapat perubahan data yang tercantum dalam izin Penyelenggara Kawasan Berikat;
g.membuat pembukuan atau catatan serta menyimpan dokumen atas Barang Modal dan peralatan yang dimasukkan untuk keperluan pembangunan/konstruksi dan peralatan perkantoran Kawasan Berikat;
h.menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya selama 10 (sepuluh) tahun;
i.menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia; dan
j.menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan Kawasan Berikat apabila dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 15

Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib:

  1. memasang tanda nama perusahaan sebagai Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB pada tempat yang dapat dilihat dengan jelas oleh umum;
  2. menyediakan sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan pertukaran data secara elektronik untuk Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang diawasi oleh kantor pabean yang menerapkan sistem pertukaran data elektronik untuk Kawasan Berikat;
  3. mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT inventory) yang merupakan subsistem dari sistem informasi akuntansi yang akan menghasilkan informasi laporan keuangan dan dapat diakses untuk kepentingan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak;
  4. mendayagunakan closed circuit television (cctv) untuk pengawasan pemasukan dan pengeluaran barang yang dapat diakses secara langsung (realtime) dan daring (online) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak serta memiliki data rekaman paling sedikit 7 (tujuh) hari sebelumnya.
  5. mengajukan permohonan perubahan izin Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama apabila terdapat perubahan data yang tercantum dalam izin Pengusaha Kawasan Berikat atau izin PDKB;
  6. melakukan pencacahan (stock opname) terhadap barang-barang yang mendapat fasilitas kepabeanan, Cukai, dan perpajakan, dengan mendapatkan pengawasan dari Kantor Pabean yang mengawasi, paling sedikit 1 (satu) kali dalam waktu 1 (satu) tahun;
  7. menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya selama 10 (sepuluh) tahun;
  8. menyelenggarakan pembukuan mengenai pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Berikat serta pemindahan barang dalam Kawasan Berikat berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
  9. menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan Kawasan Berikat apabila dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  10. menyampaikan laporan keuangan perusahaan dan/atau laporan tahunan perusahaan kepada Kepala Kantor Pabean; dan
  11. menyampaikan laporan atas dampak ekonomi dari pemberian fasilitas Kawasan Berikat yang paling sedikit memuat informasi mengenai nilai fasilitas fiskal yang diberikan, nilai investasi, jumlah tenaga kerja, dan nilai penjualan hasil produksi kepada Kepala Kantor Pabean 1 (satu) tahun sekali.

 

Pasal 16

(1)Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB bertanggung jawab terhadap Bea Masuk dan/atau Cukai, dan PDRI yang terutang atas barang yang berasal dari luar daerah pabean yang berada atau seharusnya berada di Kawasan Berikat.
(2)Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB bertanggung jawab terhadap Cukai serta PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean yang berada atau seharusnya berada di Kawasan Berikat.
(3)Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dalam hal barang yang terutang:

a.       musnah tanpa sengaja;

b.      diekspor dan/atau diekspor kembali;

c.       diimpor untuk dipakai dengan menyelesaikan kewajiban pabean, cukai, dan perpajakan;

d.      dikeluarkan ke Tempat Penimbunan Pabean;

e.       dikeluarkan ke Tempat Penimbunan Berikat lainnya;

f.       dikeluarkan ke pengusaha di Kawasan Bebas yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Bebas;

g.      dikeluarkan ke pengusaha di kawasan ekonomi khusus atau kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah; dan/atau

h.      dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.

(4)Musnah tanpa sengaja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi selisih kurang yang terjadi akibat:

a.       penguapan atau penyusutan karena perubahan suhu, kelembapan udara, dan/atau sejenisnya; dan/atau

b.      keadaan kahar (force majeure) yang dibuktikan dengan keterangan dari instansi terkait.

 
  Pasal 17

Terhadap Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB berlaku ketentuan mengenai:

  1. pemasukan barang yang dilarang untuk diimpor; dan
  2. ekspor barang yang dilarang ekspornya,

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

(1)Pemasukan barang impor ke Kawasan Berikat belum diberlakukan ketentuan pembatasan di bidang impor kecuali instansi teknis terbit secara khusus memberlakukan ketentuan pembatasan yang terkait dengan:

a.       kesehatan;

b.      keselamatan;

c.       keamanan; dan/atau

d.      lingkungan,

yang berdampak langsung di Kawasan Berikat.

(2)Pengeluaran barang impor dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean yang diimpor untuk dipakai berlaku ketentuan pembatasan dalam hal:

a.       pengeluaran barang berupa Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang tidak diolah;

b.      pada saat pemasukannya belum dipenuhi ketentuan pembatasannya; dan

c.       instansi teknis terkait secara khusus memberlakukan ketentuan pembatasan pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat.

 

BAB V
PEMASUKAN, PENGELUARAN, SERTA PERLAKUAN
KEPABEANAN, CUKAI, DAN PERPAJAKAN

Pasal 19

Pemasukan barang ke Kawasan Berikat dapat dilakukan dari:

  1. luar daerah pabean;
  2. Tempat Penimbunan Berikat lainnya;
  3. Kawasan Bebas;
  4. tempat lain dalam daerah pabean;
  5. kawasan ekonomi khusus; dan/atau
  6. kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.

 

Pasal 20

(1)Barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean ke Kawasan Berikat:

a.       diberikan penangguhan Bea Masuk;

b.      diberikan pembebasan Cukai; dan/atau

c.       tidak dipungut PDRI.

(2)Barang yang berasal dari luar daerah pabean yang dimasukkan dari Tempat Penimbunan Berikat, Kawasan Bebas, kawasan ekonomi khusus, atau kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah ke Kawasan Berikat:

a.       diberikan penangguhan Bea Masuk;

b.      diberikan pembebasan Cukai;

c.       tidak dipungut PDRI; dan/atau

d.      tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM.

(3)Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi:

a.       barang yang dipergunakan sebagai Bahan Baku, Bahan Penolong, pengemas dan alat bantu pengemas, barang contoh, Barang Modal, bahan bakar, peralatan perkantoran, dan/atau untuk keperluan penelitian dan pengembangan perusahaan pada Kawasan Berikat;

b.      barang jadi maupun setengah jadi untuk digabungkan dengan Hasil Produksi;

c.       barang yang dimasukkan kembali dari kegiatan pengeluaran sementara;

d.      Hasil Produksi yang dimasukkan kembali; dan/atau

e.       Hasil Produksi Kawasan Berikat lain.

(4)Dalam hal pemasukan barang ke Kawasan Berikat bukan merupakan penyerahan barang kena pajak, atas pemasukan tersebut tidak terutang PPN atau PPN dan PPnBM.
(5)Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3):

a.       bukan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat; dan

b.      berkaitan dengan kegiatan produksi.

 

Pasal 21

(1)Barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean yang dimasukkan ke Kawasan Berikat dari:

a.       tempat lain dalam daerah pabean;

b.      Tempat Penimbunan Berikat lainnya;

c.       Kawasan Bebas;

d.      kawasan ekonomi khusus; dan/atau

e.       kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah,

diberikan pembebasan Cukai dan/atau tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM.

(2)Dalam hal pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.       berasal dari bukan pengusaha kena pajak; dan/atau

b.      bukan termasuk penyerahan barang kena pajak,

terhadap barang dimaksud tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM, serta tidak diterbitkan faktur pajak.

(3)Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.       barang yang dipergunakan sebagai Bahan Baku, Bahan Penolong, pengemas dan alat bantu pengemas, barang contoh, Barang Modal, bahan bakar, peralatan perkantoran, dan/atau untuk keperluan penelitian dan pengembangan perusahaan pada Kawasan Berikat;

b.      barang jadi maupun setengah jadi untuk digabungkan dengan Hasil Produksi;

c.       barang yang dimasukkan kembali dari kegiatan pengeluaran sementara;

d.      Hasil Produksi yang dimasukkan kembali; dan/atau

e.       Hasil Produksi Kawasan Berikat lain.

(4)Barang sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1):

a.       bukan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat; dan

b.      berkaitan dengan kegiatan produksi.

(5)Terhadap pemasukan barang ke Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha kena pajak yang menyerahkan barang kena pajak:

a.       wajib membuat faktur pajak dan harus dibuktikan dengan dokumen pemberitahuan pabean;

b.      tidak dapat menggunakan faktur pajak gabungan; dan

c.       menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang terkait dengan pemasukan barang ke Kawasan Berikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

(6)Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a harus diberikan keterangan “PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT”.

 

Pasal 22

(1)Pemasukan barang ke Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP.
(2)Dalam hal ditemukan barang yang dimasukkan ke Kawasan Berikat sebelum mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau Pasal 21 ayat (1).

 

Pasal 23

(1)Pengeluaran barang dari Kawasan Berikat dapat dilakukan ke:

a.       luar daerah pabean;

b.      Tempat Penimbunan Berikat lainnya;

c.       Kawasan Bebas;

d.      tempat lain dalam daerah pabean;

e.       kawasan ekonomi khusus; dan/atau

f.       kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(2)Barang yang dikeluarkan dari Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a.       Bahan Baku dan/atau sisa Bahan Baku;

b.      Bahan Penolong dan/atau sisa Bahan Penolong;

c.       pengemas dan alat bantu pengemas;

d.      Hasil Produksi yang telah jadi maupun setengah jadi;

e.       barang contoh;

f.       Barang Modal;

g.      peralatan perkantoran;

h.      barang untuk keperluan dan/atau hasil penelitian dan pengembangan perusahaan;

i.        sisa dari proses produksi; dan/atau

j.        sisa pengemas dan limbah.

 

Pasal 24

(1)Dalam hal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) berasal dari luar daerah pabean dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean dengan tujuan diimpor untuk dipakai, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib melunasi Bea Masuk, Cukai, dan PDRI.
(2)PDRI yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilampiri dengan dokumen kepabeanan, dapat dikreditkan.
(3)Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang ditujukan kepada Orang yang memperoleh fasilitas penangguhan atau pembebasan Bea Masuk dan pembebasan Cukai, diberikan penangguhan atau pembebasan Bea Masuk dan pembebasan Cukai.
(4)Atas penyerahan barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean dengan tujuan diimpor untuk dipakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib membuat faktur pajak dan memungut PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5)Atas pengeluaran barang dari Kawasan Berikat selain penyerahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM.
(6)Pembebasan Bea Masuk, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM, dan/atau tidak dipungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, diberikan atas pengeluaran barang dari Kawasan Berikat termasuk Hasil Produksi kepada pengusaha di Kawasan Bebas yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Bebas.
(7)Dalam hal barang yang dikeluarkan dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean berupa sisa pengemas dan limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf j, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dikecualikan dari kewajiban membayar Bea Masuk, Cukai dan/atau PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 25

(1)Dalam hal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) berasal dari tempat lain dalam daerah pabean dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean dan merupakan penyerahan barang kena pajak, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib melunasi PPN atau PPN dan PPnBM yang pada saat pemasukannya tidak dipungut.
(2)Pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai surat setoran pajak.
(3)PPN atau PPN dan PPnBM yang dilunasi menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilampiri dengan dokumen kepabeanan, dapat dikreditkan.
(4)Atas penyerahan barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib membuat faktur pajak dan memungut PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)Atas pengeluaran barang dari Kawasan Berikat selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM.
(6)Ketentuan mengenai perlakuan PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) harus dipenuhi oleh setiap Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB.
(7)PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) harus dilakukan oleh Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB dengan menggunakan faktur pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8)Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak dipenuhi oleh Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB, atas pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM yang seharusnya tidak dipungut, tidak dapat dikreditkan.
(9)Dalam hal barang yang dikeluarkan dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean berupa sisa pengemas dan limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf j, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dikecualikan dari kewajiban melunasi PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

     

Pasal 26

 

(1)Pengeluaran Bahan Baku dan/atau sisa Bahan Baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan Bahan Penolong dan/atau sisa Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan dari Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB.
(2)Kepala Kantor Pabean memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.

 

Pasal 27

 

(1)Pengeluaran barang dari Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan setelah mendapat persetujuan oleh Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP.
(2)Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB yang mengeluarkan barang sebelum mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan dan izin Kawasan Berikatnya dibekukan.

 

Pasal 28

 

(1)Pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke luar daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a berlaku ketentuan kepabeanan di bidang ekspor.
(2)Pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d berlaku ketentuan kepabeanan di bidang impor.

 

Pasal 29

 

(1)Dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pengenaan Bea Masuk, Cukai, dan PDRI atas pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) yaitu sebagal berikut:

a.       Bea Masuk dihitung berdasarkan:

1.      nilai pabean sesuai dengan harga jual pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean;

2.      klasifikasi barang yang dikeluarkan dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean; dan

3.      pembebanan pada saat pemberitahuan pabean impor untuk dipakai didaftarkan.

b.      Cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Cukai.

c.       PDRI dihitung berdasarkan harga jual dan tarif pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean.

(2)Penghitungan Bea Masuk, Cukai, dan PDRI dapat dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas pengeluaran Hasil Produksi dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.       Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB memiliki konversi pemakaian Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang jelas, terukur dan konsisten; dan

b.      pada saat pemasukan ke Kawasan Berikat sudah terjadi transaksi jual beli.

(3)Dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pengenaan Bea Masuk, Cukai, dan PDRI atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:

a.       Bea Masuk dihitung berdasarkan:

1.      nilai pabean dan klasifikasi yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke Kawasan Berikat; dan

2.      pembebanan pada saat pemberitahuan pabean impor untuk dipakai didaftarkan.

b.      Cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Cukai; dan

c.       PDRI dihitung berdasarkan:

1.      nilai impor yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke Kawasan Berikat; dan

2.      tarif pada saat pemberitahuan pabean impor untuk dipakai didaftarkan.

(4)Dalam hal pembebanan tarif Bea Masuk untuk Bahan Baku lebih tinggi dari pembebanan tarif Bea Masuk untuk barang Hasil Produksi, dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pengenaan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu pembebanan tarif Bea Masuk barang Hasil Produksi yang berlaku pada saat dikeluarkan dari Kawasan Berikat.
(5)Konversi pemakaian Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan transaksi jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan pengujian secara periodik oleh Kepala Kantor Wilayah atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk.
(6)Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c angka 1 diperoleh dari penjumlahan nilai pabean ditambah Bea Masuk.
(7)Penghitungan Bea Masuk dan/atau Cukai, dan PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), menggunakan nilai dasar perhitungan bea masuk yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat pemberitahuan pabean impor untuk dipakai didaftarkan.
(8)Pejabat Bea dan Cukai berwenang menetapkan tarif dan nilai pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

     

Pasal 30

 

(1)Atas pengeluaran Barang Modal yang berasal dari impor yang belum diselesaikan kewajiban pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan PDRI dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean, dibebaskan dari kewajiban membayar Bea Masuk, Cukai, dan PDRI dalam hal Barang Modal telah dimasukkan ke Kawasan Berikat selama lebih dari 4 (empat) tahun.
(2)Terhadap Barang Modal yang berasal dari impor yang pada saat pemasukan ke Kawasan Berikat mendapat fasilitas pembebasan Bea Masuk untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal, pengeluaran ke tempat lain dalam daerah pabean dan penyelesaian kewajiban pabeannya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(3)Terhadap pengeluaran Barang Modal ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dibebaskan dari kewajiban pembayaran Bea Masuk yang terutang dalam hal Barang Modal dimasukkan ke Kawasan Berikat selama lebih dari 4 (empat) tahun atau telah diimpor selama lebih dari 5 (lima) tahun.

 

Pasal 31

 

(1)Pengeluaran Hasil Produksi ke tempat lain dalam daerah pabean dilakukan dalam jumlah paling banyak 50% (lima puluh persen) dari penjumlahan nilai realisasi tahun sebelumnya yang meliputi nilai ekspor, nilai penjualan Hasil Produksi ke Kawasan Berikat lainnya, nilai penjualan Hasil Produksi ke Kawasan Bebas, dan nilai penjualan Hasil Produksi ke kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2)Pengeluaran Hasil Produksi ke tempat lain dalam daerah pabean dapat dilakukan dalam jumlah lebih dari 50% (lima puluh persen) cari penjumlahan nilai realisasi tahun sebelumnya yang meliputi nilai ekspor, nilai penjualan Hasil Produksi ke Kawasan Berikat lainnya, nilai penjualan Hasil Produksi ke Kawasan Bebas, dan nilai penjualan Hasil Produksi ke kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB mendapatkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerima pelimpahan kewenangan atas nama Menteri dengan mempertimbangkan rekomendasi dari instansi terkait yang membidangi perindustrian.
(3)Dalam hal Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB melebihi ketentuan mengenai batasan pengeluaran Hasil Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dimaksud diberlakukan pengurangan jumlah persentase penjualan ke tempat lain dalam daerah pabean untuk periode tahun berikutnya.
(4)Dalam hal pada periode tahun berikutnya terhadap Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB telah diberlakukan pengurangan jumlah presentase penjualan ke tempat lain dalam daerah pabean, namun Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB tetap melebihi ketentuan mengenai batasan pengeluaran Hasil Produksi yang telah ditetapkan, terhadap Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dilakukan pembekuan izin Kawasan Berikat untuk waktu paling lama 3 ( tiga) bulan.

 

BAB VI
PENGELUARAN SEMENTARA DAN SUBKONTRAK

Pasal 32

 

(1)Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat mengeluarkan sementara barang dan/atau bahan ke:

a.       luar daerah pabean;

b.      Tempat Penimbunan Berikat lainnya.

c.       Kawasan Bebas;

d.      tempat lain dalam daerah pabean;

e.       kawasan ekonomi khusus; dan/atau

f.       kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

(2)Pengeluaran sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:

a.       subkontrak;

b.      perbaikan/reparasi;

c.       peminjaman barang modal untuk keperluan produksi;

d.      pengetesan atau pengembangan kualitas produksi;

e.       penggunaan kemasan yang dipakai berulang (returnable package);

f.       dipamerkan; dan/atau

g.      tujuan lain dengan persetujuan kepala Kantor Pabean.

 

Pasal 33

 

(1)Dalam hal pengeluaran sementara ditujukan ke Tempat Penimbunan Berikat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b, tanggung jawab Bea Masuk, Cukai, PDRI, dan/atau PPN atau PPN dan PPnBM yang melekat pada barang dan/atau bahan yang dikeluarkan sementara tersebut menjadi tanggung jawab Tempat Penimbunan Berikat tujuan penerima barang terhitung sejak barang dan/atau tujuan sampai dengan diterima kembali oleh Kawasan Berikat asal.
(2)Pengeluaran sementara yang ditujukan ke Kawasan Berikat lain dan untuk subkontrak, kegiatan ekspor dapat langsung dilakukan oleh Pengusaha Kawasan Berikat pemberi subkontrak dari lokasi Kawasan Berikat penerima subkontrak.

 

Pasal 34

 

(1)Pengeluaran sementara ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf d dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean dengan menetapkan batas waktu pemasukan kembali barang dan/atau bahan ke Kawasan Berikat.
(2)Pengeluaran sementara ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertaruhkan jaminan sebesar Bea Masuk, Cukai, dan PDRI yang terutang, dalam hal barang dan/atau bahan yang dikeluarkan sementara asal impor.
(3)Atas pengeluaran sementara barang dan/atau bahan asal tempat lain dalam daerah pabean dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu mempertaruhkan jaminan.
(4)Dalam hal barang dan/atau bahan yang dikeluarkan sementara ke tempat lain dalam daerah pabean tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Berikat dalam batas waktu yang telah ditetapkan oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.       jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicairkan;

b.      Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar; dan

c.       Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib membuat faktur pajak dan memungut PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)Dalam hal barang dan/atau bahan yang dikeluarkan sementara ke tempat lain dalam daerah pabean terlambat dimasukkan kembali ke Kawasan Berikat dalam batas waktu yang telah ditetapkan oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dikecualikan dari kewajiban membuat faktur pajak dan memungut PPN atau PPN dan PPnBM.

 

Pasal 35

Pengeluaran sementara ke tempat lain dalam daerah pabean untuk subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. dilakukan berdasarkan perjanjian subkontrak;
  2. batas waktu persetujuan Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diberikan sesuai batas waktu dalam perjanjian subkontrak;
  3. pemeriksaan awal dan pemeriksaan akhir harus dilakukan oleh Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB pemberi subkontrak;
  4. perusahaan di tempat lain dalam daerah pabean yang menerima pekerjaan subkontrak capat menambahkan barang untuk kepentingan pengerjaan subkontrak; dan
  5. Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat meminjamkan Barang Modal kepada penerima subkontrak.

 

Pasal 36

Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat menerima pekerjaan dari badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean berupa:

  1. subkontrak;
  2. perbaikan/reparasi; dan/atau
  3. pekerjaan lain,

setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean.

BAB VII
PEMUSNAHAN DAN PERUSAKAN BARANG

Pasal 37

 

(1)Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat melakukan pemusnahan atas barang yang berada di Kawasan Berikat yang karena sifat dan bentuknya dapat dimusnahkan setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean.
(2)Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di dalam maupun di luar lokasi Kawasan Berikat, di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.
(3)Pemusnahan barang-barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan berita acara.

 

Pasal 38

 

(1)Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat melakukan perusakan atas barang yang berada di Kawasan Berikat yang karena sifat dan bentuknya tidak dapat dimusnahkan setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean.
(2)Perusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai dan dibuatkan berita acara.
(3)Perusakan dilakukan dengan merusak kegunaan/fungsi secara permanen dengan cara dipotong-potong atau dengan cara lain.

 

BAB VIII
PEMBERITAHUAN PABEAN

Pasal 39

 

(1)Pemasukan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (3) ke Kawasan Berikat dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dari Kawasan Berikat dilakukan dengan menggunakan pemberitahuan pabean.
(2)Dalam hal barang yang dimasukkan dan/atau dikeluhkan ke dan dari Kawasan Berikat berupa barang kena Cukai, pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga sebagai pemberitahuan mutasi barang kena Cukai dan dinyatakan sebagai dokumen Cukai.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal Barang Kena Cukai dimasukkan dan/atau dikeluarkan dari dan ke tempat lain dalam daerah pabean.
(4)Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, PDKB atau oleh perusahaan pengurusan jasa kepabeanan khusus untuk pemasukan barang impor melalui perusahaan jasa titipan.
(5)Terhadap pengeluaran berupa sisa pengemas dan limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf j ke tempat lain dalam daerah pabean, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB:

a.       dikecualikan dari penyampaian pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b.      harus menyampaikan laporan ke Petugas Bea dan Cukai.

(6)Atas penyampaian pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan konfirmasi status wajib pajak.
(7)Dalam hal ditemukan jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan impor barang untuk ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang pada saat dibongkar dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8)Dalam hal ditemukan jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan impor barang untuk ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat dan tidak dapat membuktikan bdiiwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

     

BAB IX
PERGUDANGAN DAN KONSOLIDASI BARANG EKSPOR

Pasal 40

 

(1)Di dalam lokasi Penyelenggara Kawasan Berikat dapat dilakukan usaha pergudangan yang berbentuk Gudang Berikat atau Pusat Logistik Berikat.
(2)Tata cara pendirian Gudang Berikat atau Pusat Logistik Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan pemndang-undangan yang mengatur mengenai Gudang Berikat atau Pusat Logistik Berikat.

 

Pasal 41

 

(1)Barang Hasil Produksi dengan tujuan ekspor dapat dikonsolidasikan dengan barang yang berasal dari Kawasan Berikat lain di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.
(2)Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang:

a.       melakukan sendiri konsolidasi barang ekspornya;

b.      memiliki kesamaan manajemen, badan hukum, bidang kegiatan, dan Hasil Produksi; atau

c.       berada dalam 1 (satu) Penyelenggara Kawasan Berikat dan memiliki bidang kegiatan dan Hasil Produksi yang sama, yang dibuktikan dengan surat persetujuan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB.

(3)Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang melakukan konsolidasi bertanggung jawab atas pelaksanaan konsolidasi barang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang melakukan konsolidasi ditetapkan sebagai konsolidator barang ekspor oleh Kepala Kantor Pabean sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai konsolidator barang ekspor.

 

BAB X
PEMBEKUAN DAN PENCABUTAN IZIN

Pasal 42

 

(1)Izin sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB, dibekukan oleh Kepala Kantor Pabean yang menerima pelimpahan kewenangan atas nama Menteri dalam hal Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB, berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau hasil audit yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai:

a.       melakukan kegiatan yang menyimpang dari izin yang diberikan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, berupa:

1.      memasukkan Bahan Baku yang tidak sesuai dengan yang digunakan untuk produksinya;

2.      memasukkan barang yang tidak berhubungan dengan izin Kawasan Berikat yang telah diberikan;

3.      memproduksi barang yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan;

4.      tidak melakukan Kegiatan Pengolahan;

5.      tidak memenuhi perlakuan tertentu yang tercantum dalam izin Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2);

6.      melakukan pemasukan barang sebelum mendapatkan persetujuan Pejabat Bea dan Cukai atau SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;

7.      melakukan pengeluaran barang sebelum mendapatkan persetujuan Pejabat Bea dan Cukai atau SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; dan/atau

8.      melakukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang dibuktikan dengan rekomendasi dari Direktorat Jenderal Pajak.

b.      menunjukkan ketidakmampuan dalam menyelenggarakan dan/atau mengusahakan Kawasan Berikat, berupa:

1.      tidak menyelenggarakan pembukuan dalam kegiatannya;

2.      tidak melakukan kegiatan dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut;

3.      tidak melunasi hutang kepabeanan dan cukai dalam batas waktu yang ditentukan;

4.      tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan/atau Pasal 15;

5.      memasukkan barang yang dilarang untuk diimpor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a;

6.      mengekspor barang yang dilarang ekspornya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b;

7.      tidak memenuhi ketentuan batasan pengeluaran Hasil Produksi ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4); dan/atau

8.      selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut, Kawasan Berikat memiliki profil risiko layanan tinggi.

(2)Pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara otomasi dan/atau secara manual.
(3)Selama pembekuan, Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB:

a.       tidak diperbolehkan untuk memasukkan barang ke Kawasan Berikat dengan mendapatkan fasilitas Penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, tidak dipungut PDRI, dan/atau tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM; dan

b.      tidak dapat melakukan kegiatan yang terkait dengan pengolahan barang kena Cukai, dalam hal Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB melakukan Kegiatan Pengolahan dan/atau memproduksi barang kena Cukai.

(4)Dalam hal Penyelenggara Kawasan Berikat dibekukan:

a.       Pengusaha Kawasan Berikat dibekukan; dan

b.      PDKB di dalam Kawasan Berikat dibekukan dalam hal waktu pembekuan Penyelenggara Kawasan Berikat melebihi 3 (tiga) bulan.

 

Pasal 43

Izin yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dapat diberlakukan kembali dalam hal:

  1. Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB tidak terbukti melakukan kegiatan yang menyimpang dari izin yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a;
  2. Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB telah mampu kembali menyelenggarakan dan/atau mengusahakan Kawasan Berikat; atau
  3. Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB yang memiliki profil risiko layanan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf b angka 8 telah melakukan upaya perbaikan sehingga tidak lagi memiliki profil risiko layanan tinggi.

 

Pasal 44

 

(1)Pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dapat diubah menjadi pencabutan izin dalam hal Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB, berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau hasil audit yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai:

a.       terbukti telah melakukan kegiatan yang menyimpang dari izin yang diberikan; atau

b.      tidak mampu lagi melakukan penyelenggaraan dan/atau pengusahaan Kawasan Berikat.

(2)Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kewenangannya menjadi dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri.

 

Pasal 45

 

(1)Penetapan tempat sebagai Kawasan Berikat, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau izin PDKB, dicabut dalam hal Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB, berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau hasil audit yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai:

a.       tidak melakukan kegiatan dalam waktu 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;

b.      menggunakan izin usaha industri yang sudah tidak berlaku;

c.       dinyatakan pailit;

d.      bertindak tidak jujur dalam usahanya, antara lain menyalahgunakan fasilitas Kawasan Berikat dan/atau melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan dan/atau cukai;

e.       tidak memenuhi checklist persyaratan dalam batas waktu yang telah ditentukan; atau

f.       mengajukan permohonan pencabutan.

(2)Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kewenangannya menjadi dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri.
(3)Dalam hal telah dilakukan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencabutan izin, wajib melunasi semua Bea Masuk dan/atau Cukai, dan PDRI yang terutang, yang meliputi utang yang berasal dari hasil temuan audit dan/atau utang yang terjadi karena pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean.
(4)Penyelesaian atas barang yang berasal dari luar daerah pabean yang masih terutang atau masih  menjadi tanggung jawab Kawasan Berikat yang telah dicabut izinnya, berupa:

a.       diekspor kembali;

b.      diselesaikan kewajiban pabean dengan membayar Bea Masuk, Cukai, dan/atau PDRI sepanjang telah memenuhi ketentuan kepabeanan di bidang impor dan Cukai; dan/atau

c.       dipindahtangankan ke Tempat Penimbunan Berikat lainnya,

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencabutan izin.

(5)Penyelesaian atas barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean yang masih tersisa pada Kawasan Berikat yang telah dicabut izinnya, berupa:

a.       diekspor;

b.      dipindahtangankan ke Tempat Penimbunan Berikat lainnya; dan/atau

c.       dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean,

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencabutan izin.

(6)Terhadap penyelesaian atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf c, Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB wajib memungut PPN atau PPN dan PPnBM serta membuat faktur pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) terlampaui, atas barang yang berada di Kawasan Berikat dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai.
(8)Penyelesaian atas barang yang dinyatakan sebagai barang yang tidak dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai barang tidak dikuasai.
(9)Penyelesaian atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (8), menggunakan dokumen pemberitahuan pabean atas nama Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang telah dicabut izinnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dokumen pemberitahuan pabean.

  
     

Pasal 46

Dalam hal izin Penyelenggara Kawasan Berikat dicabut, PDKB yang berada di lokasi Penyelenggara Kawasan Berikat dapat:

  1. mengajukan permohonan pindah lokasi ke Penyelenggara Kawasan Berikat lain, dengan terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari Penyelenggara Kawasan Berikat lain yang dituju; atau
  2. mengajukan permohonan menjadi Penyelenggara Kawasan Berikat di lokasi Penyelenggara Kawasan Berikat yang telah dicabut izinnya.

 

BAB XI
PENDAMPINGAN

Pasal 47

 

(1)Untuk mendukung peningkatan investasi dan efektivitas pelayanan operasional Kawasan Berikat, Penyelenggara Kawasan Berikat, Fengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB diberikan pendampingan (asistensi) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak.
(2)Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB harus menunjuk paling sedikit 1 (satu) orang sebagai perwakilan resmi perusahaan untuk pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

BAB XII
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 48

 

(1)Direktur Jenderal, Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Utama, Kepala Kantor Pabean, dan/atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan monitoring terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB yang berada dalam pengawasannya.
(2)Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:

a.       pengawasan rutin;

b.      pemeriksaan sewaktu-waktu; dan/atau

c.       pemeriksaan sederhana.

(3)Direktur Jenderal, Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Utama, Kepala Kantor Pabean, dan/atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan evaluasi atas izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau izin PDKB secara periodik.
(4)Berdasarkan monitoring dan/atau evaluasi, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat melakukan perubahan ketentuan khusus dalam izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau izin PDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
(5)Dalam hal hasil monitoring dan/atau evaluasi terdapat selisih kurang atau selisih lebih atas barang yang ada atau seharusnya berada di Kawasan Berikat, Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Utama, Kepala Kantor Pabean, dan/atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan penelitian mengenai selisih dimaksud.
(6)Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kedapatan selisih kurang tersebut: 

a.       dikarenakan musnah tanpa sengaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), atas selisih tersebut:

1.      tidak dipungut Bea Masuk, Cukai dan PDRI; dan

2.      dilakukan penyesuaian pencatatan dalam teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT inventory).

b.      dapat dipertanggungjawabkan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB, yaitu selisih kurang bukan karena kelalaian, bukan karena kesengajaan, dan tidak terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, atas selisih tersebut:

1.      ditagih Bea Masuk, cukai, dan PDRI tanpa dikenakan sanksi administrasi berupa denda; dan

2.      dilakukan penyesuaian pencatatan dalam teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT inventory).

c.       tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB, yaitu selisih kurang tersebut karena kelalaian, karena kesengajaan, dan tidak terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, atas selisih tersebut:

1.      ditagih Bea Masuk dan PDRI serta dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2.      terhadap barang kena Cukai dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Cukai; dan

3.      dilakukan penyesuaian pencatatan dalam teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT inventory).

d.      karena kesengajaan serta terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, dilakukan penanganan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7)Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kedapatan selisih lebih tersebut:

a.       dapat dipertanggungjawabkan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB, yaitu selisih lebih tersebut bukan karena kelalaian, bukan karena kesengajaan, dan tidak terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, atas selisih lebih tersebut dilakukan penyesuaian pencatatan dalam teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT inventory); atau

b.      karena kesengajaan serta terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, dilakukan penanganan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  
    

Pasal 49

 

(1)Dalam hal terdapat indikasi pelanggaran ketentuan kepabeanan dan/atau cukai atas pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan/atau dari Kawasan Berikat, Kepala Kantor Pabean harus melakukan penelitian secara mendalam.
(2)Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan pelanggaran yang bersifat administratif, pelanggaran dimaksud harus segera ditindaklajuti dengan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bukti permulaan yang cukup telah terjadi tindak pidana kepabeanan dan/atau cukai, bukti permulaan tersebut harus segera ditindaklajuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)Dalam hal orang yang bertanggung awab atas Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB terbukti melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan dan/atau cukai yang telah mempunyai kekuatan hukum terap dan orang tersebut merupakan warga negara asing, Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan kepada instansi yang berwenang menangani bidang keimigrasian untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  

BAB XIII
PELAYANAN MANDIRI

Pasal 50

 

(1)Kepala Kantor Pabean dapat menetapkan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB untuk melakukan pelayanan mandiri atas kegiatan operasional di Kawasan Berikat.
(2)Penetapan Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan berdasarkan:

a.       permohonan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB; atau

b.      kewenangan Kepala Kantor Pabean.

(3)Penetapan Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan profil risiko layanan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB.
(4)Pelayanan mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.       pelekatan dan/atau pelepasan tanda pengaman;

b.      pelayanan pemasukan barang;

c.       pelayanan pembongkaran barang;

d.      pelayanan penimbunan barang;

e.       pelayanan pemuatan barang;

f.       pelayanan pengeluaran barang; dan/atau

g.      pelayanan lainnya.

(5)Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan pelayanan mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui SKP.

 

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 51

Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat menggunakan jaminan perusahaan (corporate guarantee) sebagai jaminan yang diserahkan untuk pemenuhan Peraturan Menteri ini dengan memperhatikan profil risiko layanan.

Pasal 52

Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk dapat dilakukan penambahan perlakuan tertentu dalam izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau izin PDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

Pasal 53

Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat memiliki lokasi Kawasan Berikat tidak dalam satu hamparan untuk keperluan penimbunan Bahan Baku dan/atau barang Hasil Produksi setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. 

Pasal 54

 

(1)Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 9 ayat (9), Pasal 10 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 44 ayat (2), dan Pasal 45 ayat (2):

a.       wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan;

b.      bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan; dan

c.       tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pihak lain.

(2)Dalam hal Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk.
(3)Pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan.

 

BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 55

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. terhadap izin Kawasan Berikat yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang telah ditetapkan jangka waktunya, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan izin Kawasan Berikat dicabut; dan
  2. terhadap permohonan pengeluaran Hasil Produksi ke tempat lain dalam daerah pabean dalam jumlah lebih dari 50% (lima puluh persen) yang telah diajukan ke Direktur Jenderal sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diberikan persetujuan atau penolakan oleh Direktur Fasilitas Kepabean, permohonan diproses oleh Direktur Fasilitas Kepabeanan.

 

BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 56

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011tentang Kawasan Berikat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 558) sebagaimana telah beberapa kali diubah, dengan Peraturan Menteri Keuangan:
    1. Nomor 255/PMK.04/2011tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 944);
    2. Nomor 44/PMK.04/2012tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 317); dan
    3. Nomor 120/PMK.04/2013tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1057); dan
  2. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) huruf d angka 1 dan Pasal 12 ayat (2) huruf d angka 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.04/2014 tentang Penimbunan, Pemasukan, Pengeluaran, dan Pengangkutan Barang Kena Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1921), 

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 57

Ketentuan lebih lanjut mengenai:

  1. tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan izin dan perubahan izin Kawasan Berikat;
  2. tata cara pengawasan dan pelayaran atas pemasukan barang ke Kawasan Berikat, pengeluaran barang dari Kawasan Berikat, musnah tanpa sengaja, pemusnahan, dan perusakan barang di Kawasan Berikat;
  3. kriteria barang yang dimasukkan dan/atau dikeluarkan dari dan ke Kawasan Berikat;
  4. hak dan kewajiban;
  5. dokumen pemberitahuan pabean;
  6. tata cara pembekuan dan pencabutan izin Kawasan Berikat; dan
  7. tata cara monitoring dan evaluasi Kawasan Berikat,

diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 58

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 September 2018
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,ttd.SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 September 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1367

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBase

Peraturan Terkait

1Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/pmk.04/2011 Tentang Kawasan Berikat 
Peraturan Menteri Keuangan – 120/PMK.04/2013, Tanggal 26 Agust 2013
2Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/pmk.04/2011 Tentang Kawasan Berikat Sebagaimana Telah Diubah Dengan … 
Peraturan Menteri Keuangan – 44/PMK.04/2012, Tanggal 16 Mar 2012

 

3Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/pmk.04/2011 Tentang Kawasan Berikat 
Peraturan Menteri Keuangan – 255/PMK.04/2011, Tanggal 28 Des 2011
4Kawasan Berikat 
Peraturan Menteri Keuangan – 147/PMK.04/2011, Tanggal 6 Sept 2011

 

5Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa … 
Undang-Undang – 42 TAHUN 2009, Tanggal 15 Okt 2009
6Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor … 
Undang-Undang – 16 TAHUN 2009, Tanggal 25 Mar 2009

 

7Tempat Penimbunan Berikat 
Peraturan Pemerintah – 32 TAHUN 2009 , Tanggal 24 Mar 2009
8Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan 
Perpu – 5 TAHUN 2008, Tanggal 31 Des 2008

 

9Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan 
Undang-Undang – 36 TAHUN 2008, Tanggal 23 Sept 2008
10Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai 
Undang-Undang – 39 TAHUN 2007, Tanggal 15 Agust 2007

 

11Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan 
Undang-Undang – 17 TAHUN 2006, Tanggal 15 Nop 2006
12Kepabeanan 
Undang-Undang – 10 TAHUN 1995, Tanggal 30 Des 1995

 

13Cukai 
Undang-Undang – 11 TAHUN 1995, Tanggal 30 Des 1995
14Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan 
Undang-Undang – 6 TAHUN 1983, Tanggal 31 Des 1983

 

15Pajak Penghasilan 
Undang-Undang – 7 TAHUN 1983, Tanggal 31 Des 1983
16Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah 
Undang-Undang – 8 TAHUN 1983, Tanggal 31 Des 1983

Status

History

1Peraturan Menteri Keuangan – 120/PMK.04/2013, Tanggal 26 Agust 2013
2Peraturan Menteri Keuangan – 44/PMK.04/2012, Tanggal 16 Mar 2012

 

3Peraturan Menteri Keuangan – 255/PMK.04/2011, Tanggal 28 Des 2011
4Peraturan Menteri Keuangan – 147/PMK.04/2011, Tanggal 6 Sept 2011

 

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP – 271/PJ/2018

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP – 271/PJ/2018

TENTANG

KEBIJAKAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN BENCANA ALAM GEMPA BUMI
DAN TSUNAMI DI WILAYAH DONGGALA, PALU, DAN SEKITARNYA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa telah terjadi bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami di wilayah Donggala, Palu, dan sekitarnya;
bahwa untuk meringankan beban Wajib Pajak yang terkena dampak bencana tersebut, perlu diberikan kebijakan perpajakan berupa pengecualian pengenaan sanksi perpajakan, dan pemberian perpanjangan batas waktu penyampaian permohonan keberatan, penyampaian permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua, serta pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang kedua;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Kebijakan Perpajakan Sehubungan dengan Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di wilayah Donggala, Palu, dan sekitarnya;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 11);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2015 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1704);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 180);
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2017 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2017 tentang Pembayaran Pajak Secara Elektronik;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KEBIJAKAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN BENCANA ALAM GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI WILAYAH DONGGALA, PALU, DAN SEKITARNYA.

PERTAMA :

Menetapkan bencana alam gempa bumi dan tsunami di wilayah Donggala, Palu, dan sekitarnya sejak 28 September 2018 sampai dengan 31 Desember 2018 sebagai keadaan kahar (force majeure).

KEDUA :

Kepada Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di Donggala, Palu, dan sekitarnya sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA, dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan:
pelaporan Surat Pemberitahuan Masa dan/atau Surat Pemberitahuan Tahunan; dan
pembayaran pajak dan/atau utang pajak,
yang jatuh tempo pada tanggal 28 September 2018 sampai dengan 31 Januari 2019.

KETIGA :

Pelaporan dan pembayaran sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA huruf a dan huruf b dilaksanakan paling lama 2 (dua) bulan setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA.

KEEMPAT :

Pengecualian pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak.

KELIMA :

Dalam hal terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA telah diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

KEENAM :

Kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Diktum PERTAMA yang mengajukan permohonan upaya hukum berupa:
keberatan; atau
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang kedua,
yang batas waktu pengajuan permohonan dimaksud mulai tanggal 28 September 2018 sampai dengan 31 Januari 2019, diberikan perpanjangan batas waktu untuk pengajuan permohonan sampai dengan 28 Februari 2019.

KETUJUH :

Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
Para Pejabat Eselon II di lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
Para Kepala Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
Para Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2018
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

 

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 20/PJ/2018

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 20/PJ/2018

TENTANG

TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PEMBERIAN NOMOR POKOK
WAJIB PAJAK SECARA ELEKTRONIK MELALUI SISTEM ADMINISTRASI BADAN
HUKUM DAN SISTEM PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA
ELEKTRONIK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :
a. bahwa untuk lebih memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan bagi Wajib Pajak, perlu untuk memberikan kemudahan pelayanan dalam pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak khususnya pendaftaran secara elektronik;
b. bahwa dalam rangka mendukung kemudahan berusaha dan meningkatkan kualitas data pendaftaran Wajib Pajak Badan, perlu dilakukan kerja sama dengan Notaris sebagai pihak ketiga dalam rangka pengembangan sistem administrasi perpajakan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Kepabeanan, Cukai, dan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Secara Elektronik Melalui Sistem Administrasi Badan Hukum dan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Kepabeanan, Cukai, dan Perpajakan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SECARA ELEKTRONIK MELALUI SISTEM ADMINISTRASI BADAN HUKUM DAN SISTEM PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK.

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
1. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
2. Pelaku Usaha adalah perseorangan atau non perseorangan yang melakukan kegiatan usaha pada bidang tertentu.
3. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah identitas Pelaku Usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS setelah Pelaku Usaha melakukan pendaftaran.
4. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
5. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
6. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
7. Sistem Administrasi Badan Hukum yang selanjutnya disingkat SABH adalah pelayanan jasa teknologi informasi perseroan secara elektronik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
8. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.

Pasal 2

(1) Pelaku Usaha dapat melakukan pendaftaran untuk diberikan NPWP dengan mengajukan permohonan secara elektronik melalui:
a. SABH yang terintegrasi dengan sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak, untuk Wajib Pajak Badan; atau
b. OSS yang terintegrasi dengan sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.

(2) Pendaftaran Pelaku Usaha Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Pelaku Usaha Badan dengan status pusat melalui Notaris.
(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Notaris yang membuat akta pendirian Badan tersebut dan telah diberikan hak akses pada SABH.

Pasal 3

(1) Permohonan pendaftaran NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) disertai dengan dokumen yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan NPWP serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(2) Dalam hal dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah tersedia dalam bentuk data elektronik pada basis data Direktorat Jenderal Pajak yang diperoleh dari:
a. SABH, untuk pendaftaran melalui SABH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a; atau
b. OSS, untuk pendaftaran melalui OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b,
dokumen yang dipersyaratkan tersebut tidak perlu dilampirkan.
(3) Setelah Pelaku Usaha melakukan pendaftaran secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), penerbitan NPWP dilakukan secara elektronik.

Pasal 4

(1) Penyampaian dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), berlaku ketentuan:
a. dalam hal pendaftaran NPWP dilakukan melalui SABH, Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus menyampaikan kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan ke KPP tempat Pelaku Usaha terdaftar paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal terdaftar; atau
b. dalam hal pendaftaran NPWP dilakukan melalui OSS, Pelaku Usaha harus menyampaikan kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan ke KPP tempat Pelaku Usaha terdaftar paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal terdaftar.

(2) KPP tempat Wajib Pajak terdaftar mengirimkan surat permintaan klarifikasi/pemenuhan kelengkapan dokumen dalam hal:
a. Notaris atau Pelaku Usaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
b. Terdapat data yang tidak sesuai,
ke alamat tempat tinggal/tempat kedudukan dan surel (email) Wajib Pajak.
(3) Surat permintaan permintaan klarifikasi/pemenuhan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(4) Notaris atau Pelaku Usaha wajib menyampaikan klarifikasi dan/atau dokumen yang dipersyaratkan sesuai dengan jangka waktu yang tercantum dalam surat permintaan klarifikasi/pemenuhan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Pelaku Usaha ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non-Efektif dalam hal dokumen yang dipersyaratkan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang tercantum dalam surat permintaan klarifikasi/pemenuhan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) NPWP yang diterbitkan kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) merupakan sarana dalam administrasi perpajakan yang dapat digunakan oleh Pelaku Usaha untuk melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya.
(7) Dalam hal pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dapat diproses melalui sistem SABH dan/atau OSS, Pelaku Usaha dapat melakukan pendaftaran untuk dapat diberikan NPWP pada kantor Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan NPWP serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 5

(1) Berdasarkan permohonan pendaftaran secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melakukan pencetakan kartu NPWP dan Surat Keterangan terdaftar paling lama 1 (satu) hari kerja setelah tanggal terdaftar.
(2) Penyampaian Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan NPWP serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 6

NPWP yang telah diterbitkan melalui SABH atau sistem OSS sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, dinyatakan tetap berlaku dan merupakan sarana administrasi perpajakan yang dapat digunakan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

Pasal 7

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 September 2018
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN