Pemerintah disarankan untuk menerbitkan kebijakan sepihak atau unilateral untuk menarik pajak perusahaan (PPh) bagi perusahaan digital.

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah disarankan untuk menerbitkan kebijakan sepihak atau unilateral untuk menarik pajak perusahaan (PPh) bagi perusahaan digital.

Kebijakan ini sembari menunggu hasil konsensus global oleh Organization for Economic Co-Ordination Development (OECD) pada pertengahan tahun 2020.

Hal itu ditegaskan pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, Minggu (8/12/2019).

Menurutnya, aksi unilateral sudah dilakukan sejumlah negara seperti Italia dan Ceko. Kebijakan ini pemerintah Indonesia dapat dipertimbangkan mengingat pajak digital menyangkut kedaulatan suatu negara. ”Khususnya untuk memajaki penghasilan yang bersumber dari negaranya,” ujarnya.

Darussalam mengatakan, transaksi e-commerce akan dibahas dalam klaster keadilan pengenaan pajak di Omnibus Law Perpajakan. Tapi, pemerintah masih menunggu konsensus global OECD untuk menuliskan detailnya.

Apabila perusahaan digital dikenakan PPh, Darussalam menyebutkan, akan memberikan manfaat pada penerimaan negara. Terlebih, kini penerimaan pajak sedang mengalami tekanan akibat perdagangan global hingga berpotensi shortfall mencapai Rp 140 triliun sampai akhir tahun.

Di sisi lain, Darussalam menambahkan, isu e-commerce dalam Omnibus Law perpajakan juga berbicara mengenai data. Data transaksi pelapak yang diberikan perusahaan platform e-commerce nantinya dapat dimanfaatkan pemerintah sebagai bagian dari esktensifikasi dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu).

”Ini (ekstensifikasi) kan yang jadi permasalahan utama selama ini,” katanya.

Ke depannya, Darussalam menekankan, pemerintah juga harus memperluas jangkauan ke media sosial seperti Instagram dan Facebook. Penjual yang memanfaatkan platform tersebut harus menerima ketentuan perpajakan yang sama dengan marketplace.

Kebijakan ini patut dipertimabangkan agar para penjual tidak pindah berbondong-bondong ke media sosial dengan tujuan menghindari ketentuan perpajakan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Hestu Yoga Saksama menjelaskan, perpajakan mengenai transaksi digital akan masuk dalam Omnibus Law Perpajakan. Salah satunya menunjuk perusahaan digital itu sebagai pemungut PPN atas penjualan mereka di Indonesia.

Ke depannya pun, Hestu memastikan, pemerintah juga akan menerapkan PPh setelah mendefinisikan ulang Badan Usaha Tetap (BUT) dari kehadiran fisik menjadi kehadiran ekonomi signifikan. Tapi, skemanya masih harus menunggu OECD mengingat Indonesia bukan satu-satunya negara yang ‘kecolongan’.

"Formulasi bagi negara tempat sumber penghasilan seperti Indonesia sedang disusun dan kita hargai dengan menunggu keputusannya," ucapnya.

Kepala Bidang Kebijakan Pajak Internasional Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Pande Putu Oka Kusumawardhani menyebutkan, pembahasan pajak digital di OECD sudah masuk dalam konsultasi publik mengenai proposal mereka. Proposal tersebut berisikan pendekatan yang diajukan OECD untuk pemajakan ekonomi digital.

Di dalam proposal, Oka menambahkan, OECD menggunakan pendekatan terpadu (unified approach) yang mengarah pada significant economic presence. Ia berharap, kesepakatan sudah dapat diambil pada 2020 sehingga bisa diterapkan di semua negara.

"Kita coba lihat, positive thinking dan optimistis saja (bisa selesai tahun depan)," katanya ketika ditemui usai diskusi di Jakarta, Kamis (5/12).

Oka memastikan, posisi Indonesia hampir sama dengan negara pasar atau negara tujuan bisnis lainnya. Yaitu, memastikan perpajakan dapat diberlakukan secara adil. Baik itu antara pelaku usaha dalam negeri dengan luar negeri ataupun konvensional dengan digital.

Sumber: https://www.kabarbisnis.com/read/2896262/tarik-paj ak-perusahaan-digital-butuh-kebijakan-unilateral

Leave a Reply