Peraturan MenKeu – 184/PMK.01/2017

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 184 / PMK.01 / 2017
TENTANG
PERSYARATAN UNTUK MENJADI KUASA HUKUM PADA PENGADILAN PAJAKDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai persyaratan untuk menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.01/2012 tentang Persyaratan untuk Menjadi Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak;
  2. bahwa untuk memberikan kepastian hukum terkait kewenangan pengawasan terhadap Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak dan memberikan kemudahan dalam pengaturan terkait pelaksanaan pengawasan tersebut, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Persyaratan untuk Menjadi Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERSYARATAN UNTUK MENJADI KUASA HUKUM PADA PENGADILAN PAJAK.

BAB I
KETENTUAN UMUMPasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
  2. Kuasa Hukum adalah orang perseorangan yang dapat mendampingi atau mewakili para pihak yang bersengketa dalam beracara pada Pengadilan Pajak.
  3. Ketua adalah Ketua Pengadilan Pajak.
  4. Undang-Undang Pengadilan Pajak adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
  5. Surat Kuasa Khusus adalah surat kuasa yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa di Pengadilan Pajak kepada Kuasa Hukum untuk mendampingi atau mewakili para pihak yang bersengketa dalam beracara pada Pengadilan Pajak.

 

BAB II
PERSYARATAN UNTUK MENJADI KUASA HUKUMPasal 2

Setiap orang perseorangan untuk menjadi Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak harus memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus.

Pasal 3

Persyaratan umum untuk menjadi Kuasa Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebagai berikut:

  1. merupakan warga negara Indonesia; dan
  2. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

Pasal 4

Pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dibuktikan dengan:

  1. ijazah Sarjana/Diploma IV di bidang administrasi fiskal, akuntansi, perpajakan, dan/atau kepabeanan dan cukai dari perguruan tinggi yang terakreditasi; atau
  2. ijazah Sarjana/Diploma IV dari perguruan tinggi yang terakreditasi selain dalam bidang sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang dilengkapi dengan salah satu bukti tambahan sebagai berikut:
    1. ijazah Diploma III perpajakan dan/atau kepabeanan dan cukai dari perguruan tinggi yang terakreditasi;
    2. brevet perpajakan dari instansi atau lembaga penyelenggara brevet perpajakan;
    3. sertifikat keahlian kepabeanan dan cukai dari instansi atau lembaga pendidikan dan pelatihan kepabeanan dan cukai; atau
    4. surat atau dokumen yang menunjukkan pengalaman pernah bekerja pada instansi pemerintah di bidang teknis perpajakan dan/atau kepabeanan dan cukai.

 

Pasal 5

Persyaratan khusus untuk menjadi Kuasa Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebagai berikut:

  1. mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak;
  2. mempunyai bukti tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi untuk 2 (dua) tahun terakhir;
  3. memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
  4. tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil atau pejabat negara;
  5. menandatangani pakta integritas;
  6. telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun setelah diberhentikan dengan hormat sebagai Hakim Pengadilan Pajak untuk orang yang pernah mengabdikan diri sebagai Hakim Pengadilan Pajak; dan
  7. memiliki izin kuasa hukum.

 

Pasal 6

Tata cara untuk memperoleh izin kuasa hukum pada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g diatur secara tersendiri oleh Ketua dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak.

BAB III
KETENTUAN PENUTUPPasal 7

 

(1) Permohonan izin kuasa hukum yang telah diajukan dengan lengkap sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, diselesaikan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.01/2012 tentang Persyaratan untuk menjadi Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak.
(2) Kuasa Hukum yang telah memiliki izin kuasa hukum yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, izin kuasa hukum tersebut tetap berlaku sampai dengan masa berlaku izin kuasa hukum tersebut berakhir.

 

Pasal 8

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.01/2012 tentang Persyaratan untuk Menjadi Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 461), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Desember 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

source : ortax.org

Surat Edaran Dirjen Pajak – 40/PJ/2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 40 / PJ / 2017
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
PER-18/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENELITIAN BUKTI PEMENUHAN
KEWAJIBAN PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BESERTA
PERUBAHANNYADIREKTUR JENDERAL PAJAK

A. Umum

Dalam rangka melaksanakan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2017 tentang Tata Cara Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya, maka perlu diatur tentang tata cara pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran ini memberikan petunjuk mengenai tata cara pelaksanaan penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan Perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas tanah dan/atau bangunan.
2. Tujuan
Tujuan diterbitkannya Surat Edaran ini adalah untuk memberikan standardisasi tata cara pelaksanaan penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi:

1. Tata cara penyelesaian penelitian formal bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan di KPP yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya.
2. Tata cara penyelesaian penelitian material bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan di KPP Wajib Pajak terdaftar atau tempat tinggal Wajib Pajak.
D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu;
4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya;
5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 37/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2017 tentang Tata Cara Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.
E. Materi

I. Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, atau Perubahan PPJB atas Tanah dan/atau Bangunan

1. Penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan yang diajukan oleh Wajib Pajak atau kuasanya, meliputi:

  1. penelitian formal; dan
  2. penelitian material.
2. Penelitian formal sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dilakukan oleh:

  1. KPP; atau
  2. Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP)

yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut KPP lokasi.

3. Penelitian material sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b dilakukan melalui penelitian kantor dan/atau penelitian lapangan oleh KPP:

a. tempat Wajib Pajak terdaftar, di mana:

1) Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Wajib Pajak diadministrasikan; atau
2) kegiatan usaha dilakukan, dalam hal Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,

atau

b. yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi, dalam hal belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

yang selanjutnya disebut KPP domisili.

II. Penelitian Formal

1. Penelitian formal dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. mengecek kelengkapan berkas surat permohonan dengan mengisi daftar kelengkapan (checklist);
b. memastikan kesesuaian identitas Wajib Pajak berupa NPWP, KTP, atau Paspor dengan data yang dimiliki DJP;
c. memastikan jumlah PPh yang telah disetor oleh Wajib Pajak telah sesuai dengan PPh yang seharusnya terutang berdasarkan surat pernyataan; dan
d. memastikan kode akun pajak, kode jenis setoran, Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), dan jumlah PPh yang disetor, berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP, telah sesuai dengan data penerimaan pajak dalam Modul Penerimaan Negara (MPN).
2. Setelah menyelesaikan penelitian formal, KPP menerbitkan:

a. Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan, dalam hal penelitian formal berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 telah terpenuhi atau sesuai; atau
b. Surat Pemberitahuan Permohonan Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan Tidak Lengkap dan/atau Tidak Sesuai, dalam hal penelitian formal berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak terpenuhi atau tidak sesuai.

Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh diterima.

3. Dalam hal jangka waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada angka 2 terlampaui, Permohonan penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh dianggap dikabulkan, dan pada hari kerja berikutnya KPP harus menerbitkan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan.
4. Untuk kepentingan penelitian material, berkas permohonan yang telah dilakukan penelitian formal selanjutnya dikirimkan kepada:

  1. Seksi terkait di KPP lokasi, dalam hal KPP domisili sama dengan KPP lokasi; atau
  2. KPP domisili, dalam hal KPP domisili tidak sama dengan KPP lokasi.
III. Penelitian Material

1. Penelitian material harus dilakukan setelah penelitian formal selesai dilakukan.
2. Penelitian material dilakukan dengan cara:

a. memastikan bahwa lokasi dan luas tanah dan/atau bangunan yang dicantumkan dalam surat pernyataan WP telah sesuai dengan keadaan sebenarnya;
b. meneliti kebenaran nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan yang terdapat dalam bukti penjualan/bukti transfer/bukti penerimaan uang, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan berupa jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; dan
c. menentukan kewajaran nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan yang dinyatakan oleh Wajib Pajak dengan harga pasar berdasarkan pendekatan penilaian (appraisal), dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan berupa jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa atau melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
3. Penelitian material dimulai dengan penyusunan Laporan Analisis Kewajaran Nilai Pengalihan oleh Account Representative (AR), yang menyatakan bahwa terdapat atau tidak terdapat indikasi ketidakwajaran nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan yang dinyatakan oleh Wajib Pajak.
4. Indikasi ketidakwajaran sebagaimana dimaksud pada angka 3, antara lain dalam hal:

a. terdapat hubungan istimewa;
b. nilai pengalihan lebih kecil dibandingkan NJOP yang tercantum dalam SPPT Tahun Terakhir;
c. nilai pengalihan lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang tercantum dalam brosur/leaflet/pricelist;
d. terdapat beda lokasi dan/atau luas atas tanah dan/atau bangunan yang dialihkan antara yang dicantumkan dalam surat pernyataan dengan yang tercantum dalam bukti kepemilikan (sertifikat) untuk luas tanah, dan/atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk luas bangunan; dan/atau
e. nilai pengalihan lebih kecil dibandingkan dengan nilai pasar indikasi yang diperoleh DJP dari data, informasi dan/atau keterangan lain, baik dari sumber internal maupun eksternal.
5. Dalam hal terdapat indikasi ketidakwajaran sebagaimana dimaksud dalam angka 4, AR menyusun Laporan Analisis Kewajaran Nilai Pengalihan sebagaimana dimaksud pada angka 3, dan dalam hal diperlukan penilaian:

a. AR dapat meminta bantuan kepada Fungsional Penilai atau Petugas Penilai Pajak; atau
b. berdasarkan pertimbangan Kepala KPP, KPP domisili dapat melakukan permintaan bantuan kepada KPP lokasi.

untuk melakukan penilaian atas nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan, sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-61/PJ/2015 tentang Optimalisasi Penilaian (Appraisal) Untuk Penggalian Potensi Pajak dan Tujuan Perpajakan Lainnya, beserta perubahannya.

6. Dalam hal terdapat permintaan bantuan penilaian, Fungsional Penilai atau Petugas Penilai Pajak harus melakukan penilaian atas nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan, hasil penilaian kemudian dituangkan dalam Laporan Penilaian sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-54/PJ/2016 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Properti, Penilaian Bisnis, Penilaian Aset Tak berwujud Untuk Tujuan Perpajakan beserta perubahannya.
7. AR menindaklanjuti Laporan Penilaian dengan membuat Laporan Hasil Penelitian.
8. Dalam hal berdasarkan penelitian material, disimpulkan bahwa nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perubahan PPJB atas tanah dan/atau bangunan yang dinyatakan oleh Wajib Pajak tidak sesuai dengan nilai yang sesungguhnya atau yang seharusnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak, KPP menindaklanjuti hasil penelitian tersebut melalui mekanisme surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK) sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2015 tentang Pengawasan Wajib Pajak Dalam Bentuk Permintaan Penjelasan Atas Data dan/atau Keterangan, dan Kunjungan (visit) Kepada Wajib Pajak, beserta perubahannya.
9. Penelitian material diprioritaskan untuk dapat diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah penelitian formal bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh selesai dilakukan.
F. Lampiran

1. Prosedur kerja berupa:

a) Tata Cara Penyelesaian Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Tanah dan/atau Bangunan, dan Perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
b) Tata Cara Penyelesaian Penelitian Material Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Tanah dan/atau Bangunan, dan Perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
2. Format surat dan formulir ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
G. Penutup

1. Untuk kepentingan penelitian material, KPP lokasi mengirimkan berkas permohonan Wajib Pajak yang telah dilakukan penelitian formal berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal ini kepada KPP domisili paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah dilakukan penelitian formal.
2. Pada saat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, terhadap:

a) permohonan penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan yang telah dinyatakan lengkap berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-81/PJ/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 tentang Tata Cara Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, namun belum selesai dilakukan penelitian, tetap dilakukan penelitian berdasarkan SE-81/PJ/2010; dan
b) permohonan penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan yang telah selesai dilakukan penelitian berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-81/PJ/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 tentang Tata Cara Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, maka masih dapat dilakukan penelitian material berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
3. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-81/PJ/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 tentang Tata Cara Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

Source : ortax.org

Peraturan Dirjen Pajak – 26/PJ/2017

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 26 / PJ / 2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-16/PJ/2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PELAPORAN FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIKDIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 19 huruf f Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, perlu menetapkan perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak;
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2010 tentang Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-33/PJ/2014;
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014;
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik.

 

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-16/PJ/2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PELAPORAN FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik, diubah sebagai berikut:

1. Diantara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 1A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1A
(1) Aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dapat berupa:

  1. Aplikasi e-Faktur Client Desktop;
  2. Aplikasi e-Faktur Web Based; atau
  3. Aplikasi e-Faktur Host-to-Host (H2H).
(2) Aplikasi e-Faktur Host-to-Host (H2H) dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara:

  1. dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur; atau
  2. dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur melalui Penyelenggara e-Faktur Host-to-Host (H2H).
(3) Pengusaha Kena Pajak yang menyelenggarakan dan/atau menggunakan Aplikasi e-Faktur Host-to-Host (H2H) harus terlebih dahulu memperoleh surat izin dari Direktorat Jenderal Pajak.
2. Diantara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2A
(1) Dikecualikan dari ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak yang dibuatkan/dikeluarkan oleh PT Pertamina (Persero).
(2) Faktur Pajak atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak yang dibuatkan/dikeluarkan oleh PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf c wajib dibuat melalui aplikasi e-Faktur terhitung sejak 1 Januari 2018.
3. Diantara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 2 (dua) Pasal yakni Pasal 4A dan Pasal 4B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A
(1) Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, bagi pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, maka identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak Orang Pribadi wajib diisi dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. nama dan alamat pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak diisi dengan nama dan alamat sebagaimana tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk atau Paspor; dan
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak diisi dengan NPWP 00.000.000.0-000.000 dan wajib mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau nomor Paspor untuk Warga Negara Asing (WNA) dalam kolom referensi aplikasi e-Faktur.
Pasal 4B
(1) Atas pemasukan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk dan/atau pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk wajib dibuatkan Faktur Pajak yang diisi lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Keterangan berupa jenis barang yang dicantumkan pada Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan nama Barang Kena Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya berikut kode Pos Tarif sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
4. Diantara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11A
(1) Faktur Pajak yang dibuat dengan mencantumkan keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya atau dibuat tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini bukan merupakan Faktur Pajak.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat Faktur Pajak.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Pengusaha Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya sebagai Pajak Masukan.
5. Diantara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 12A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12A

Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf c Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2010 tentang Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak dan perubahannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak 1 Januari 2018.

 

Pasal II

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Desember 2017.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.
KEN DWIJUGIASTEADI

source : ortax.org

Peraturan Dirjen Pajak – 25/PJ/2017

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 25 / PJ / 2017
TENTANG
PELAKSANAAN PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN DAN TATA CARA PELAPORAN UTANG SWASTA LUAR NEGERI DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Menimbang :

dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pelaksanaan Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan dan Tata Cara Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1351);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PELAKSANAAN PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN DAN TATA CARA PELAPORAN UTANG SWASTA LUAR NEGERI.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:

  1. Undang-undang PPh adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
  2. Perbandingan Antara Utang dan Modal adalah perbandingan antara utang dan modal perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015.
  3. Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang PPh.
  4. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-undang PPh.

 

Pasal 2

 

(1) Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham, besarnya biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak dihitung berdasarkan Perbandingan Antara Utang dan Modal.
(2) Biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. bunga pinjaman;
  2. diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
  3. biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
  4. beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
  5. biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
  6. selisih kurs yang berasal dari penyesuaian terhadap biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dalam hal biaya pinjaman tersebut dalam mata uang asing.
(3) Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1).
(4) Dalam hal besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Wajib Pajak melebihi besarnya perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak sesuai dengan Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-undang PPh.
(6) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, maka besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga harus memenuhi tingkat biaya pinjaman sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(7) Biaya pinjaman yang tidak memenuhi ketentuan sebagai dimaksud pada ayat (6), dianggap sebagai dividen bagi pihak yang menerima atau memperolehnya dan dikenakan pajak pada saat biaya pinjaman tersebut dibayarkan atau jatuh tempo pembayarannya.

 

Pasal 3

 

(1) Biaya pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang tidak dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak meliputi:

  1. selisih antara biaya pinjaman yang ditangggung oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dengan biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
  2. selisih antara biaya pinjaman atas utang kepada pihak yang memiliki Hubungan Istimewa yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dengan biaya pinjaman yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6);
  3. biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak; dan
  4. biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenai pajak bersifat final.
(2) Dalam hal biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikapitalisasi sebagai harga perolehan harta, penyusutan atas bagian harta yang merupakan kapitalisasi biaya pinjaman dimaksud tidak dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak.

 

Pasal 4

Contoh penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal, penghitungan besarnya biaya pinjaman yang dapat dikurangkan, dan penghitungan besarnya biaya pinjaman yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 5

 

(1) Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak termasuk:

  1. utang yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya; atau
  2. utang yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
(2) Nilai utang dalam rangka penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dihitung berdasarkan saldo rata-rata utang pada satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
(3) Saldo rata-rata utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak.
(4) Dalam hal rata-rata saldo utang tiap akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo utang tersebut dihitung menurut dokumen yang dapat menunjukkan posisi utang pada tiap akhir bulan.

 

Pasal 6

 

(1) Nilai modal dalam rangka penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dihitung berdasarkan saldo rata-rata modal pada satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
(2) Saldo rata-rata modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak.
(3) Dalam hal rata-rata saldo modal tiap akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo modal tersebut dihitung menurut dokumen yang dapat menunjukkan posisi modal pada tiap akhir bulan.
(4) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. ekuitas yang dicatat pada neraca perusahaan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia; dan
  2. pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.

 

Pasal 7

 

(1) Wajib Pajak Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham yang memiliki utang dan mengurangkan biaya pinjaman dalam penghitungan penghasilan kena pajak wajib menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki utang swasta luar negeri, Wajib Pajak juga wajib menyampaikan laporan utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
(3) Utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk utang dagang yang tidak dibebani bunga.
(4) Format laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Format laporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(6) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau tidak menggunakan format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tidak menggunakan format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak.

 

Pasal 8

 

(1) Kewajiban penerapan ketentuan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2016.
(2) Kewajiban penyampaian laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dan laporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2017.

 

Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 November 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI

source : ortax.org

Surat Edaran Dirjen Pajak – 37/PJ/2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 37 / PJ / 2017
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELESAIAN KEBERATAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNANDIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

A. Umum
Sehubungan dengan diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan (PMK-249/PMK.03/2016), perlu diterbitkan petunjuk pelaksanaan atas Peraturan Menteri Keuangan tersebut sebagai pedoman bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Wilayah DJP (Kanwil DJP) dalam memproses dan menyelesaikan pengajuan keberatan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Petunjuk pelaksanaan penyelesaian keberatan PBB sebelumnya telah diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-49/PJ/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan. Namun demikian ketentuan dalam Surat Edaran tersebut tidak lagi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PMK-249/PMK.03/2016 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
Surat Edaran ini juga disusun dalam rangka menyempurnakan pengaturan mengenai permintaan penilaian dalam rangka penyelesaian keberatan PBB, perubahan persyaratan pengajuan keberatan PBB, perubahan prosedur tindak lanjut setelah Surat Keputusan Keberatan PBB diterbitkan dan penegasan mengenai pengadministrasian berkas keberatan PBB.
B. Maksud Dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran ini disusun sebagai pedoman bagi KPP dan Kanwil DJP dalam memproses dan menyelesaikan pengajuan keberatan PBB yang diajukan Wajib Pajak.
2. Tujuan
Surat Edaran ini bertujuan untuk mendorong tertib administrasi penyelesaian keberatan PBB, sehingga penyelesaian keberatan PBB Wajib Pajak berjalan efektif dan optimal sesuai dengan batas waktu penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Undang-Undang PBB).
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi:

1. definisi;
2. prosedur penanganan pengajuan keberatan PBB dan permohonan pencabutan Surat Keberatan di KPP;
3. prosedur penerimaan dan penelitian berkas keberatan PBB di Kanwil DJP;
4. prosedur penyelesaian keberatan PBB di Kanwil DJP; dan
5. ketentuan lain-lain.
D. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 253/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2016.
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-297/PJ/2002 tentang Pelimpahan Wewenang Direktur Jenderal Pajak kepada Para Pejabat di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-127/PJ/2015.
E. Materi

1. Definisi

a. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang mengadministrasikan PBB adalah KPP yang menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak PBB (SKP PBB) yang diajukan keberatan PBB.
b. Kantor Wilayah DJP yang selanjutnya disebut Kanwil DJP adalah unit vertikal DJP yang membawahkan KPP yang mengadministrasikan PBB dan berwenang untuk menerbitkan keputusan atas keberatan PBB yang diajukan oleh Wajib Pajak.
c. Surat Keberatan adalah surat yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan atas SPPT atau SKP PBB.
2. Prosedur penanganan pengajuan keberatan PBB dan permohonan pencabutan Surat Keberatan di KPP
Prosedur penanganan pengajuan keberatan PBB dan permohonan pencabutan Surat Keberatan di KPP adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
3. Prosedur penerimaan dan penelitian berkas keberatan PBB di Kanwii DJP
Prosedur penerimaan dan penelitian berkas keberatan PBB di Kanwil DJP adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
4. Prosedur penyelesaian keberatan PBB di Kanwil DJP
Prosedur penyelesaian keberatan PBB di Kanwil DJP dan tindak lanjut penanganan Surat Keputusan Keberatan PBB adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
5. Ketentuan lain-lain

a. Semua dokumen mengenai permintaan, pengiriman, dan penerimaan atas surat, berkas, dokumen, data, keterangan, dan/atau informasi yang berkaitan dengan penyelesaian pengajuan keberatan PBB Wajib Pajak diadministrasikan sebagai satu kesatuan berkas keberatan PBB.
b. Setiap pengiriman dokumen, surat atau berkas kepada Wajib Pajak dan/atau pihak lain melalui:

1) penyampaian secara langsung dengan bukti tanda terima;
2) pos dengan bukti pengiriman surat; atau
3) perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,

bukti tanda terima atau bukti pengiriman dokumen, surat atau berkas tersebut harus mencantumkan identitas dokumen, surat atau berkas yang dikirim paling sedikit berupa nomor dokumen, surat atau berkas dimaksud.

c. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan dan gugatan tersebut diterima, jangka waktu 12 (dua belas) bulan penyelesaian keberatan menjadi tertangguh, yaitu terhitung sejak tanggal dikirim surat pemberitahuan bahwa Surat Keberatan tidak memenuhi persyaratan kepada Wajib Pajak sampai dengan tanggal diterimanya Putusan Pengadilan Pajak terkait gugatan dimaksud oleh Direktur Jenderal Pajak.
d. Para Kepala Kanwil DJP diminta untuk melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan KPP dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam wilayah kerjanya terkait pelaksanaan Surat Edaran ini.
e. Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-49/PJ/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
f. Surat Edaran ini mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal ditetapkan.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 November 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

source : ortax.org

Surat Edaran Dirjen Pajak – 39/PJ/2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 39 / PJ / 2017
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 116/PMK.010/2017
TENTANG BARANG KEBUTUHAN POKOK YANG
TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

A. Umum
Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 tanggal 15 Agustus 2017 tentang Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai yang pada intinya mengatur jenis barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, perlu diberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan tersebut.
B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan sebagai pedoman pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.
2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan kejelasan serta keseragaman pemahaman dan perlakuan dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:

1. Penyampaian isi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 serta implikasi perpajakannya untuk diketahui dan dipahami oleh petugas pajak di seluruh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak.
2. Meminta kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak untuk menyosialisasikan Peraturan Menteri Keuangan tersebut beserta implikasi perpajakannya kepada para pengusaha khususnya pengusaha yang melakukan ekspor, impor, dan/atau penyerahan dalam negeri atas jenis barang yang sebelumnya berstatus sebagai Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai namun dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 berubah menjadi barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
D. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, mengatur antara lain:

  1. Pasal 1 angka 2, bahwa Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
  2. Pasal 1 angka 3, bahwa Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
  3. Pasal 4A ayat (2) huruf b, bahwa jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
  4. Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b, bahwa barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak antara lain meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XIV/2016.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012, mengatur antara lain:

  1. Pasal 7 ayat (1), bahwa jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  2. Pasal 7 ayat (2), bahwa ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 tentang Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
E. Materi

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 diterbitkan dalam rangka menyelaraskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XIV/2016 serta untuk lebih memberikan kepastian hukum dan kejelasan mengenai jenis-jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
2. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 menyatakan bahwa Peraturan Menteri Keuangan tersebut berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal 16 Agustus 2017, sehingga terhitung sejak 15 September 2017 berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, berupa:

1) beras dan gabah;
2) jagung;
3) sagu;
4) kedelai;
5) garam konsumsi;
6) daging;
7) telur;
8) susu;
9) buah-buahan;
10) sayur-sayuran;
11) ubi-ubian;
12) bumbu-bumbuan; dan
13) gula konsumsi.
b. Kriteria dan/atau rincian barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.
c. Kriteria dan/atau rincian barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf b juga memperhatikan definisi barang menurut pos tarif sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang sistem klasifikasi barang.
d. Kriteria dan/atau rincian barang sebagaimana dimaksud dalam huruf b berlaku untuk ekspor, impor, dan/atau penyerahan dalam negeri.
e. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 tersebut, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut:

1) Terdapat jenis barang yang sebelumnya adalah Barang Kena Pajak berubah menjadi jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, yaitu ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
2) Perubahan status jenis barang sebagaimana dimaksud dalam angka 1) berdampak pada pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari semula dapat dikreditkan menjadi tidak dapat dikreditkan. Memperhatikan tanggal mulai berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 yaitu sejak tanggal 15 September 2017, maka terkait dengan hak atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat diberikan penjelasan bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang saat terutang Pajak Pertambahan Nilainya terjadi sebelum tanggal 15 September 2017, sedangkan:

a) saat pembuatan Faktur Pajaknya terjadi sebelum tanggal 15 September 2017 dan Faktur Pajak tersebut diterima sebelum tanggal 15 September 2017.
b) saat pembuatan Faktur Pajaknya terjadi sebelum tanggal 15 September 2017, namun Faktur Pajak tersebut baru diterima pada tanggal 15 September 2017 atau setelahnya.
c) saat pembuatan Faktur Pajaknya terlambat namun belum melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak Faktur Pajak tersebut seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012.

Pengkreditan Faktur Pajak Masukan sebagaimana dimaksud huruf b) dan c) tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

3) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.011/2014.
3. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini diminta kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk segera menyosialisasikan Peraturan Menteri Keuangan tersebut kepada para pengusaha yang terdaftar di wilayah kerja masing-masing.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 November 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

 

source : ortax.org

Surat Edaran Dirjen Pajak – 35/PJ/2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 35 / PJ / 2017
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN LEGALISASI ATAS
SURAT KETERANGAN PENGAMPUNAN PAJAKDIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

A. Umum

Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak untuk memperoleh legalisasi atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak berdasarkan permintaan Wajib Pajak, yang akan dipergunakan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan perlu disusun Surat Edaran Direktur Jenderal yang mengatur mengenai petunjuk pelaksanaan legalisasi atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam melakukan legalisasi atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak.
2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan keseragaman dalam pelaksanaan legalisasi atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak.
C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Petunjuk Pelaksanaan Legalisasi atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak.

D. Materi

1. Dalam hal terdapat permintaan legalisasi atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak dari Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak, Petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak tersebut kepada Account Representative Seksi Pengawasan dan Konsultasi I.
2. Account Representative Seksi Pengawasan dan Konsultasi I melakukan pengecekan untuk memastikan:

  1. nomor dan tanggal Surat Keterangan Pengampunan Pajak sesuai dengan data dalam aplikasi; dan
  2. fotokopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang disampaikan Wajib Pajak sesuai dengan aslinya.
3. Dalam hal nomor dan tanggal Surat Keterangan Pengampunan Pajak dalam fotokopi yang disampaikan Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak tidak sesuai dengan data yang terdapat dalam aplikasi, fotokopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak tersebut dikembalikan melalui Petugas TPT.
4. Dalam hal nomor dan tanggal Surat Keterangan Pengampunan Pajak dalam fotokopi yang disampaikan Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak telah sesuai dengan data yang terdapat dalam aplikasi, Account Representative Seksi Pengawasan dan Konsultasi I memberikan keterangan legalisasi pada tiap lembar Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang disampaikan Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak dengan membubuhkan stempel dengan contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini kemudian menyampaikannya kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I untuk ditandatangani.
5. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I menandatangani keterangan legalisasi yang disampaikan oleh Account Representative Seksi Pengawasan dan Konsultasi I.
6. Account Representative Seksi Pengawasan dan Konsultasi I memberikan nomor dan tanggal pada keterangan legalisasi, membubuhkan cap dinas, dan mencatat dalam register legalisasi Surat Keterangan Pengampunan Pajak sebagaimana terlampir dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini dan menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang telah dilegalisasi kepada Petugas TPT untuk disampaikan kepada Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak.
7. Keseluruhan prosedur harus diselesaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak permintaan legalisasi dari Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak diterima oleh petugas TPT.
8. Pihak KPP tidak diperkenankan untuk menyimpan berkas fotokopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak dalam bentuk apapun.
9. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 November 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

source : ortax.org

Surat Edaran Dirjen Pajak – 36/PJ/2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 36 / PJ / 2017
TENTANG

PEDOMAN FORENSIK DIGITAL UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

A. Umum

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara global telah membawa perubahan yang pesat dalam proses bisnis dan proses pencatatan data transaksi keuangan maupun transaksi non-keuangan Wajib Pajak. Dengan berbagai tujuan, semakin banyak Wajib Pajak yang memanfaatkan teknologi digital atau perangkat elektronik, baik dalam menjalankan proses bisnisnya maupun dalam melakukan pengolahan data. Hal ini memungkinkan Wajib Pajak mengelaborasi teknologi yang membuat segala aktivitasnya dapat terdokumentasi secara digital (paperless). Dengan demikian, upaya pengawasan dan penegakan hukum di bidang perpajakan tidak dapat mengandalkan cara konvensional yaitu dengan dokumen fisik semata.

Data yang dikelola secara elektronik untuk selanjutnya disebut dengan Data Elektronik pada umumnya memiliki karakteristik rapuh, dapat diubah, mudah rusak dan hancur akibat penanganan yang tidak tepat. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan kegiatan Forensik Digital dalam proses perolehan, pengolahan dan analisis, pelaporan serta penyimpanan Data Elektronik, dan dilaksanakan oleh pegawai yang memiliki kualifikasi tertentu dengan prosedur dan teknik yang dapat menjaga keaslian Data Elektronik. Forensik Digital merupakan teknik atau cara menangani Data Elektronik untuk diproses dan menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Dalam upaya penegakan hukum di bidang perpajakan melalui kegiatan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan terhadap Wajib Pajak, perlu didukung dengan kegiatan Forensik Digital agar perolehan Data Elektronik termasuk pengolahan dan analisisnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Di samping itu, kegiatan Forensik Digital juga dapat digunakan untuk mendukung kegiatan lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian dan keseragaman dalam pelaksanaan kegiatan Forensik Digital tersebut, diperlukan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang berisi Pedoman Forensik Digital untuk kepentingan perpajakan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Tenaga Forensik Digital, Pemeriksa Pajak, Pemeriksa Bukti Permulaan, dan Penyidik serta unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan kegiatan Forensik Digital untuk mendukung Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan, dan kegiatan lain yang memerlukan dukungan Forensik Digital.
2. Tujuan
Surat Edaran ini disusun dengan tujuan agar terdapat keseragaman pelaksanaan kegiatan Forensik Digital sehingga Data Elektronik yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
C. Ruang Lingkup

Pedoman Forensik Digital ini mengatur tentang:

  1. Ketentuan Umum;
  2. Tenaga Forensik Digital;
  3. Penugasan Kegiatan Forensik Digital;
  4. Prosedur Kegiatan Forensik Digital; dan
  5. Evaluasi Kegiatan Forensik Digital.
D. Dasar

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016;
  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015;
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
E. Materi

  1. Pedoman Forensik Digital Untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I; dan
  2. Formulir yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan Forensik Digital untuk kepentingan perpajakan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II,

yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

F. Ketentuan Lain-Lain

Dengan berlakunya Surat Edaran ini, ketentuan terkait tata cara pelaksanaan kegiatan Forensik Digital yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku.

G. Penutup

Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 November 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

source : ortax.org

Peraturan MenKeu – 171/PMK.03/2017

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 171 / PMK.03 / 2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
62/PMK.03/2012 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN,
PENGADMINISTRASIAN, PEMBAYARAN, SERTA PELUNASAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN/ATAU PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
ATAS PENGELUARAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK
DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN
DALAM DAERAH PABEAN DAN PEMASUKAN DAN/ATAU PENYERAHAN
BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI TEMPAT LAIN
DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAMENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai tata cara pengawasan, pengadministrasian, pembayaran, serta pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas pengeluaran dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dan pemasukan dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, Serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas;
  2. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1a) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak;
  3. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak;
  4. bahwa untuk menyelaraskan ketentuan mengenai tata cara pengawasan, pengadministrasian, pembayaran, serta pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas pengeluaran dan/atau penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dari kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean dan pemasukan dan/atau penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dari tempat lain dalam daerah pabean ke kawasan bebas dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2017 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tata cara pengawasan, pengadministrasian, pembayaran, serta pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas pengeluaran dan/atau penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dari kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean dan pemasukan dan/atau penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dari tempat lain dalam daerah pabean ke kawasan bebas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.03/2012;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sampai dengan huruf d serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (7), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (12) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 462);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 62/PMK.03/2012 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN, PENGADMINISTRASIAN, PEMBAYARAN, SERTA PELUNASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN/ATAU PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN DAN PEMASUKAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.03/2012 tentang tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 462), diubah sebagai berikut:

1. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 3 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3
(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) untuk transaksi tertentu, yaitu:

  1. pengeluaran dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak yang berhubungan dengan kegiatan usahanya ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang dalam jangka waktu tertentu akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas berupa mesin dan/atau peralatan untuk:
    1. kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
    2. keperluan perbaikan, pengerjaan, pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
    3. keperluan peragaan atau demonstrasi;
  2. pengeluaran kembali dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang berhubungan dengan kegiatan usahanya berupa mesin dan/atau peralatan untuk:
    1. kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
    2. keperluan perbaikan, pengerjaan pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
    3. keperluan peragaan atau demonstrasi;
  3. pengeluaran Barang Kena Pajak untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi yang atas impornya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dipungut, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut tidak untuk tujuan pengalihan hak;
  4. pengeluaran Barang Kena Pajak, yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan atas impor dan/atau penyerahannya tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
  5. pengeluaran Barang Kena Pajak yang telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilainya dengan menggunakan stiker lunas Pajak Pertambahan Nilai; dan
  6. pengeluaran Barang Kena Pajak berupa pengemas yang dipakai berulang-ulang (returnable package).
(1a) Mesin dan/atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 yaitu:

a. mesin untuk kepentingan produksi terdiri dari:

1. mesin pabrik; dan
2. peralatan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mesin pabrik sebagaimana dimaksud pada angka 1, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang.
b. peralatan untuk pengerjaan proyek infrastruktur seperti crane, excavator, buldozer, forklift dan peralatan lain yang sejenisnya.
(2) Batas waktu pemasukan kembali Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
(3) Batas waktu pengeluaran kembali Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
(4) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib dilunasi oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean yang menerima atau mengeluarkan Barang Kena Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.
(5) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dikeluarkan kembali dari Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dilunasi pada saat pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut dari Kawasan Bebas oleh Orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak tersebut dari Kawasan Bebas dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.
(6) Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Kawasan Bebas sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya surat ketetapan pajak.
(7) Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
2. Ketentuan ayat (5) dan ayat (6) Pasal 10 diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10
(1) Pemasukan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3) Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Penyerahan Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang penyerahannya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di tempat lain dalam Daerah Pabean, terutang dan dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(6) Penyerahan Jasa Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas yang penyerahannya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus, terutang dan  dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(7) Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(8) Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(9) Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) adalah Jasa Kena Pajak yang batasan kegiatan dan jenisnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8), juga berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak dan penyerahan Jasa Kena Pajak yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(11) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak yang telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilai dengan menggunakan stiker lunas Pajak Pertambahan Nilai, dan Bahan Bakar Minyak bersubsidi.
3. Ketentuan ayat (3) Pasal 11 diubah, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11
(1) Atas pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) wajib dibuatkan Faktur Pajak yang diisi lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(1a) Keterangan berupa jenis barang yang dicantumkan pada Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan nama Barang Kena Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya berikut kode Pos Tarif sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
(2) Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Saat pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain pada saat terutang juga dapat menggunakan saat lain, yaitu pada saat pengiriman Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas yaitu tanggal Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order.
(4) Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8), wajib dibuatkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Atas penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) dan ayat (6) wajib dibuatkan Faktur Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) harus diberi cap “PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 10 TAHUN 2012” oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan.
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku atas pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan pemasukan kembali Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a.
4. Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), ayat (8), dan ayat (9) Pasal 12 diubah, serta ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (10) dan di antara ayat (1) dan ayat (9) disisipkan 11 (sebelas) ayat yakni ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (2a), ayat (2b), ayat (2c), ayat (2d), ayat (6b), ayat (6e), ayat (8a), dan ayat (8b) sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12
(1) Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) diberikan sepanjang:

  1. Barang Kena Pajak Berwujud tersebut benar-benar telah masuk di Kawasan Bebas yang dibuktikan dengan dokumen yang telah diberikan Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
  2. pihak pembeli Barang Kena Pajak adalah pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
(1a) Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara elektronik (e-Endorsement).
(1b) Endorsement secara elektronik (e-Endorsement) sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) dilakukan dalam hal Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki data elektronik yang diperlukan dalam rangka meyakini bahwa Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a benar-benar telah masuk di Kawasan Bebas.
(1e) Dalam hal Direktorat Jenderal Pajak belum memiliki data elektronik yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b), Endorsement dilakukan secara manual.
(2) Dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) adalah Pemberitahuan Pabean (PPFTZ-03) yang telah didaftarkan pada kantor pabean, yang dilampiri dengan:

  1. fotokopi Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
  2. fotokopi Faktur Pajak yang dibuat sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 dengan mencantumkan kode Pos Tarif sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI);
  3. fotokopi Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order; dan
  4. fotokopi invoice.
(2a) Dalam hal terdapat:

  1. ketidaksesuaian antara dokumen Faktur Pajak dengan dokumen Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order, dan Invoice; dan/atau
  2. Faktur Pajak tidak mencantumkan kode Pos Tarif sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI),

pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dapat meminta klarifikasi tertulis kepada Pengusaha yang melakukan pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas untuk menjelaskan ketidaksesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(2b) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan ke pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan Endorsement paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
(2c) Endorsement tidak diberikan oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2):

  1. tidak disampaikan ke pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan Endorsement;
  2. disampaikan ke pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan Endorsement tetapi melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB); dan/atau
  3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan bebas yang tidak memberikan klarifikasi secara tertulis atas permintaan klarifikasi tertulis dari pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(2d) Pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dapat membatalkan hasil Endorsement yang semula memberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut menjadi tidak memberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut dalam hal ditemukan ketidaksesuaian dokumen Faktur Pajak, Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order dan invoice dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
(3) Dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) untuk pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b adalah Pemberitahuan Pabean (PPFTZ-03) yang telah didaftarkan pada Kantor Pabean, yang dilampiri dengan:

  1. PPBTT yang telah disetujui oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean terdaftar beserta lampirannya; dan
  2. fotokopi Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order.
(4) Penyampaian lampiran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus disertai dengan menunjukkan dokumen aslinya.
(5) Dalam hal pengurusan Pemberitahuan Pabean dilakukan oleh pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dilampiri dengan surat kuasa dari pengusaha yang melakukan pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas.
(6) Dalam hal Pemberitahuan Pabean tidak sesuai dengan dokumen-dokumen yang harus dilampirkan dalam rangka Endorsement, atas pemasukan Barang Kena Pajak tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut.
(6a) Atas pemasukan Barang Kena Pajak yang tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tersebut wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6b) Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Dalam hal pemberitahuan untuk pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b tidak sesuai dengan dokumen-dokumen yang harus dilampirkan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), atas pemasukan Barang Kena Pajak tersebut tidak termasuk transaksi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b.
(8) Tata cara Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(8a) Tata cara Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat dilakukan secara elektronik melalui aplikasi atau sistem informasi yang disediakan atau ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(8b) Pembatalan hasil Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (2d) diberitahukan secara tertulis kepada pengusaha yang memasukkan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas dan kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas sesuai contoh surat sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(9) Penugasan pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka melakukan Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(10) Atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat membantu tugas pengawasan dalam rangka pemberian Endorsement sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
5. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 12A, 12B, 12C, dan 12D sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12A
(1) Dalam rangka pemberian fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat dilakukan pemeriksaan fisik.
(2) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:

  1. manajemen risiko;
  2. nota intelijen di bidang perpajakan; atau
  3. nota hasil intelijen di bidang kepabeanan dan cukai.
(3) Pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara bersama oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Pemeriksaan fisik berdasarkan nota intelijen di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Pemeriksaan fisik berdasarkan nota intelijen di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(6) Pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan nota intelijen perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan di tempat penyimpanan barang milik pengusaha.
(7) Pemeriksaan fisik yang dilakukan berdasarkan manajemen risiko dan/atau nota intelijen di bidang perpajakan dilakukan dengan Pemeriksaan Tujuan Lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999).
(8) Dalam melaksanakan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktorat Jenderal Pajak dapat meminta bantuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(9) Hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dinyatakan pada laporan hasil pemeriksaan atas Pemberitahuan Pabean berupa PPFTZ-03.
(10) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditandatangani oleh:

  1. pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam hal pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
  2. pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam hal pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
Pasal 12B
(1) Terhadap barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dimasukkan ke Kawasan Bebas yang akan dilakukan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (1), pejabat melekatkan tanda pengaman saat pengeluaran barang dari Kawasan Pabean setelah mendapat Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata laksana pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dan pembebasan cukai.
(3) Tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 12C
(1) Penerapan manajemen risiko dalam rangka melaksanakan Pasal 12A ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan profil risiko yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Profil risiko yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas data dan/atau informasi yang tersedia dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, dapat digunakan metode acak (random) yang ditentukan oleh pengelola profil risiko.
(4) Pengelola profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah:

  1. Kantor Pelayanan Pajak yang mengawasi pengusaha di Kawasan Bebas;
  2. Kantor Pelayanan Pajak yang mengawasi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas;
  3. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana huruf a dan huruf b;
  4. Direktorat Intelijen Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau
  5. Direktorat Penerimaan, Potensi dan Kepatuhan Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 12D
(1) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemeriksaan kecuali diatur khusus dalam Peraturan Menteri ini.
(2) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan dengan kriteria pencocokan data dan/atau alat keterangan.
(3) Dalam melaksanakan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf a dan huruf b, pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak berwenang:

  1. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari pengusaha; dan/atau
  2. meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan pengusaha yang diperiksa.
(4) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja yang dihitung sejak tanggal surat pemberitahuan pemeriksaan fisik disampaikan kepada pengusaha atau kuasanya sampai dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan fisik.
(5) Setelah kegiatan pemeriksaan fisik dilakukan, harus dibuat laporan hasil pemeriksaan fisik yang tata cara pembuatannya dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemeriksaan.
(6) Laporan hasil pemeriksaan fisik paling sedikit harus berisi:

  1. pernyataan bahwa Barang Kena Pajak telah sesuai dengan dokumen Pemberitahuan Pabean, Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), Faktur Pajak, Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order, dan Invoice; atau
  2. pernyataan bahwa Barang Kena Pajak tidak sesuai dengan dokumen Pemberitahuan Pabean, Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), Faktur Pajak, Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order, dan Invoice.
(7) Dalam hal laporan hasil pemeriksaan fisik menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut tidak dapat diberikan atas penyerahan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.
6. Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV diubah, sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV serta menambah 1 (satu) Lampiran yakni Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 November 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,ttd.SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 November 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1678

Peraturan MenKeu- 165/PMK.03/2017

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 165 / PMK.03 / 2017
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016
TENTANG PENGAMPUNAN PAJAKDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAMENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah diatur ketentuan mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak;
  2. bahwa untuk lebih memberikan keadilan, pelayanan, kemudahan, dan mendorong kepatuhan Wajib Pajak dalam menjalankan kebijakan Pengampunan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, perlu melakukan penyempurnaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 huruf a, huruf b, huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1043) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1438);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1043) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1438), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan ayat (4) dan ayat (6) Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24
(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan membayar Uang Tebusan atas Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan yang belum dibaliknamakan atas nama Wajib Pajak, harus melakukan pengalihan hak menjadi atas nama Wajib Pajak.
(2) Atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan, dalam hal:

  1. permohonan pengalihan hak; atau
  2. penandatanganan surat pernyataan oleh kedua belah pihak di hadapan Notaris yang menyatakan bahwa Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah benar milik Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, dalam hal Harta tersebut belum dapat diajukan permohonan pengalihan hak,

dilakukan paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2017.

(2a) Pembebasan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku dalam hal dokumen kepemilikan atas tanah dan/atau bangunan yang akan dilakukan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih atas nama:

  1. pihak perantara (nominee) yang namanya digunakan oleh Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan selaku pemilik sebenarnya untuk memperoleh tanah dan/atau bangunan;
  2. pemberi hibah;
  3. pewaris; atau
  4. salah satu ahli waris, dalam hal tanah dan/atau bangunan tersebut telah terbagi.
(2b) Pembebasan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberikan dalam hal:

  1. telah terjadi pembelian tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak dari pengembang (developer); dan
  2. terhadap hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum dilakukan balik nama dari pengembang (developer) kepada Wajib Pajak.
(3) Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan yang dapat dibaliknamakan dan dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu Harta tambahan yang telah diperoleh dan/atau dimiliki Wajib Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir.
(4) Untuk keperluan balik nama atas Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak menyampaikan bukti pembebasan Pajak Penghasilan kepada Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah berupa surat keterangan bebas atau fotokopi Surat Keterangan.
(5) Permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan oleh Wajib Pajak yang memperoleh Surat Keterangan ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar sebelum dilakukan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melampirkan:

  1. fotokopi Surat Keterangan;
  2. fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir atas Harta yang dibaliknamakan;
  3. fotokopi dokumen kepemilikan atas Harta yang masih atas nama pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), dan akan dibaliknamakan menjadi atas nama Wajib Pajak; dan
  4. surat pernyataan kepemilikan Harta yang dibaliknamakan yang telah dilegalisasi oleh Notaris.
(6) Surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atau fotokopi Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku sepanjang digunakan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
2. Ketentuan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 40 diubah, sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40
(1) Wajib Pajak harus menyampaikan:

  1. tanggapan atas surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1);
  2. laporan sehubungan dengan penerbitan surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2);

paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat peringatan dikirim.

(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau menyampaikan tanggapan namun diketahui bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan/atau Pasal 13 ayat (5) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. terhadap Harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan atas penghasilan dimaksud dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan dan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
  2. Uang Tebusan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak diperhitungkan sebagai pengurang pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(3) Wajib Pajak yang tidak menyampaikan laporan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan diketahui tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan/atau Pasal 13 ayat (5) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. terhadap Harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan atas penghasilan dimaksud dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan dan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
  2. Uang Tebusan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak diperhitungkan sebagai pengurang pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(4) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menetapkan Pajak Penghasilan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar.
(5) Pembayaran Pajak Penghasilan dan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 514.
3. Ketentuan ayat (5) Pasal 43 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43
(1) Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.
(2) Termasuk dalam pengertian Harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:

  1. Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b yang tidak diungkapkan sebagai Harta tambahan dalam Surat Pernyataan sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
  2. penyesuaian nilai Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).
(3) Dalam hal terdapat tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar.
(4) Terhadap surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. diterbitkan untuk masa pajak saat ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan;
  2. surat ketetapan pajak kurang bayar mencantumkan jumlah Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
  3. Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud dalam huruf b dihitung menggunakan tarif sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan; dan
  4. atas Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud dalam huruf c dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen).
(5) Pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 515.
4. Ketentuan ayat (4) Pasal 44 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44
(1) Terhadap Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir, berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud;
  2. data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditemukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang Pengampunan Pajak mulai berlaku.
(2) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar.
(3) Terhadap surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. diterbitkan untuk masa pajak ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir;
  2. dalam surat ketetapan pajak kurang bayar tercantum jumlah Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
  3. Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud dalam huruf b dihitung menggunakan tarif sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan; dan
  4. atas Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud dalam huruf c dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dihitung sejak saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar.
(4) Pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 516.
5. Di antara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 44A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44A
(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan:

  1. Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1); atau
  2. Harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1),

sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.

(2) Atas Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dianggap sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dengan cara mengalikan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan dengan dasar pengenaan Pajak Penghasilan.
(4) Dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) yaitu sebesar jumlah Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan; atau
  2. Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yaitu sebesar jumlah Harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
(5) Nilai yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya nilai Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan:

  1. nilai nominal, untuk Harta berupa kas atau setara kas;
  2. nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), untuk tanah dan/atau bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB), untuk kendaraan bermotor;
  3. nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak;
  4. nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran (warrant) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia; dan/atau
  5. nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk obligasi negara Republik Indonesia dan obligasi perusahaan,

sesuai kondisi dan keadaan Harta pada akhir Tahun Pajak Terakhir.

(6) Dalam hal tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b sampai dengan huruf e, nilai Harta ditentukan sebagai berikut:

  1. nilai dari hasil penilaian Kantor Jasa Penilai Publik; atau
  2. nilai dari hasil penilaian Direktur Jenderal Pajak, apabila Wajib Pajak meminta untuk dilakukan penilaian.
(7) Pengungkapan Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final dengan dilampiri bukti pembayaran Pajak Penghasilan atas Harta.
(8) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 422 dengan mencantumkan pembayaran atau penyetoran untuk Masa Pajak dilakukannya pengungkapan Harta.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(10) Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kurang dari jumlah yang seharusnya dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan, atas kekurangan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
6. Ketentuan Pasal 46 ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46
(1) Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak, hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada badan peradilan pajak.
(3) Upaya hukum terhadap sengketa yang berkaitan dengan penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (2), dan/atau Pasal 44A ayat (10) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 November 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,ttd.SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 November 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1645
Source : ortax.org