Peraturan Dirjen Pajak – 25/PJ/2017

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 25 / PJ / 2017
TENTANG
PELAKSANAAN PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN DAN TATA CARA PELAPORAN UTANG SWASTA LUAR NEGERI DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Menimbang :

dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pelaksanaan Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan dan Tata Cara Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1351);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PELAKSANAAN PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN DAN TATA CARA PELAPORAN UTANG SWASTA LUAR NEGERI.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:

  1. Undang-undang PPh adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
  2. Perbandingan Antara Utang dan Modal adalah perbandingan antara utang dan modal perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015.
  3. Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang PPh.
  4. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-undang PPh.

 

Pasal 2

 

(1)Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham, besarnya biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak dihitung berdasarkan Perbandingan Antara Utang dan Modal.
(2)Biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. bunga pinjaman;
  2. diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
  3. biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
  4. beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
  5. biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
  6. selisih kurs yang berasal dari penyesuaian terhadap biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dalam hal biaya pinjaman tersebut dalam mata uang asing.
(3)Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1).
(4)Dalam hal besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Wajib Pajak melebihi besarnya perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)Besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak sesuai dengan Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-undang PPh.
(6)Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, maka besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga harus memenuhi tingkat biaya pinjaman sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(7)Biaya pinjaman yang tidak memenuhi ketentuan sebagai dimaksud pada ayat (6), dianggap sebagai dividen bagi pihak yang menerima atau memperolehnya dan dikenakan pajak pada saat biaya pinjaman tersebut dibayarkan atau jatuh tempo pembayarannya.

 

Pasal 3

 

(1)Biaya pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang tidak dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak meliputi:

  1. selisih antara biaya pinjaman yang ditangggung oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dengan biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
  2. selisih antara biaya pinjaman atas utang kepada pihak yang memiliki Hubungan Istimewa yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dengan biaya pinjaman yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6);
  3. biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak; dan
  4. biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenai pajak bersifat final.
(2)Dalam hal biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikapitalisasi sebagai harga perolehan harta, penyusutan atas bagian harta yang merupakan kapitalisasi biaya pinjaman dimaksud tidak dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak.

 

Pasal 4

Contoh penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal, penghitungan besarnya biaya pinjaman yang dapat dikurangkan, dan penghitungan besarnya biaya pinjaman yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 5

 

(1)Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak termasuk:

  1. utang yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya; atau
  2. utang yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
(2)Nilai utang dalam rangka penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dihitung berdasarkan saldo rata-rata utang pada satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
(3)Saldo rata-rata utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak.
(4)Dalam hal rata-rata saldo utang tiap akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo utang tersebut dihitung menurut dokumen yang dapat menunjukkan posisi utang pada tiap akhir bulan.

 

Pasal 6

 

(1)Nilai modal dalam rangka penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dihitung berdasarkan saldo rata-rata modal pada satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
(2)Saldo rata-rata modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak.
(3)Dalam hal rata-rata saldo modal tiap akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo modal tersebut dihitung menurut dokumen yang dapat menunjukkan posisi modal pada tiap akhir bulan.
(4)Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. ekuitas yang dicatat pada neraca perusahaan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia; dan
  2. pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.

 

Pasal 7

 

(1)Wajib Pajak Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham yang memiliki utang dan mengurangkan biaya pinjaman dalam penghitungan penghasilan kena pajak wajib menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
(2)Dalam hal Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki utang swasta luar negeri, Wajib Pajak juga wajib menyampaikan laporan utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
(3)Utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk utang dagang yang tidak dibebani bunga.
(4)Format laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5)Format laporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(6)Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau tidak menggunakan format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7)Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tidak menggunakan format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak.

 

Pasal 8

 

(1)Kewajiban penerapan ketentuan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2016.
(2)Kewajiban penyampaian laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dan laporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2017.

 

Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 November 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI

source : ortax.org

Leave a Reply