PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 12/PJ/2019

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 12/PJ/2019

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN PEMANFAATAN JASA KENA
PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN
ATAS IMPOR YANG MERUPAKAN PEMASUKAN BARANG
YANG DIGUNAKAN UNTUK KEGIATAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :
a. bahwa untuk memberikan kepastian hukum perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas impor termasuk impor sementara, yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan mendukung kemudahan dalam berusaha (ease of doing business), perlu mengatur mengenai tata cara penerbitan surat keterangan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atas impor yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.04/2017 tentang Impor Sementara, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Atas Impor yang Merupakan Pemasukan Barang yang Digunakan untuk Kegiatan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.04/2017 tentang Impor Sementara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1703);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN ATAS IMPOR YANG MERUPAKAN PEMASUKAN BARANG YANG DIGUNAKAN UNTUK KEGIATAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:

  1. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disingkat PPN atau PPN dan PPnBM, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. 
  2. Barang Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat BKP, adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  3. Jasa Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat JKP, adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  4. Surat Keterangan Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang selanjutnya disebut SKJLN, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  5. Kode Verifikasi SKJLN adalah kode yang digunakan untuk memverifikasi kebenaran SKJLN.

Pasal 2

(1) Impor BKP terutang PPN atau PPN dan PPnBM.
(2) Impor BKP yang merupakan pemasukan barang yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak, tidak dikenakan PPN atau PPN dan PPnBM atas impor BKP.
(3) Impor BKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk impor sementara.
(4) Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 3

(1) Wajib Pajak harus memiliki SKJLN sebelum melakukan impor untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Untuk memiliki SKJLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, atas setiap impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat informasi:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. Nama dan alamat lawan transaksi;
c. Jenis dan nilai transaksi;
d. Nomor dan tanggal kontrak;
e. Nomor dan tanggal adendum kontrak, dalam hal ada perubahan atas kontrak sebelumnya;
f. Tanggal kontrak berakhir; dan
g. Jenis barang yang diimpor, dalam hal Wajib Pajak tidak menggunakan mekanisme impor sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
(4) Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKJLN.
(5) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak.
(6) Dalam hal laman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(7) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani oleh:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan; atau
b. pimpinan tertinggi Wajib Pajak Badan atau pengurus yang diberikan wewenang untuk menjalankan kegiatan perusahaan yang berkaitan dengan perpajakan, yang dibuktikan dengan fotokopi akta pendirian atau dokumen pendukung lainnya.

Pasal 4

Wajib Pajak diberikan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dalam hal memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan/atau
b. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir bagi Wajib Pajak yang merupakan Pengusaha Kena Pajak,
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 5

(1) Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), Direktorat Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
a. menerbitkan SKJLN, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4; atau
b. tidak memproses permohonan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan/atau Pasal 4,
secara otomatis melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(2) Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
a. menerbitkan SKJLN dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (7), dan Pasal 4; atau
b. menerbitkan surat penolakan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (7), dan/atau Pasal 4.
(3) SKJLN yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a memuat Kode Verifikasi SKJLN.

Pasal 6

(1) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memperoleh SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan pembatalan SKJLN.
(2) Atas pembatalan SKJLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib membayar PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas impor BKP dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan pada saat impor BKP.
(4) Kewajiban pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan surat keterangan pembatalan SKJLN.
(5) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 7

(1) Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) tidak dipenuhi, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung sejak saat impor BKP sampai dengan tanggal pembayaran PPN atau PPN dan PPnBM terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Pasal 8

Permohonan penerbitan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, dan surat penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, surat keterangan pembatalan SKJLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dibuat sesuai dengan contoh format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2019
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/PMK.04/2019

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 98/PMK.04/2019

TENTANG

TARIF ATAS SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA
DAN TATA CARA PENGENAAN, PEMUNGUTAN, DAN PENYETORAN
SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA ATAS PELANGGARAN KETENTUAN
DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN,
DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif atas Sanksi Administratif Berupa Denda dan Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, dan Penyetoran Sanksi Administratif Berupa Denda atas Pelanggaran Ketentuan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
  3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6245);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6302);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TARIF ATAS SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DAN TATA CARA PENGENAAN, PEMUNGUTAN, DAN PENYETORAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA ATAS PELANGGARAN KETENTUAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.
  2. Devisa adalah aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi internasional.
  3. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DHE SDA adalah Devisa hasil kegiatan ekspor barang yang berasal dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.
  4. Rekening Khusus DHE SDA adalah rekening Eksportir di Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing yang ditujukan khusus untuk menerima dan menyimpan DHE SDA.
  5. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing adalah bank yang memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia.
  6. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepabeanan.
  7. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan Ekspor.
  8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  10. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean.
  11. Bank Indonesia adalah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
  12. Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 2

Setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa.

Pasal 3

(1) Khusus Devisa berupa DHE SDA, wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia.
(2) DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berasal dari hasil barang Ekspor:
a. pertambangan;
b. perkebunan;
c. kehutanan; dan
d. perikanan.
(3) Jenis barang Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.

Pasal 4

(1) Direktur Jenderal yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3):
a. wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan;
b. bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan; dan
c. tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pihak lainnya.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh.) atau pejabat pelaksana tugas (Plt.) yang ditunjuk.
(3) Pejabat pelaksana harian (Plh.) atau pejabat pelaksana tugas (Plt.) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertanggung jawab secara substansi atas pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan.

Pasal 5

(1) Eksportir wajib memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) melalui penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing.
(2) Penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor.

Pasal 6

DHE SDA pada Rekening Khusus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dapat digunakan oleh Eksportir yang menempatkan DHE SDA tersebut untuk pembayaran:
a. bea keluar dan pungutan lain di bidang Ekspor;
b. pinjaman:
c. impor:
d. keuntungan/dividen; dan/atau
e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Pasal 7

(1) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan melalui escrow account, Eksportir wajib membuat escrow account tersebut pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing.
(2) Dalam hal escrow account sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dibuat di luar negeri, Eksportir wajib memindahkan escrow account pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam valuta asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8

(1) Dalam hal Eksportir tidak melakukan penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Eksportir dikenakan denda sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai DHE SDA yang belum ditempatkan ke dalam Rekening Khusus DHE SDA.
(2) Dalam hal Eksportir menggunakan DHE SDA pada Rekening Khusus DHE SDA untuk pembayaran di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Eksportir dikenakan denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai DHE SDA yang digunakan untuk pembayaran di luar ketentuan.
(3) Terhadap Eksportir yang tidak membuat escrow account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau tidak memindahkan escrow account di luar negeri pada Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Eksportir dikenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang ekspor.

Pasal 9

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) disetor ke Kas Negara sebagai pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari hak negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 10

(1) Kepala Kantor Pabean melakukan perhitungan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) dengan mendasarkan pada hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
(2) Kepala Kantor Pabean mengenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor dengan mendasarkan pada hasil pengawasan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan yang menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan/atau Pasal 7.
(3) Berdasarkan perhitungan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pabean atas nama Menteri menerbitkan:
a. surat tagihan pertama kepada Eksportir;
b. surat tagihan kedua, yang diterbitkan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat tagihan pertama sebagaimana dimaksud pada huruf a diterbitkan, Eksportir tidak melunasi kewajibannya; dan
c. surat tagihan ketiga, yang diterbitkan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat tagihan kedua sebagaimana dimaksud pada huruf b diterbitkan, Eksportir tidak melunasi kewajibannya.
(4) Surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan melalui Sistem Komputer Pelayanan.
(5) Dalam hal penerbitan surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dapat dilakukan melalui Sistem Komputer Pelayanan, penerbitan surat tagihan dimaksud dilakukan secara manual.
(6) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat tagihan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diterbitkan Eksportir tidak melunasi kewajibannya, atas pemberitahuan ekspor barang (PEB) berikutnya tidak dilayani sampai dengan Eksportir melunasi kewajibannya.
(7) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diterbitkan Eksportir tidak melunasi kewajibannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai:
a. menerbitkan surat penyerahan tagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya;
b. mengenakan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor; dan
c. menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan.
(8) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat meminta penjelasan tertulis atas hasil pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dan/atau Eksportir terkait adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6.
(9) Permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terkait dengan elemen data hasil pengawasan yang terdapat dalam sistem monitoring Bank Indonesia.
(10) Contoh format surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 11

(1) Kepala Kantor Pabean yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3):
a. wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan;
b. bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan; dan
c. tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pihak lainnya.
(2) Dalam hal Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh.) atau pejabat pelaksana tugas (Plt.) yang ditunjuk.
(3) Pejabat pelaksana harian (Plh.) atau pejabat pelaksana tugas (Plt.) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertanggung jawab secara substansi atas pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan.

Pasal 12

Hasil pengawasan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan yang menunjukkan bahwa Eksportir telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan/atau Pasal 7, menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memberikan pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor.

Pasal 13

(1) Eksportir wajib membayar denda sesuai surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) ke Kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Hasil pengawasan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 yang dilampiri dengan bukti pembayaran denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memberikan pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor.

Pasal 14

(1) Dalam hal Eksportir tidak setuju atas surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Eksportir dapat mengajukan permohonan koreksi terhadap surat tagihan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pabean.
(2) Koreksi terhadap surat tagihan pertama, surat tagihan kedua, dan surat tagihan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 15

Pelaksanaan penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (2) serta pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) dan permintaan penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (8):
b. pengenaan sanksi administratif berupa penundaan pemberian pelayanan kepabeanan di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (6);
c. tata cara penyampaian penagihan atas pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3); dan
d. pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta 

pada tanggal 1 Juli 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juli 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 721

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP – 370/PJ/2018

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP – 370/PJ/2018

TENTANG

KEBIJAKAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN BENCANA ALAM TSUNAMI
SELAT SUNDA DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG, KABUPATEN SERANG,
DAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa telah ditetapkan status keadaan tanggap darurat bencana alam tsunami Selat Sunda di wilayah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang dari tanggal 27 Desember 2018 sampai dengan tanggal 9 Januari 2019 berdasarkan Keputusan Bupati Pandeglang Nomor 362/Kep.425/2018, dan Keputusan Bupati Serang Nomor 360/Kep.504-Huk/2018 serta Keputusan Gubernur Banten Nomor 366/Kep.350-Huk/2018;
bahwa telah ditetapkan status keadaan tanggap darurat bencana alam tsunami di wilayah Kabupaten Lampung Selatan dari tanggal 22 Desember 2018 sampai dengan tanggal 5 Januari 2019 berdasarkan Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor : B/400/VI.02/HK/2018 dan Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor : B/405/VI.02/HK/2018;
bahwa untuk meringankan beban dan dampak sosial ekonomi bagi Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan, perlu diberikan kebijakan perpajakan berupa pengecualian pengenaan sanksi administrasi perpajakan, pemberian perpanjangan batas waktu penyampaian permohonan keberatan, penyampaian permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua, dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang kedua;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Kebijakan Perpajakan Sehubungan dengan Bencana Alam Tsunami Selat Sunda di Wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 11);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2015 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1704);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 180);
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2017 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2017 tentang Pembayaran Pajak Secara Elektronik;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KEBIJAKAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN BENCANA ALAM TSUNAMI SELAT SUNDA DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG, KABUPATEN SERANG, DAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN.

PERTAMA :

Menetapkan bencana alam tsunami Selat Sunda di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan sejak tanggal 22 Desember 2018 sampai dengan 31 Januari 2019 sebagai keadaan kahar (force majeure).

KEDUA :

Kepada Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA, dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan:
pelaporan Surat Pemberitahuan Masa dan/atau Surat Pemberitahuan Tahunan; dan
pembayaran pajak dan/atau utang pajak,
yang jatuh tempo pada tanggal 22 Desember 2018 sampai dengan 28 Februari 2019.

KETIGA :

Pelaporan dan pembayaran sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA huruf a dan huruf b dilaksanakan paling lama 2 (dua) bulan setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA.

KEEMPAT :

Pengecualian pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak.

KELIMA :

Dalam hal terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA telah diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

KEENAM :

Kepada Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA, yang mengajukan permohonan upaya hukum berupa:
keberatan;
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua; atau
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang kedua,
yang batas waktu pengajuan permohonan dimaksud berakhir pada tanggal 22 Desember 2018 sampai dengan 28 Februari 2019, diberikan perpanjangan batas waktu untuk pengajuan permohonan sampai dengan 31 Maret 2019.

KETUJUH :

Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
Para Pejabat Eselon II di lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
Para Kepala Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
Para Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2018
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBase
Peraturan Terkait
1 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/pmk.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (spt)
Peraturan Menteri Keuangan – 9/PMK.03/2018, Tanggal 23 Jan 2018
2 Pembayaran Pajak Secara Elektronik
Peraturan Dirjen Pajak – PER – 05/PJ/2017, Tanggal 4 Apr 2017
3 Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik
Peraturan Dirjen Pajak – PER – 01/PJ/2017, Tanggal 23 Jan 2017
4 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/pmk.03/2013 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan
Peraturan Menteri Keuangan – 202/PMK.03/2015, Tanggal 11 Nop 2015
5 Surat Pemberitahuan (spt)
Peraturan Menteri Keuangan – 243/PMK.03/2014, Tanggal 24 Des 2014
6 Tata Cara Pembayaran Dan Penyetoran Pajak
Peraturan Menteri Keuangan – 242/PMK.03/2014, Tanggal 24 Des 2014
7 Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan
Peraturan Menteri Keuangan – 9/PMK.03/2013, Tanggal 2 Jan 2013
8 Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau …
Peraturan Menteri Keuangan – 8/PMK.03/2013, Tanggal 2 Jan 2013
9 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor …
Undang-Undang – 16 TAHUN 2009, Tanggal 25 Mar 2009
10 Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang – 6 TAHUN 1983, Tanggal 31 Des 1983

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE – 24/PJ/2018

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 24/PJ/2018
 
TENTANG
 
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS IMBALAN YANG DITERIMA
OLEH PEMBELI SEHUBUNGAN DENGAN KONDISI TERTENTU
DALAM TRANSAKSI JUAL BELI
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
 
A. Umum
 
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli, perlu diberikan penegasan mengenai perlakuan perpajakan dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal.
   
B. Maksud dan Tujuan
 
1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengenai perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli.
   
2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli yang dapat berupa pencapaian syarat tertentu, penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu, dan penerimaan kompensasi, serta perlakuan perpajakan atas imbalan dimaksud.
   
C. Ruang Lingkup
 
Ruang lingkup dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini adalah:
1. Pengertian penjual dan pembeli.
2. Kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli.
3. Imbalan atas pencapaian syarat tertentu dan perlakuan perpajakannya.
4. Imbalan atas penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu dan perlakuan perpajakannya.
5. Imbalan berupa kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli dan perlakuan perpajakannya.
6. Penjelasan lainnya sehubungan dengan imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu.
   
D. Dasar
 
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 121/PMK.03/2015;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2015 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan; dan
9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
   
E. Materi
 
1. Pengertian Penjual dan Pembeli
a. Penjual adalah pihak yang menjual produknya kepada pembeli termasuk produsen, distributor, dan agen.
b. Pembeli adalah pihak yang membeli produk dari Penjual untuk dijual kembali termasuk distributor, agen, dan retailer.
2. Kondisi Tertentu yang Terjadi dalam Transaksi Jual Beli
Kondisi tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli merupakan keadaan atau peristiwa yang dapat mengakibatkan adanya pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli sehubungan dengan transaksi jual beli berdasarkan perikatan tertulis dan/atau tidak tertulis. Kondisi tertentu dimaksud antara lain:
a. Pencapaian syarat tertentu.
b. Penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu.
c. Penerimaan kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli.
3. Imbalan atas Pencapaian Syarat Tertentu dan Perlakuan Perpajakannya
a. Berdasarkan perikatan jual beli, Penjual dapat mencantumkan syarat tertentu kepada Pembeli dalam rangka menjaga hubungan dalam kegiatan usaha. Penjual dapat memberikan imbalan kepada Pembeli atas tercapainya syarat tertentu. Pencapaian syarat tertentu dapat berupa:
1) pembelian oleh Pembeli mencapai jumlah tertentu;
2) penjualan oleh Pembeli mencapai jumlah tertentu; dan/atau
3) pelunasan oleh Pembeli sesuai jangka waktu tertentu.
b. Imbalan yang diterima atau diperoleh Pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban merupakan penghargaan. Termasuk dalam pengertian penghargaan yaitu bonus yang diberikan Penjual kepada Pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu.
c. Imbalan yang diterima atau diperoleh Pembeli sehubungan pencapaian syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban merupakan Imbalan atas jasa manajemen sepanjang dalam perikatan berupa kontrak kerja sama dicantumkan adanya aktivitas jasa dan terdapat:
1) pengakuan penghasilan atas jasa; atau
2) penagihan atas penyerahan jasa.
d. Perlakuan perpajakan atas penghargaan sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh)
a) Penghargaan yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghargaan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:
(1) PPh Pasal 21 dalam hal penerima penghargaan adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;
(2) PPh Pasal 23 dalam hal penerima penghargaan adalah:
(a) Wajib Pajak badan dalam negeri;
(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghargaan yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;
(3) PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghargaan adalah:
(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghargaan yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh,    dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
b) Dalam hal penghargaan diberikan dalam bentuk barang, maka Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan. Dalam hal nilai kesepakatan tidak diketahui, maka DPP dihitung berdasarkan harga pasar.
2) Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
a) Penghargaan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian Barang Kena Pajak (BKP) oleh Penjual kepada Pembeli:
(1) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan penyerahan BKP yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP berupa nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan. Dalam hal nilai kesepakatan tidak diketahui, maka DPP dihitung sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 1) huruf b);
(2) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan ekspor BKP Berwujud yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
b) Penghargaan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian berupa uang dan/atau pengurang kewajiban oleh Penjual kepada Pembeli tidak dikenai PPN.
e. Perlakuan perpajakan atas imbalan jasa manajemen sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan PPh
a) Imbalan atas jasa manajemen yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas imbalan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:
(1) PPh Pasal 21 dalam hal penerima imbalan adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;
(2) PPh Pasal 23 dalam hal penerima imbalan adalah:
(a) Wajib Pajak badan dalam negeri;
(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal imbalan atas jasa manajemen yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;
(3) PPh Pasal 26 dalam hal penerima imbalan adalah:
(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal imbalan atas jasa manajemen yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh,  dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B.
b) Dalam hal imbalan atas jasa manajemen diberikan dalam bentuk barang, DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam kontrak kerja sama.
2) Perlakuan PPN
a) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean:
(1) Penyerahan jasa manajemen oleh Pembeli kepada Penjual merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai PPN.
(2) Pembeli sebagai pihak yang menyerahkan jasa manajemen yang sesuai ketentuan merupakan PKP, wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.
(3) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa manajemen yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP yaitu sebesar nilai penggantian atas jasa manajemen berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam kontrak kerja sama.
b) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean:
(1) Atas pemanfaatan jasa manajemen yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN.
(2) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa manajemen yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan ekspor BKP Berwujud yang terutang PPN dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
4. Imbalan atas Penyediaan Ruang dan/atau Peralatan Tertentu dan Perlakuan Perpajakannya
a. Berdasarkan perikatan jual beli, Penjual dapat meminta fasilitas kepada Pembeli berupa penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu untuk kepentingan Penjual, yang dapat berupa lantai untuk menempatkan barang dan rak pemajangan barang penjualan, termasuk rak, rak gantungan, dan/atau etalase untuk menaruh barang yang dipamerkan dalam rangka mendukung kegiatan pemasaran produk dari Penjual.
b. Imbalan berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban yang diberikan oleh Penjual kepada Pembeli atas penyediaan fasilitas ruang sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan bagi Pembeli.
c. Imbalan berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban yang diberikan oleh Penjual kepada Pembeli atas penyediaan fasilitas peralatan tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta bagi Pembeli.
d. Perlakuan perpajakan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan PPh
a) Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghasilan dimaksud,Penjual wajib melakukan pemotongan: 
(1) PPh Pasal 4 ayat (2) dalam hal penerima penghasilan adalah:
(a) Wajib Pajak dalam negeri;
(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;
(2) PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghasilan adalah:
(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh, dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B.
b) Dalam hal penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan diberikan dalam bentuk barang, maka DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
2) Perlakuan PPN
a) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean:
(1) Penyerahan jasa persewaan tanah dan/atau bangunan oleh Pembeli kepada Penjual merupakan penyerahan JKP yang dikenai PPN.
(2) Pembeli sebagai pihak yang menyerahkan jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang sesuai ketentuan merupakan PKP, wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.
(3) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP yaitu sebesar nilai penggantian atas jasa persewaan tanah dan/atau bangunan berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
b) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean:
(1) Atas pemanfaatan jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN.
(2) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa persewaan tanah dan/atau bangunan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan ekspor BKP Berwujud yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
e. Perlakuan perpajakan atas penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan PPh
a) Penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diterima atau diperoleh Pembeli merupakan objek PPh, dan atas penghasilan dimaksud, Penjual wajib melakukan pemotongan:
(1) PPh Pasal 23 dalam hal penerima penghasilan adalah:
(a) Wajib Pajak dalam negeri;
(b) bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(c) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diperoleh merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh;
(2) PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghasilan adalah:
(a) Wajib Pajak luar negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
(b) kantor pusat suatu bentuk usaha tetap, dalam hal penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diperoleh bukan merupakan penghasilan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh, dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B.
b) Dalam hal penghasilan dari sewa sehubungan dengan penggunaan harta diberikan dalam bentuk barang, maka DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
2) Perlakuan PPN
a) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean:
(1) Penyerahan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta oleh Pembeli kepada Penjual merupakan penyerahan JKP yang dikenai PPN.
(2) Pembeli sebagai pihak yang menyerahkan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang sesuai ketentuan merupakan PKP, wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.
(3) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan penyerahan yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP yaitu sebesar nilai penggantian atas jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
b) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean:
(1) Atas pemanfaatan jasa sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN.
(2) Pemberian imbalan dari Penjual kepada Pembeli atas sewa sehubungan dengan penggunaan harta yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP merupakan ekspor BKP Berwujud yang terutang PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
5. Imbalan Berupa Kompensasi yang Diterima Sehubungan dengan Transaksi Jual Beli dan Perlakuan Perpajakannya
a. Dalam perikatan transaksi jual beli. Penjual dapat memberikan imbalan berupa kompensasi sehubungan dengan transaksi jual beli dalam bentuk uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban untuk menanggung risiko atas terjadinya fluktuasi harga, keterlambatan pengiriman barang, atau program penjualan tertentu atas perintah Penjual.
b. Fluktuasi harga sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat mempengaruhi harga jual pada tingkat Pembeli yang dapat menimbulkan potensi kerugian bagi Pembeli, sehingga Penjual memberikan sejumlah tertentu sebagai kompensasi atau disebut perlindungan harga (price protection).
c. Keterlambatan pengiriman barang sebagaimana dimaksud pada huruf a, terjadi dalam hal barang sampai di tempat Pembeli melebihi batas waktu yang telah disepakati. Penjual memberikan kompensasi kepada Pembeli atas keterlambatan pengiriman tersebut dalam bentuk pembayaran penalti.
d. Program penjualan tertentu atas perintah Penjual sebagaimana dimaksud pada huruf a, misalnya pemberian cicilan bunga 0% kepada pembeli akhir dalam hal Pembeli membayarkan beban bunga terlebih dahulu kepada lembaga pemberi pinjaman dan mendapatkan penggantian dari Penjual.
e. Perlakuan perpajakan atas imbalan berupa kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli dalam bentuk perlindungan harga (price protection), pembayaran penalti, dan pembayaran atas program penjualan tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, dan huruf d adalah sebagai berikut:
1) Perlakuan PPh
a) Kompensasi yang diterima atau diperoleh Pembeli yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau Wajib Pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23. Penghasilan dari kompensasi dimaksud wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Pembeli.
b) Dalam hal penerima kompensasi adalah Wajib Pajak luar negeri, baik yang memiliki maupun tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, terhadap kompensasi dimaksud tidak dikenai pemotongan PPh Pasal 26.
c) Dalam hal kompensasi diberikan dalam bentuk barang, DPP dihitung berdasarkan nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan.
2) Perlakuan PPN
a) Kompensasi yang diwujudkan dalam bentuk pemberian BKP oleh Penjual kepada Pembeli:
(1) Dalam hal Penjual dan Pembeli berada di dalam Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan penyerahan BKP yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan:
(a) Penjual yang sesuai ketentuan merupakan PKP wajib memungut PPN yang terutang, membuat Faktur Pajak, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP; dan
(b) DPP atas penyerahan BKP berupa nilai kesepakatan yang tercantum dalam perikatan;
(2) Dalam hal Penjual berada di dalam Daerah Pabean dan Pembeli berada di luar Daerah Pabean, atas pemberian BKP tersebut merupakan ekspor BKP Berwujud yang dikenai PPN, dan berlaku ketentuan yang mengatur tentang ekspor BKP.
b) Kompensasi yang diwujudkan dalam bentuk pemberian berupa uang dan/atau pengurang kewajiban oleh Penjual kepada Pembeli tidak dikenai PPN.
6. Penjelasan Lainnya sehubungan dengan Imbalan yang Diterima oleh Pembeli sehubungan dengan Kondisi Tertentu Imbalan yang diterima sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b dan huruf c, angka 4 huruf b dan huruf c, dan angka 5 huruf b, huruf c, dan huruf d bukan merupakan potongan harga sehingga tidak dicantumkan sebagai potongan harga dalam faktur penjualan (commercial invoice) maupun Faktur Pajak yang mengurangi harga jual atau penggantian dalam menghitung DPP.
Contoh kasus perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh Pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu dalam transaksi jual beli tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
   
F. Penutup
 
Dengan terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh Pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu berpedoman pada Surat Edaran ini.
 
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
 
 
 
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2018
DIREKTUR JENDERAL,
 
ttd
 
ROBERT PAKPAHAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 24/PJ/2018

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 24/PJ/2018

TENTANG

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI SECARA SPONTAN
DALAM RANGKA MELAKSANAKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional, perlu untuk menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pertukaran Informasi secara Spontan dalam rangka Melaksanakan Perjanjian Internasional;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 376);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI SECARA SPONTAN DALAM RANGKA MELAKSANAKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
1. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Internasional.
2. Perjanjian Internasional adalah perjanjian bilateral atau multilateral, yang antara lain menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang mengatur pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan, meliputi:
a. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
b. Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement);
c. Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters);
d. Persetujuan Pejabat yang Berwenang yang Bersifat Multilateral atau Bilateral (Multilateral or Bilateral Competent Authority Agreement);
e. Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement); atau
f. perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
3. Informasi adalah kumpulan data, angka, huruf, kata, citra, keterangan lisan, dan/atau keterangan tertulis yang dapat memberikan petunjuk dan/atau informasi mengenai penghasilan orang pribadi atau badan yang bersumber dari pekerjaan dalam hubungan kerja, pekerjaan bebas, kegiatan usaha, modal, dan/atau sumber lainnya, serta informasi mengenai kekayaan/harta termasuk informasi keuangan yang dimiliki dan/atau disimpan oleh orang pribadi atau badan, baik miliknya sendiri maupun milik orang pribadi atau badan lainnya, yang dapat berbentuk rekaman (audio/visual/audio visual), surat, dokumen, buku, catatan atau bentuk lainnya, baik dalam bentuk cetakan maupun elektronik.
4. Pertukaran Informasi adalah pertukaran Informasi yang berkaitan dengan perpajakan berdasarkan Perjanjian Internasional atau Exchange of Information (EOI) sebagai pelaksanaan Perjanjian Internasional yang bertujuan untuk:
a. mencegah penghindaran pajak;
b. mencegah pengelakan pajak;
c. mencegah penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak; dan/atau
d. mendapatkan Informasi terkait pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak.
5. Pertukaran Informasi secara Spontan (Spontaneous Exchange of Information) adalah pertukaran Informasi yang dilakukan secara spontan oleh Pejabat yang Berwenang di Indonesia dengan cara menyampaikan Informasi yang dinilai relevan untuk kepentingan perpajakan otoritas perpajakan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra secara langsung kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra atau sebaliknya, tanpa didahului dengan permintaan.
6. Pejabat yang Berwenang atau Competent Authority yang selanjutnya disebut Pejabat yang Berwenang adalah pejabat di Indonesia, di Negara Mitra, atau di Yurisdiksi Mitra yang berwenang untuk melaksanakan Pertukaran Informasi sebagaimana diatur dalam Perjanjian Internasional.
7. Unit di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Unit di Lingkungan DJP adalah Unit Eselon II Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, atau Kantor Pelayanan Pajak yang dapat menyampaikan usulan kepada Direktur Perpajakan Internasional untuk melakukan Pertukaran Informasi secara Spontan kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dan/atau yang harus menindaklanjuti Informasi yang diterima oleh Direktur Perpajakan Internasional atas Pertukaran Informasi secara Spontan dari Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.

Pasal 2

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melaksanakan Pertukaran Informasi secara Spontan dengan Pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Pelaksanaan Pertukaran Informasi secara Spontan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Perpajakan Internasional.
(3) Pertukaran Informasi secara Spontan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pertukaran Informasi secara Spontan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra (Outbound Spontaneous EOI); dan
b. Pertukaran Informasi secara Spontan dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra (Inbound Spontaneous EOI).
(4) Jenis pajak yang dicakup dalam Pertukaran Informasi secara Spontan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan untuk Pertukaran Informasi berdasarkan P3B;
b. Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai untuk Pertukaran Informasi berdasarkan Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan; atau
c. Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Bumi dan Bangunan (khusus untuk sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan) untuk Pertukaran Informasi berdasarkan Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan, dengan memperhatikan reservasi yang dibuat oleh tiap-tiap negara penandatangan konvensi.

Pasal 3

(1) Pertukaran Informasi secara Spontan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dilakukan oleh Direktur Perpajakan Internasional berdasarkan usulan Pertukaran Informasi dari pimpinan Unit di Lingkungan DJP.
(2) Usulan Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan atas:
a. Informasi yang berkaitan dengan transaksi atau kegiatan antara Wajib Pajak Indonesia dengan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang diterima, diperoleh, atau dihasilkan dari kegiatan:
1) pengawasan kepatuhan perpajakan;
2) pengembangan dan analisis atas informasi, data, laporan, dan pengaduan;
3) pemeriksaan;
4) penagihan;
5) pemeriksaan bukti permulaan;
6) penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
7) pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
8) pengurangan atau pembatalan surat tagihan pajak yang tidak benar;
9) keberatan;
10) banding;
11) peninjauan kembali; atau
12) prosedur persetujuan bersama, atau kesepakatan harga transfer, atau

b. Informasi yang berkaitan dengan peraturan perpajakan domestik dan pelaksanaannya.

(3) Informasi yang diusulkan untuk dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. indikasi hilangnya potensi pajak yang signifikan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
b. pembayaran kepada wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang diduga tidak dilaporkan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
c. pengurangan atau pembebasan pajak di Indonesia yang diterima oleh wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dapat menambah kewajiban perpajakan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
d. kegiatan bisnis yang dilakukan antara Wajib Pajak Indonesia dan wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra melalui satu atau beberapa negara sedemikian rupa sehingga menyebabkan pajak yang dibayar di Indonesia, di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, atau di kedua negara menjadi berkurang; dan/atau
e. kecurigaan bahwa terjadi pengurangan pembayaran pajak yang disebabkan oleh transfer yang tidak sebenarnya atas laba dalam sebuah grup usaha.
(4) Usulan Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dan memuat hal-hal sebagai berikut:
a. identitas wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dimaksud dalam Informasi, antara lain berupa nama, Tax Identification Number (TIN) atau nomor identitas lainnya untuk kepentingan perpajakan di luar negeri, atau alamat;
b. identitas Wajib Pajak Indonesia yang dilakukan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang paling sedikit memuat nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan alamat Wajib Pajak;
c. identitas entitas yang menjadi perantara, antara lain berupa nama perantara, TIN atau nomor identitas lainnya untuk kepentingan perpajakan di luar negeri yang dimiliki perantara, atau alamat perantara, dalam hal transaksi dilakukan melalui perantara;
d. masa pajak dan/atau tahun pajak yang dimaksud dalam Informasi;
e. keterangan mengenai hubungan antara wajib pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dengan Wajib Pajak Indonesia;
f. uraian mengenai Informasi yang diperoleh dan penjelasan mengenai manfaat Informasi tersebut bagi otoritas perpajakan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
g. keterangan atas sumber pemerolehan Informasi.

Pasal 4

(1) Direktur Perpajakan Internasional melakukan penelitian atas usulan Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dengan mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(2) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Perpajakan Internasional dapat memberikan persetujuan atas usulan Pertukaran Informasi.
(3) Direktur Perpajakan Internasional menyampaikan Pertukaran Informasi secara Spontan kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra secara tertulis dalam bahasa Inggris atas usulan Pertukaran Informasi yang disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Direktur Perpajakan Internasional menerima laporan pemanfaatan Informasi dari Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra atas Pertukaran Informasi secara S

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP – 271/PJ/2018

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP – 271/PJ/2018

TENTANG

KEBIJAKAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN BENCANA ALAM GEMPA BUMI
DAN TSUNAMI DI WILAYAH DONGGALA, PALU, DAN SEKITARNYA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa telah terjadi bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami di wilayah Donggala, Palu, dan sekitarnya;
bahwa untuk meringankan beban Wajib Pajak yang terkena dampak bencana tersebut, perlu diberikan kebijakan perpajakan berupa pengecualian pengenaan sanksi perpajakan, dan pemberian perpanjangan batas waktu penyampaian permohonan keberatan, penyampaian permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua, serta pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang kedua;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Kebijakan Perpajakan Sehubungan dengan Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di wilayah Donggala, Palu, dan sekitarnya;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 11);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2015 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1704);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 180);
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2017 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2017 tentang Pembayaran Pajak Secara Elektronik;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KEBIJAKAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN BENCANA ALAM GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI WILAYAH DONGGALA, PALU, DAN SEKITARNYA.

PERTAMA :

Menetapkan bencana alam gempa bumi dan tsunami di wilayah Donggala, Palu, dan sekitarnya sejak 28 September 2018 sampai dengan 31 Desember 2018 sebagai keadaan kahar (force majeure).

KEDUA :

Kepada Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di Donggala, Palu, dan sekitarnya sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA, dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan:
pelaporan Surat Pemberitahuan Masa dan/atau Surat Pemberitahuan Tahunan; dan
pembayaran pajak dan/atau utang pajak,
yang jatuh tempo pada tanggal 28 September 2018 sampai dengan 31 Januari 2019.

KETIGA :

Pelaporan dan pembayaran sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA huruf a dan huruf b dilaksanakan paling lama 2 (dua) bulan setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA.

KEEMPAT :

Pengecualian pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak.

KELIMA :

Dalam hal terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Diktum KEDUA telah diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

KEENAM :

Kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Diktum PERTAMA yang mengajukan permohonan upaya hukum berupa:
keberatan; atau
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang kedua,
yang batas waktu pengajuan permohonan dimaksud mulai tanggal 28 September 2018 sampai dengan 31 Januari 2019, diberikan perpanjangan batas waktu untuk pengajuan permohonan sampai dengan 28 Februari 2019.

KETUJUH :

Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
Para Pejabat Eselon II di lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
Para Kepala Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
Para Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2018
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

ROBERT PAKPAHAN

 

PP 34 Tahun 2017

Tarif PPh Rumah Kos: 1% atau 10%? Sebuah Studi Rinci Pasca Berlakunya PP 34 Tahun 2017
Dibuat: Kamis, 17 Mei 2018 10:43
Ditulis oleh BDK Balikpapan
Tarif PPh Rumah Kos: 1% atau 10%?

(Pengenaan PPh atas Rumah Kos setelah berlakunya PP 34 Tahun 2017)

Irawan Purwo Aji

Widyaiswara BDK Balikpapan

Pendahuluan

Dengan berkembangnya kebutuhan tempat tinggal di beberapa daerah, terutama di kota-kota besar, semakin berkembang juga usaha rumah kos. Rumah kos tersebut tersebar di beberapa tempat baik rumah kos dengan fasilitas sederhana maupun fasilitas yang sangat mewah, tentu saja dengan harga yang sangat mahal. Sistem pembayaran sewa rumah kos tersebut juga beragam, ada yang bulanan ada pula yang tahunan. Bahkan saat ini ada yang menyediakan rumah kos dengan tarif harian maupun mingguan.

Dengan meningkatnya usaha rumah kos, tentu saja akan meningkatkan penghasilan dari Wajib Pajak dan secara tidak langsung akan meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh). Namun dalam kenyataannya, banyak pemilik rumah kos yang belum melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan baik karena belum memahami cara melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Ketidakpatuhan Wajib Pajak tersebut salah satunya disebabkan karena Wajib Pajak masih kebingungan apakah harus melaporkan PPh atas rumah kos dengan menggunakan tarif 10% (sesuai PP Nomor 29 Tahun 1996 yang telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002) atau menggunakan tarif 1% (sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013). Himbauan kewajiban perpajakan untuk Rumah Kos yang disampaikan oleh petugas pajak pun masih belum sama, ada yang berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002 dan ada juga yang berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013.

Pembahasan

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan, pengenaan PPh bagi rumah kos terlihat jelas dalam penjelasan Pasal 2 ayat 3 Peraturan Pemerintah tersebut. Ketentuan Pasal 2 PP Nomor 34 Tahun 2017 beserta penjelasannya adalah sebagai berikut:

Pasal 2

Ayat (1) Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh Bangunan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Ayat (3) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa pelayanan penginapan beserta akomodasinya.

Penjelasan Pasal 2

Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sebagian dari Bangunan” adalah areal baik di dalam Bangunan maupun di luar Bangunan yang merupakan bagian dari Bangunan tersebut, seperti teras Bangunan, kamar di dalam sebuah rumah, paviliun, kolam renang, dan sebagainya.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan “jasa pelayanan penginapan” antara lain kamar, asrama untuk mahasiswa/pelajar, asrama atau pondok pekerja, dan rumah kos.

Berdasarkan ketentuan diatas, terlihat jelas bahwa Rumah Kos dikategorikan sebagai jasa pelayanan penginapan sehingga bukan merupakan objek PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan. Namun, dalam ketentuan tersebut menurut penulis masih terdapat hal yang menimbulkan multi tafsir, yaitu mengenai penjelasan ayat (1) yang menyatakan bahwa persewaan kamar dalam rumah masih merupakan objek PPh atas Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

Sebelum PP Nomor 34 Tahun 2017 ini terbit, objek PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan diatur dalam Pasal 1 PP Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002. Ketentuan Pasal 1 PP Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002 beserta penjelasannya adalah sebagai berikut:

Pasal 1

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan

Penjelasan Pasal 1

Cukup jelas

Ketentuan tersebut tidak secara jelas mengatur tentang rumah kos, sehingga dapat menimbulkan multi tafsir. Ada yang berpendapat Rumah Kos termasuk dalam pengertian rumah, namun ada pula yang berpendapat lain sehingga berdampak pada penerapan tarif PPh atas penghasilan dari Rumah Kos.

PP Nomor 34 Tahun 2017 ini mencabut PP Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002. Dengan demikian, sejak berlakunya PP Nomor 34 Tahun 2017, yaitu tanggal 2 Januari 2018, Penghasilan dari Rumah Kos bukan lagi merupakan objek PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan. Lalu pertanyaannya? Apakah pemilik Rumah Kos tidak perlu melaporkan PPh atas penghasilan dari Rumah Kos?

Pemilik Rumah Kos tetap harus melaporkan PPh atas penghasilan dari Rumah Kos dengan menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 bagi yang mempunyai peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00. Ketentuan Pasal 2 PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebagai berikut:

Pasal 2

Ayat (1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Ayat (3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:

Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Ayat (4) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:

Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3

Ayat (1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen)

Ayat (2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

Ayat (3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.

Ayat (4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 4

Ayat (1) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Ayat (2) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Berdasarkan ketentuan diatas, maka pemilik Rumah Kos diwajibkan menyetor PPh Final atas penghasilan dari Rumah Kos dengan tarif 1% (satu persen) dari peredaran bruto setiap bulannya bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp4.800.000.000,00. Bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto diatas Rp4.800.000.000,00, pengenaan PPh atas penghasilan dari Rumah Kos dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Kesimpulan

Berkembangnya usaha Rumah Kos tidak serta merta meningkatkan penerimaan pajak dari pemilik Rumah Kos. Pemilik Rumah Kos belum melakukan pemenuhan kewajiban pajak dengan baik, salah satunya karena masih kebingungan dalam menentukan tarif PPh atas penghasilan dari Rumah Kos.

PP Nomor 34 Tahun 2017, yang mulai berlaku sejak 2 Januari 2018, mengatur bahwa Rumah Kos termasuk ke dalam jasa pelayanan penginapan, sehingga bukan merupakan objek PPh Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan. Pemilik Rumah Kos akan dikenakan PPh atas penghasilan dari Rumah Kos sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp4.800.000.000,00. Bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto diatas Rp4.800.000.000,00, pengenaan PPh atas penghasilan dari Rumah Kos dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dengan jelasnya pengenaan tarif PPh bagi Wajib Pajak pemilik Rumah Kos diharapkan akan dapat meningkatkan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pemilik Rumah Kos dan petugas pajak dapat lebih intensif lagi dalam melakukan penggalian potensi PPh pemilik Rumah Kos.

Daftar Pustaka

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan atas Pengh