PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92/PMK.03/2019

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 92/PMK.03/2019

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 253/PMK.03/2008 TENTANG WAJIB PAJAK BADAN TERTENTU
SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DARI PEMBELI ATAS
PENJUALAN BARANG YANG TERGOLONG SANGAT MEWAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa ketentuan mengenai Wajib Pajak badan tertentu sebagai pemungut Pajak Penghasilan dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015;
b. bahwa untuk semakin mendorong pertumbuhan sektor properti, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak atas pembelian barang yang tergolong sangat mewah, serta mengubah ketentuan mengenai Wajib Pajak badan tertentu sebagai pemungut Pajak Penghasilan dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 667);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 253/PMK.03/2008 TENTANG WAJIB PAJAK BADAN TERTENTU SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DARI PEMBELI ATAS PENJUALAN BARANG YANG TERGOLONG SANGAT MEWAH.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015 diubah sebagai berikut:

  1. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) huruf c dan huruf d diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
    Pasal 1

(1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
(2) Barang yang tergolong sangat mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi;
b. kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya;
c. rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi);
d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150m2 (seratus lima puluh meter persegi);
e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus, dan sejenisnya, dengan harga jual lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000cc; dan/atau
f. kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc.
(3) Harga jual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan batasan harga jual sehubungan dengan pembelian barang yang tergolong sangat mewah, yaitu jumlah yang dibayarkan oleh pembeli kepada penjual.

  1. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
    Pasal 2

(1) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memungut Pajak Penghasilan pada saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar:
a. 1% (satu persen) dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) atas barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c dan huruf d; dan
b. 5% (lima persen) dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) atas barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf e dan huruf f.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang melakukan pembelian barang yang tergolong sangat mewah.

Pasal II

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 Ditetapkan di Jakarta 

pada tanggal 19 Juni 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juni 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 665

PENGUNGGAHAN KEMBALI DOKUMEN LAMPIRAN SPT TAHUNAN PPH BADAN YANG GAGAL DITERIMA SISTEM E-FILING

PENGUMUMAN
NOMOR PENG – 05/PJ.09/2019

TENTANG

PENGUNGGAHAN KEMBALI DOKUMEN LAMPIRAN SPT TAHUNAN PPH BADAN
YANG GAGAL DITERIMA SISTEM E-FILING

Sehubungan dengan pengembangan aplikasi e-Filing pada tanggal 18 April 2019, yang menyebabkan dokuman unggahan (lampiran) SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2018 yang disampaikan melalui e-Filing (di luar e-form dan e-Filing melalui ASP) antara tanggal 18 April 2019 sampai dengan 10 Mei 2019 tidak terbaca oleh sistem kami, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Direktorat Jenderal Pajak telah mengidentifikasi SPT Tahunan PPh Badan yang disampaikan melalui e-Filing dengan dokumen lampiran yang diunggah tidak terbaca oleh sistem dan telah mengirimkan surel (e-mail) kepada para Wajib Pajak Badan yang terdampak berisi pemberitahuan untuk mengunggah kembali dokumen lampiran SPT.
2. Para Wajib Pajak yang menerima surel diharapkan segera mengunggah dokumen tersebut sebelum jangka waktu yang tertera pada surel (30 Juni 2019).
3. Pengunggahan kembali dokumen lampiran Asus X550CL Charger Asus X550EA Charger akan mengubah tanggal pada bukti penerimaan SPT Tahunan.
DJP menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan dan mengucapkan terima kasih atas kerja sama dari para Wajib Pajak.

Demikian pengumuman ini disampaikan. Informasi lebih lanjut terkait pengumuman ini dapat menghubungi Kring Pajak di 1500 200 atau Kantor Pelayanan Pajak terdekat.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Mei 2019
Direktur,

ttd

Hestu Yoga Saksama

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBase
Peraturan Terkait

sumber:www.ortax.org

PENGECUALIAN PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI ATAS KETERLAMBATAN PENYETORAN PAJAK MASA PAJAK MEI 2019

PENGUMUMAN
NOMOR PENG – 06/PJ.09/2019

TENTANG

PENGECUALIAN PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI
ATAS KETERLAMBATAN PENYETORAN
PAJAK MASA PAJAK MEI 2019

Sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-486/PJ/2019 tanggal 31 Mei 2019 tentang Kebijakan Perpajakan terhadap Penyetoran atas Pemotongan atau Pemungutan Pajak Penghasilan yang Jatuh Tempo pada Tanggal 10 Juni 2019, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Terhadap keterlambatan penyetoran pajak untuk Masa Pajak Mei 2019 atas:
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 26; dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu,
yang dilakukan pada tanggal 11 Juni 2019 sampai dengan 12 Juni 2019, diberikan penghapusan sanksi administrasi.
2. Terhadap keterlambatan penyetoran atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Bendahara Pengeluaran yang jatuh tempo pada tanggal 1 Juni 2019 sampai dengan 10 Juni 2019 dan disetorkan pada tanggal 11 Juni 2019 sampai dengan 12 Juni 2019, diberikan penghapusan sanksi administrasi.
3. Kebijakan penghapusan sanksi administrasi tersebut diberikan untuk meringankan beban administrasi Wajib Pajak dan Tempat Pembayaran Pajak (Bank Persepsi) mengingat jatuh tempo penyetoran pajak terjadi dalam/setelah hari libur nasional dan Cuti Bersama Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriah.
Demikian disampaikan, untuk dimaklumi.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Mei 2019
Direktur,

ttd

Asus X550E Charger Asus X550JD ChargerHestu Yoga Saksama

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBase
Peraturan Terkait
1 Kebijakan Perpajakan Terhadap Penyetoran Atas Pemotongan Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Jatuh Tempo Pada Tanggal …
Keputusan Dirjen Pajak – KEP – 486/PJ/2019, Tanggal 31 Mei 2019

sumber:www.ortax.org

Ini Usulan Target Tax Ratio 2020 dari Pemerintah

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah menargetkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) pada 2020 sebesar 11,8%—12,4%. Usulan target pemerintah tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (21/5/2019).

Usulan target tax ratio tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sidang Paripurna DPR terkait Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.

Kisaran angka tersebut lebih rendah dari usulan pemerintah dalam RAPBN 2019 sebesar 11,4%—13,6%. Setelah pembahasan, pemerintah dan DPR sepakat mematok target tax ratio dalam APBN 2019 sebesar 12,2%. Dengan demikian, target tax ratio tahun depan tidak menunjukkan peningkatan signifikan.

“Yang kita sampaikan sudah di dalam range cukup lebar. Jadi, kalau kita lihat range yang terendah itu masih sama dengan performa yang sekarang ini. Kita tentu berharap bahwa kemampuan di dalam penerimaan perpajakan kita akan tetap positif,” jelasnya.

Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti rekomendasi dari International Monetary Fund (IMF) agar Indonesia terus menjalankan reformasi struktural, termasuk dalam bidang pajak. Langkah ini dinilai penting untuk menciptakan ruang fiskal dan menjaga defisit di tengah ketidakpastian dari sisi eksternal.

Berikut ulasan berita selengkapnya .

  • Pertimbangan Risiko

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan target tax ratio tahun depan masih akan dibahas dengan DPR. Dia mengungkapkan beberapa risiko akan menjadi pertimbangan penentuan target, salah satunya terkait gejolak ekonomi global yang menekan ekspor—impor.

“Jadi kita akan liat dari sisi risiko ini di kuartal II/2019 nanti. Nanti dalam pembahasan selama 2 bulan ke depan kita akan semakin membentuk titik kesepakatan sebelum kita tuangkan di Nota Keuangan. Nanti kita juga dengar pandangan dari semua fraksi DPR,” ungkapnya.

  • Dorong Daya Saing

Sejalan dengan usulan target tax ratio tahun depan di kisaran 11,8%—12,4%, Sri Mulyani menekankan reformasi perpajakan akan selalu memperhatikan dinamika perekonomian global maupun domestik. Selain itu, perpajakan juga tidak selalu hanya difokuskan untuk mengisi kantong penerimaan negara.

“Reformasi perpajakan juga terus merespons perkembangan ekonomi serta mendorong daya saing investasi dan ekspor melalui pemberian insentif fiskal dalam rangka memperbaiki keseimbangan eksternal,” katanya.

  • PNBP Ditargetkan Capai 2,5% PDB

Sri Mulyani mengatakan mobilisasi pendapatan negara juga akan dilakukan dengan reformasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Langkah ini dilakukan dengan mengoptimalisasi pengelolaan aset dan sumber daya alam. Pemerintah, sambungnya, akan terus memperbaiki pengelolaan aset barang milik negara (BMN), termasuk mengasuransikannya terhadap bencana alam.

“PNBP dalam 2020 diperkirakan dapat mencapai kisaran 2,0%-2,5% terhadap PDB meskipun kita tetap harus waspada terhadap ketidakpastian pasar komoditas global,” jelasnya.

Sumber : https://news.ddtc.co.id/ini-usulan-target-tax-ratio-2020-dari-pemerintah-15942

Begini Standar Penomoran Bukti Potong PPh Pasal 23/26 1Mulai Masa Pajak Mei 2019

Begini Standar Penomoran Bukti Potong PPh Pasal 23/26
1Mulai Masa Pajak Mei 2019, 1.745 Wajib Pajak sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Nomor KEP-425/PJ/2019, diharuskan membuat bukti pemotongan melalui Aplikasi e-Bupot PPh Pasal 23/26. Perlu diketahui bahwa dalam membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23/26, Dirjen Pajak telah menetapkan 6 (enam) standar penomoran bukti pemotongan yang tertuang dalam lampiran Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2017. Dengan demikian, Pemotong Pajak wajib memberikan nomor pada bukti pemotongan PPh Pasal 23/26 yang diterbitkan dengan mengikuti standar yang telah ditetapkan tersebut. Adapun 6 (enam) standar penomoran bukti pemotongan PPh Pasal 23/26 yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Model penomoran Bukti Pemotongan

Penomoran pada Bukti Pemotongan mengikuti model sebagai berikut:

kode bukti pemotongan

Nomor Bukti Pemotongan terdiri dari 10 digit, dimana 2 (dua) digit pertama berisi kode Bukti Pemotongan dan 8 (delapan) digit kedua berisi Nomor Urut Bukti Pemotongan yang diterbitkan.

Kode Bukti Pemotongan diisi sebagai berikut:

Kode Bukti Pemotongan Keterangan
31 Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 berbentuk formulir kertas (hard copy)
32 Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 berbentuk formulir kertas (hard copy)
33 Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 berbentuk dokumen elektronik
34 Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 berbentuk dokumen elektronik

2. Nomor Urut diberikan secara berurutan

Yaitu berurutan dari 00000001 sampai dengan 99999999 dalam 1 (satu) tahun kalender (dari 1 Januari s.d 31 Desember). Apabila tahun kalender telah berganti, maka nomor dimulai lagi dari nomor 00000001.

Contoh kasus 1: Pemberian Nomor Urut
PT ABC yang berkedudukan di Jakarta pada tanggal 10 Januari 2018 membayar imbalan jasa konsultan sebesar Rp10.000,000,00 ke PT SOLUSI, imbalan jasa manajemen sebesar Rp 15.000,000,00 ke PT EFEKTIF dan royalti sebesar Rp30.000.000,00 ke NIHON, Ltd yang berkedudukan di Jepang.

Atas transaksi tersebut, PT ABC pada tanggal 16 Januari 2018 menerbitkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 nomor 31-00000001 yang diberikan ke PT SOLUSI, nomor 31-00000002 yang diberikan ke PT EFEKTIF dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 nomor 32-00000001 yang diberikan ke NIHON, Ltd. Semua Bukti Pemotongan tersebut dibuat dalam bentuk formulir kertas sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1).

Pada tanggal 20 Februari 2018, PT ABC menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas ke KPP.

3. Penomoran atas formulir kertas terpisah dengan dokumen elektronik

Yaitu dimungkinkan adanya beberapa Bukti Pemotongan memiliki Nomor Urut yang sama, namun berbeda di Kode Bukti Pemotongan.

Contoh kasus 2: Penomoran Bukti Pemotongan formulir kertas dan dokumen elektronik
PT ABC yang berkedudukan di Jakarta pada tanggal 23 Februari 2018 membayar imbalan jasa konsultan ke PT KAP sebesar Rp 110.000.000,00.

Karena jumlah penghasilan yang dibayarkan ke PT KAP tersebut nilainya lebih dari Rp 100.000.000,00, maka PT ABC harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 Masa Pajak Februari 2018 secara elektronik sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1).

Dengan menggunakan Aplikasi e-Bupot 23/26, PT ABC pada tanggal 23 Februari 2018 menerbitkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 elektronik dengan nomor 33-00000001 untuk diberikan kepada PT KAP.

Pada tanggal 15 Maret 2018, PT ABC menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam dokumen elektronik melalui Aplikasi e-Bupot 23/26.

Penerbitan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dengan Nomor Urut 00000001 dilakukan 2 (dua) kali oleh PT ABC, yaitu nomor 31-00000001 di bulan Januari 2018 untuk PT SOLUSI dan nomor 33-00000001 di bulan Februari 2018 untuk PT KAP, Hal tersebut dimungkinkan karena penomoran Bukti Pemotongan kertas terpisah dengan penomoran untuk Bukti Pemotongan elektronik.

4. Nomor Urut Bukti Pemotongan pada Aplikasi e-Bupot 23/26 di-generate oleh sistem

Khusus bagi Bukti Pemotongan yang diterbitkan melalui Aplikasi e-Bupot 23/26, sistem akan memberikan Nomor Urut secara otomatis. Sedang penomoran untuk Bukti Pemotongan dalam bentuk kertas harus mengikuti model penomoran sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas.

5. Nomor tidak berubah apabila terjadi pembetulan/pembatalan

Apabila Pemotong Pajak membetulkan atau membatalkan Bukti Pemotongan yang telah diterbitkan, maka nomor yang dicantumkan dalam Bukti Pemotongan yang baru (pembetulan/pembatalan) adalah sama dengan nomor pada Bukti Pemotongan yang dibetulkan/dibatalkan. Petunjuk detil sehubungan dengan penomoran tersebut adalah sebagaimana dimaksud pada huruf D tentang Tata Cara Pembetulan/Pembatalan Bukti Pemotongan.

6. Nomor tidak tersentralisasi

Yaitu nomor Bukti Pemotongan dibuat untuk masing-masing Pemotong Pajak baik yang berkedudukan sebagai Wajib Pajak pusat maupun Wajib Pajak cabang (nomor dibuat untuk per NPWP).

Contoh kasus 3: Nomor tidak tersentralisasi
PT ABC yang berkedudukan di Jakarta ternyata memiliki kantor cabang di Surabaya. Pada 27 Februari 2018, PT ABC cabang Surabaya membayar jasa outsourcing ke CV RESIK sebesar Rp20.000,000,00.

Demi efektivitas pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26, PT ABC mewajibkan semua unitnya untuk menggunakan Aplikasi e-Bupot 23/26.

Sebagaimana dimaksud pada contoh kasus 2, PT ABC di Jakarta telah membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 elektronik nomor 33-00000001 yang diberikan kepada PT KAP. Demikian halnya, PT ABC di Surabaya pada tanggal 27 Februari 2018 juga menerbitkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 elektronik dengan nomor 33-00000001 untuk diberikan kepada CV RESIK.

Bea Cukai: Usaha Jasa Titip Harus Bayar Pajak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyatakan usaha jastip memiliki kewajiban perpajakan. “Usaha jastip kita tertibkan. Kita arahkan supaya dia impor secara resmi dengan dokumen yang ditetapkan. Jadi, tidak boleh ke luar negeri untuk wisata tapi ternyata berdagang (jastip),” kata Heru kepada wartawan di Kantor DJBC, Jakarta Timur, Selasa (30/4)

Heru mengatakan, bukan berarti bisnis jastip dilarang negara. Namun, bisnis jastip wajib melalui prosedur yang benar. Ia menyatakan, DJBC akan memfasilitas para pelaku usaha jastip dengan dokumen yang benar.

Dengan dokumen resmi, pelaku usaha jastip dipastikan tidak akan menemui masalah ketika kembali ke Indonesia dengan bawaan barang dagangannya. Lewat dokumen tersebut, kewajiban perpajakan dari barang-barang dibeli konsumen melalui usaha jastip itu dapat dilakukan.

“Ada aturannya sudah lengkap. Namanya Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK). Jadi dia bukan lewat kontainer. Jadi kita imbau mereka melapor daripada nanti ditangkap,” ujarnya.

Adapun besaran pajaknya, Heru mengatakan, pajak barang impor dari jasa titip terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, Pajak Penghasilan (PPh) 10 persen, dan bea masuk 7,5 persen. Barang tersebut rata-rata dikenakan pajak sekitar 25-27 persen.

Heru pun menegaskan, jika usaha jastip tidak memenuhi kewajiban sesuai aturan yang berlaku, maka secara langsung akan merugikan negara. Sebab, barang tersebut tidak memenuhi kewajiban atas pungutan negara.

Sumber: https://republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/pqsuor366/bea-cukai-usaha-jasa-titip-harus-bayar-pajak

Usai Gandeng Swiss, Ini PR Pemerintah Berikutnya Soal Pajak

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah diminta segera membentuk gugus tugas antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan guna penegakan hukum tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan.

Gugus Tugas ini penting menyusul ditandatangani Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Swiss melalui Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan pihaknya mengapresiasi penandatanganan MLA ini sebagai sebuah langkah maju yang akan bermanfaat bagi kedua negara.

Langkah ini terutama bagi Indonesia dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan yang selama ini sulit dilakukan karena kendala keterbatasan akses dan daya jangkau.

“Pemerintah Indonesia mempunyai alasan yang kuat menandatangani MLA ini dan segera menerapkannya. Perlu dilakukan pengujian yang mendalam dan menyeluruh agar diperoleh hasil analisis yang akurat dan dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum,” katanya dalam keterangan yang diterima CNBC Indonesia, Selasa (5/2/2019).

“Tindak pidana perpajakan merupakan pintu masuk yang paling mungkin dilakukan. Tentu saja koordinasi dan sinergi kelembagaan mutlak dibutuhkan, maka pembentukan gugus tugas antara KPK, Polri, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Ditjen Pajak perlu segera dibentuk.”

Pada Senin 4 Februari 2019, waktu setempat, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Yasonna Hamonangan Laoly menandatangani Perjanjian MLA dengan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Swiss.

Perjanjian yang terdiri dari 39 pasal ini antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Kesepakatan itu juga dapat digunakan untuk memerangi kejahatan perpajakan.

“MLA ini akan memungkinkan bantuan pelacakan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss,” kata Yustinus.

Dia menegaskan tindak lanjut untuk menuntaskan berbagai dugaan tindak pidana, baik korupsi, pencucian uang, maupun perpajakan amat penting untuk memenuhi rasa keadilan publik. Keadilan publik itu termasuk rasa keadilan bagi mereka yang selama ini memilih menjadi warga negara patuh hukum, wajib pajak yang taat, dan mereka telah ikut pengampunan pajak. “Karenanya, MLA adalah tonggak dan instrumen penting.”

Selain itu, menurut dia, jangan sampai MLA ini terbelenggu dengan silang sengkarut politik dan sekadar propaganda politik tanpa substansi. Oleh sebab itu, seyogianya keberhasilan penandatanganan MLA ini dijadikan dasar penegakan hukum dan pembangunan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel.

“Untuk itu seluruh pihak sudah sepantasnya memberikan dukungan. Batu uji berikutnya adalah keberanian untuk melakukan investigasi, termasuk kemungkinan menyentuh elite dan oligarki yang kuat kuasa, yang kemungkinan pernah menikmati kekebalan hukum dan keuntungan luar biasa dari eksistensi suaka pajak dan lemahnya sistem hukum Indonesia.”
(tas)

Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20190205190130- 4-53943/usai-gandeng-swiss-ini-pr-pemerintah-berik utnya-soal-pajak